arrahmahnews

Ancaman Radikalisme Islam di Indonesia (Bagian Kedua Habis)

Jum’at, 12 Agustus 2016

JAKARTA, ARRAHMAHNEWS.COM – Deradikalisasi memiliki dua makna: pemutusan (disengagement) dan deideologisasi (deideologization). Pemutusan artinya mendorong kalangan radikal untuk mereorientasi diri melalui perubahan sosial-kognitif sehingga mereka meninggalkan norma, nilai, aspirasi dan perilaku yang diikuti sebelumnya, menuju norma baru. Sedangkan deideologisasi dimengerti sebagai kontra ideologi yang mengacu pada upaya menghentikan pemahaman dan penyebaran ideologi radikal.[1] Fokus deradikalisasi, dalam pengertian ini adalah pembendungan atau setidaknya netralisasi pengaruh pemikiran radikal atau kontra radikalisme.

Dalam konteks Indonesia, program deradikalisasi masih lebih banyak berforientasi kepada yang pertama serta baru berada pada tahapan awal. Oleh sebab itu masih memerlukan pengembangan dan sosialisasi baik secara konseptual maupun subjek dan objeknya. Ada keperluan untuk memberikan perhatian kepada pengertian kedua, yakni deideologisasi, karena targetnya menjadi lebih luas dan berjangka panjang serta memiliki efektifitas yang lebih besar. Dalam wacana resmi yang diprogramkan Pemerintah, deradikalisasi terutama ditujukan kepada para mantan teroris yang berhasil ditangkap baik yang berada di penjara atau telah kembali kepada masyarakat, serta  pendukungnya serta keluarga dekat mereka.

Islam_Bukan_Teroris

Program deradikalisasi tersebut. menurut Agus Surya Bakti (2014), ada empat tahapan proses, yaitu identifikasi, rehabilitasi, reedukasi, dan resosialisasi.[2]

Pertama, identifikasi, pendataan terhadap jaringan yang terindikasi dimaksudkan untuk mengetahui perkembangan jaringan gerakan radikal, seperti jumlah anggota, aktivitas, latar belakang, paham keagamaan, dan kebangsaan yang mereka anut dan sebagainya.

Kedua, rehabilitasi, Program rehabilitasi pada dasarnya merupakan upaya sistematis yang melakukan perubahan orientasi ideologi radikal dan kekerasan kepada orientasi ideologi yang inklusif, damai, dan toleran.

Ketiga, reedukasi, dalam reedukasi dilakukan transformasi pemikiran, pemahaman, dan sikap, yakni memberikan pencerahan kepada napi teroris untuk memilik sikap terbuka terhadap perbedaan yang ada di dalam kehidupan beragama.

Keempat, resosialisasi, tahapan ini dimaksudkan sebagai keseluruhan upaya mengembalikan napi teroris atau mantan napi teroris dan keluarganya agar dapat hidup dan berinteraksi dengan masyarakat secara baik. Perlu digarisbawahi bahwa LP (Lembaga Permasyarakatan) adalah salah satu locus penyebaran ideologi radikal oleh napi dengan kasus terorisme. Bahkan, ada anggapan bahwa para napi dengan kasus terorisme cenderung memiliki status yang tinggi dibandingkan napi dengan kasus lain.

Selanjutnya, untuk mendukung implementasi program deradikalisasi tersebut dilakukan dua langkah strategis: Pertama, mengubah paradigma berpikir kelompok inti dan militan radikal/terorisme agar tidak kembali melakukan aksi radikal terorisme. Implementasi ini dilakukan secara sinergi dengan melibatkan para pemangku kepentingan, seperti tokoh agama, pakar psikologi, akademisi, serta praktisi dengan menggunakan metode persuasif. Kedua adalah melakukan kontra atau penangkalan ideologi. Strategi ini ditujukan kepada seluruh komponen masyarakat agar tidak mudah terpengaruh oleh paham dan aksi radikal terorisme. Contoh praktis dari strategi ini adalah pelatihan anti radikal-terorisme kepada ormas, serta training of trainer kepada civitas lembaga pendidikan keagamaan.[3]

