“Situs Radikalisme Agama Bagaikan Musuh Dalam Selimut”
Dalam kehidupan berbangsa kekayaan budaya dan tradisi akan tereduksi dengan hadirnya formalisasi agama. Bagi islam sendiri itu berarti penyempitan pemahaman akan islam. Pemahaman berbeda terhadap ideologi tertentu akan dianggap menyimpang dari islam dan harus dibungkam.
Hadirnya semangat menjadikan islam sebagai agama sekaligus negara kembali merisaukan belakangan ini. Gerakan yang lebih dikenal dengan gerakan radikalisme agama mulai menemukan caranya dalam menyebarkan ajarannya melalui situs-situs berkedok islam maupun program-program televisi.
Gerakan situs berbahaya ini dikatakan radikal karena lebih mengedepankan penyebaran berita-berita hoax untuk membangkitkan semangat jihad atau untuk mengadu-domba kelompok-kelompok tertentu. Media seperti ini cenderung mengajak pada kekerasan dalam memaksakan pemahaman mereka. Bila dahulu gerakan radikalisme agama dalam menyampaikan ajarannya hanya melalui jalan revolusioner, seperti Jamaah Islamiyah dengan bom bunuh dirinya, dan terbukti gagal maka sekarang turut menggunakan cara baru yaitu media, tentu ini bukan satu-satunya.
Itu dapat terlihat dengan menjamurnya situs-situs radikal yang mengkampanyekan cita-cita berdirinya negara islam. Jalan ini merupakan jalan halus yang akan memberdaya siapa saja yang singga bersimpati pada mereka. Tentu suara-suara ini akan berakibat patal terhadap keutuhan NKRI.
Demi mencegah formalisasi agama yang hanya akan membatasi keluasan islam dalam bungkus satu ideologi saja maka organisasi massa (ormas) yang telah ada sebelumnya di Indonesia ikut mengambil sikap cepat. Seperti yang dilakukan Nahdlatul Ulama (NU) mengeluarkan fatwa bahwa pendirian negara islam tidak mempunyai rujukan teologis baik dalam al-Qur’an maupun Hadits.
Dipandang dari segi kuantitas sebenarnya tak ada yang perlu dikhawatirkan dari masa depan islam di Indonesia. Survey tahun 2000 mencatat jumlah penduduk muslim di Indonesia hampir mencapai 89 persen. Persoalannya adalah ketika masyarakat umum yang pendidikan agamanya relatif rendah dihadapkan dengan bahasa sederhana dan simbol agama yang diklaim lebih islami, apalagi kalau hal itu menjamur media sosial.
Sebut saja kata jihad yang dikampanyekan situs-situs radikal, bahkan mereka terang-terangan melakukan rekrutmen anggota ISIS maupun Jabha Nusrah. Tidak berhenti pada situs saja golongan radikalisme agama juga berupaya menyebarkan ideologi mereka ke setiap sektor dan kampus. Kampus dipilih karena disitu terdapat banyak mahasiswa yang dilihat dari segi mentalitas tergolong masih labil dan mudah terpengaruh. Kaum muda dianggap berpotensi dalam meneruskan gerakan negara islam karena selain berpendidikan pemahaman mereka terhadap islam juga relatif dangkal. Dengan beberapa dalih simbol agama seperti janggut, kembali kepada al-Qur’an dan Hadits, maka tidak sedikit mahasiswa terutama dari universitas umum yang telah terjerumus dalam ideologi tersebut.
Terbaru dari kasus perekrutan anggota ISIS maupun Jabha Nusrah, banyak mahasiswa yang terekrut dalam jaringan ini dan ikut menjadi agen penyebar paham radikalisme agama. Untuk itu gerakan radikalisme agama tidak boleh begitu saja dianggap remeh karena seekor singa yang berbahaya duhulu juga pernah kecil.
Karena itu alasan utama menolak situs-situs radikal ialah untuk mengembalikan wajah islam yang penuh rahmat sekaligus menyelamatkan NKRI dari keterpecahbelahan. Mahasiswa perlu hadir disini untuk mewujudkan islam yang lebih moderat dan akomodatif terhadap kekayaan budaya nusantara. Islam yang terbuka dan tidak meneriakkan kekerasan adalah kunci perdamaian di Indonesia sehingga gerakan radikalisme agama yang sekedar menekankan sisi luar dari islam tidak akan pernah menemukan relevansinya di negeri ini.