Bahaya_Terorisme

Dalam pandangan saya, langkah strategis kedua dalam implementasi dan sosialisasi program deradikalisasi perlu lebih intensif dan diperluas di masa mendatang. Dalam kaitan ini peran organisasi-organisasi masyarakat sipil Indonesia (MSI) menjadi sangat penting, mengingat lingkungan sosial adalah locus utama bagi penyebaran benih-benih radikalisme. Dengan melibatkan publik/masyarakat sipil pelaksanaan program deradikalisasi akan semakin efektif dalam jangka panjang. Sangat mendesak untuk dikembangkan konsep-konsep yang mempunyai kompatibilitas dengan realitas sosial yang sangat majemuk di negeri ini  selain harus memadai sebagai produk kebijakan publik yang cukup fleksibel untuk mengantisipasi perubahan-perubahan lingkungan strategis yang selalu terbuka..

Konsekuensinya adalah bahwa program deradikalisasi yang berorientasi kepada peran MSI akan melibatkan banyak pemangku kepentingan (stakeholders), baik pada tataran penyelenggara negara maupun masyarakat.[4]

Deradikalisasi tidak lagi hanya dipahami dalam arti rehabilitasi terhadap para teroris yang telah ditahan atau dilepaskan kembali ke dalam masyarakat, tetapi juga, dan lebih fokus kepada, deideologisasi terhadap paham-paham radikal. Hal ini berarti bahwa program deradikalisasi harus dikembangkan mencakup pendeteksian dan peringatan dini terhadap pengaruh atau ideologi yang dianggap dapat menciptakan ancaman terhadap ideologi nasional Pancasila dalam kehidupan masyarakat.

Saya mengusulkan agar Pemerintah menerapkan pendekatan-pendekatan normatif bagi program deradikalisasi yang berorientasi pada MSI sebagai berikut:

1. Pendekatan humanis, yaitu memberikan perhatian kepada aspek HAM sebagaimana telah diratifikasi oleh negara. Dalam hal ini, pertimbangan terhadap rasa keadilan masyarakat penting untuk diperhatikan sehingga peluang-peluang untuk memperhatikan masalah kesejahteraan diberi perhatian dalam program deradikalisasi tersebut.
2. Pendekatan komunikasi sosial, yaitu suatu pendekatan yang memberikan tekanan kepada komunikasi sinergis dan sejauh mungkin mempergunakan prinsip anti kekerasan dan non- intimidasi.
3. Pendekatan partisipatif dari elemen-elemen masyarakat. Dengan    pendekatan ini dimaksudkan agar program dera- dikalisasi tidak hanya   ditujukan khusus kepada sasaran yang terdiri atas para tersangka atau   terpidana terorisme, melainkan juga bisa diterapkan kepada lingkungan   masyarakat di mana potensi radikalisme bisa muncul setiap waktu.

Selain itu ada beberapa langkah strategis yang perlu digunakan dalam rangka pengembangan program deradikalisasi yang berorientasi kepada peningkatan peran MSI Langkah-langkah tersebut meliputi:

1) Peningkatan dukungan politik terhadap program deradikalisasi dari seluruh elemen bangsa, baik dari penyelenggara negara maupun warga negara di seluruh Indonesia. Optimalisasi peningkatan dilakukan melalui dukungan organisasi dan lembaga-lembaga politik, serta masyarakat sipil di pusat dan daerah dalam rangka penanggulangan terorisme yang terpadu, menyeluruh, integral-integratif, dan berkelanjutan.

2) Pembentukan berbagai peraturan perundang-undangan yang baru, termasuk mengamandemen dan/atau merevisi berbagai peraturan perundang-undangan yang telah ada, untuk mendukung penanggulangan terorisme, termasuk didalamnya dukungan terhadap program deradikalisasi, yang terpadu, menyeluruh, integral-integratif dan berkelanjutan. Termasuk dalam hal ini adalah perangkat perundang-undangan mengenai keamanan nasional, penanggulangan terorisme, dan sebagainya.

3) Peningkatan dan perluasan penyelenggaraan program deradikalisasi dan sosialisasinya dengan melibatkan organisasi-organisasi masyarakat sipil di seluruh Indonesia melaui perkuatan dan perluasan sinergi dengan pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah di dalam perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan pengawasan serta pembiayaannya.

4) Pengefektifan koordinasi para pemangku kepentingan dalam penanggulangan terorisme di pusat dan daerah, khususnya untuk mengoptimalisasikan program deradikalisasi di lingkungan masyarakat sipil. Sinergi antara pemerintah dan masyarakat sipil hanya bisa terjadi apabila terdapat koordinasi yang efektif. Dalam kaitan ini sosialisasi dan pengefektifan peraturan perundang-undangan seperti UU No. 17/ 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan sangat urgen. Kendati masih munc ul berbagai kritik dan kehendak melakukan amandemen terhadapnya, namun keberadaan UU ini bisa dimanfaatkan secara optimal.[5]

Radikalisme_Terorisme

Ancaman gerakan radikal transnasional terhadap keamanan nasional Indonesia merupakan suatu bahaya yang nyata dan hadir dan oleh sebab itu harus dihadapi oleh negara dan seluruh warganegara. Ideologi dan gerakan radikal transnasional telah berkait dan berkelindan dengan kekuatan-kekuatan yang bertujuan merubah sistem kenegaraan Indonesia yang bertentangan dengan cita-cita Proklamasi dan Konstitusi. Bahkan dalam perkembangan mutakhir, sebagai akibat dari perkembangan yang cepat dari ideologi dan gerakan radikal transnasional tersebut, kecenderungan yang terjadi adalah semakin ternggelamnya aspirasi lokal dan nasional digantikan oleh aspirasi global sebagaimana tampak dalam ideologi Khilafahisme.

Deradikalisasi sebagai salah satu pendekatan soft power untuk menanggulangi pengaruh dan perkembangan ideologi radikal transnasional merupakan pilihan yang strategis dalam jangka panjang. Tujuan utamanya adalah menciptakan kemampuan bangsa menangkal pengaruh ideologi radikal sedini mungkin sehingga akan membantu secara efektif penanggulangan radikalisme yang merupakan ancaman dan bahaya bagi keamanan nasional. Dalam hal ini konsep deradikalisasi yang lebih menekankan pada deideologisasi perlu diberikan tekanan dan dukungan lebih besar, karena tujuan dan sasarannya adalah masyarakat luas serta berjangka panjang.

Konsep-konsep yang lebih kompatibel dengan realitas majemuk di Indonesia masih sangat perlu untuk dikembangkan baik oleh negara maupun oleh komponen MSI, termasuk organisasi-organisasi di dalamnya. Kontribusi dari elemen-elemen MSI seperti lembaga pendidikan, kelompok cendekiawan, para agamawan sangat diperlukan sehingga program deradikalisasi tidak hanya bersifat top down dan memiliki efektifitas rendah.  (ARN/Selesai)

Catatan:


[1] Agus Surya Bakti. Darurat Terorisme:Kebijakan Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi. Jakarta: Daulat Press, 2014, hlm. 79.

[2]Agus Surya Bakti. Merintis Jalan Mencegah Terorisme (Sebuah Bunga Rampai). Jakarta: Semarak Lautan Warna, 2014, hlm. 129-130.

[3] Wawan H. Purwanto. Terorisme di Indonesia Pasca Bom Marriott 2. Jakarta: CMP Press, 2010, hal. 193-204; lihat juga Petrus R. Golose. “Strategi Penguatan Hukum dan Deradikalisasi dalam Mengeliminasi Tindak Pidana Terorisme”. Makalah Seminar Penanggulangan Terorisme, Lemhannas RI, Jakarta, 13 Juni 2011.  

[4] Muhammad AS Hikam. Deradikalisasi: Peran Masyarakat Sipil Indonesia Membendung Radikalisme. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2016, hlm. 81-82  

[5] Misalnya, UU ini telah dimintakan untuk ditinjau (review) oleh Muhammadiyah dan sebagian tuntutan tsb dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Lihat https://m.tempo.co/read/news/2014/12/26/078631006/uu-ormas-dikabulkan-mk-muhammadiyah-puas, diakses pada 3 Agustus 2016. Sebaliknya, pihak Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) meminta agar UU No. 17/2013 tersebut direvisi karena perlu diperluas. Lihat http://www.beritasatu.com/hukum/260386-tangkal-is-bnpt-minta-revisi-uu-ormas-dan-uu-menyatakan-pendapat.html, diakses pada 3 Agustus 2016.  

Sumber ; Muhammad A S Hikam.

Comments
To Top

Eksplorasi konten lain dari Arrahmahnews

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca

Eksplorasi konten lain dari Arrahmahnews

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca