Analisa

Arab Saudi Membuka Gerbang Neraka

Arab-Saudi-Membuka-Gerbang-Neraka

Oleh: Robert Fisk*
Serangan udara yang dilakukan Arab Saudi terhadap Yaman adalah aksi bersejarah, sekaligus fatal, bagi tahta Ibnu Saud dan Timur Tengah.

Siapakah yang memutuskan dilakukannya serbuan luar biasa terhadap salah satu negara termiskin di Arab ini? Apakah Raja Salman, yang disebut-sebut tidak memiliki kapabilitas sebagai raja? Ataukah para pangeran yang berkuasa dalam tubuh militer Saudi yang takut pada pasukan keamanan mereka sendiri, yang mungkin akan berbalik menentang kerajaan?

“Cerita” dari Yaman tampak sederhana. Suku Houthi yang bermazhab Syiah telah menduduki ibu kota Sanaa dengan bantuan – demikian yang dituduhkan Saudi—dari Iran. Presiden yang sah, Mansour Hadi, telah melarikan diri ke ibukota Saudi, Riyadh, dan Arab Saudi tidak akan mengizinkan adanya pemerintahan yang dekat dengan Iran di Yaman.

Namun, cerita yang sebenarnya lebih penting: setengah dari tentara Saudi berasal dari Yaman. Tentara Saudi memiliki keterikatan erat dengan Yaman, sehingga revolusi Yaman sangat menakutkan keluarga kerajaan Saudi. Tidak heran Raja Salman –jika ia memang pengambil keputusan di negaranya—ingin mengakhiri ancaman ini.

Perkembangan di Yaman, bila dilihat dari Riyadh, memang wajar membuat takut rezim Saud. Di sebelah utara, ada Muslim Syiah Garda Revolusi Iran yang membantu pemerintah Irak dalam pertempuran mereka melawan ISIS (yang didukung Arab Saudi). Di sebelah barat laut, Garda Revolusi Iran membantu Presiden Bashar al-Assad melawan ISIS dan Al-Nusrah, dan sisa-sisa “Tentara Pembebasan Suriah” (yang semuanya juga didukung Arab Saudi). Hizbullah dari Libanon juga berjuang bersama tentara Assad. Bahkan Muslim Syiah dari Afghanistan, juga mengenakan seragam Suriah. Arab Saudi menuduh tentara Iran ada di Yaman, bersama kaum Houthi. Tidak mungkin, tapi mungkin saja senjata Iran memang ada di Yaman.

Belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Arab modern, koalisi 10 negara Arab (termasuk Pakistan yang non Arab) menyerang sebuah negara Arab lain. Sunni (tepatnya Wahabi) dan Syiah di Timur Tengah kini tengah berperang satu sama lain di Irak, Suriah, dan Yaman. Pakistan adalah negara yang memiliki senjata nuklir; dan warganya banyak yang menjadi tentara di Bahrain dan negara-negara Teluk lainnya. Orang Pakistan termasuk di antara yang tewas dalam Perang Teluk 1999 untuk menggulingkan Saddam.

Amerika pun seolah kebingungan. Mereka tidak bisa memberikan bantuan militer langsung kepada Saudi, karena akan menganggu perundingan nuklir dengan Iran. Namun semakin dekatnya pencapaian kesepakatan nuklir antara AS dan Iran, justru membuat negara-negara sekutu AS di Arab semakin marah. Yang memprovokasi Saudi untuk melakukan petualangan fatal di Yaman bukanlah gerakan Houthi, namun semakin dekatnya perjanjian AS-Iran di Lausanne.

Hizbullah boleh menyebut serangan Saudi ini sebagai konspirasi AS dan Saudi. Mungkin ini dinilai berlebihan, namun ada beberapa kebenaran di dalamnya. Kenyataannya, jelas bahwa Saudi dipersenjatai oleh AS. Karena itulah mereka lebih siap menggunakan senjata mereka terhadap sesama bangsa Arab, dibanding kepada musuh tradisional mereka, yaitu Israel. Retorika-retorika Saudi saat menyerang Yaman seolah mereka sedang mengebom Israel.

Sejarah boleh saja mencatat bahwa serangan Arab Saudi terhadap Yaman adalah awal dari perang besar antara Sunni dan Syiah di Timur Tengah. Catatan seperti ini akan memuaskan Barat dan Israel yang selalu meyakini bahwa bangsa Arab akan selalu berperang di antara mereka sendiri. Tetapi, sangat mungkin sesungguhnya ini adalah upaya terakhir Saudi untuk membuktikan bahwa mereka adalah kekuatan militer terbesar di kawasan. Padahal, pada tahun 1990, ketika tentara Saddam memasuki Kuwait, Arab Saudi buru-buru meminta perlindungan dari “kafir” Amerika. Arab Saudi adalah bangsa berlandaskan Wahabisme, asas teologi yang sama dengan Taliban dan ISIS. Saudi menyediakan 15 dari 19 pembajak 9/11. Mereka juga memberi kita Bin Laden, yang – jangan lupa—juga berasal dari Yaman. Saat Yaman menyatakan mendukung invasi Saddam ke Kuwait, Saudi membalasnya dengan mengusir puluhan ribu pekerja Yaman dari wilayah kerajaan itu. Lalu, bagaimana mungkin Arab Saudi kini berharap rakyat Yaman akan memberikan dukungan kepada serangan militernya?

Terakhir kali Saudi melibatkan diri secara langsung di Yaman adalah dalam perang melawan tentara Mesir (era Gamal Abdul Nasser) yang berencana merebut kekuasaan Yaman selatan dari tangan Inggris. Langkah itu dulu mendatangkan bencana untuk Saudi. Sekarang mereka bersekutu dengan Mesir, tapi untuk apa? Untuk memastikan bahwa Yaman tetap loyal pada Wahabisme? Atau untuk meredakan milisi Sunni yang melawan tentara Mesir di Sinai? Lebih serius lagi, apakah Saudi memandang bahwa perang ini akan menyelesaikan konflik internal kerajaan, dimana tidak semua pangeran meyakini bahwa Yaman harus sedemikian dikhawatirkan, atau bahwa Wahabisme harus dipertahankan?

Dan siapakah yang mendapatkan keuntungan besar dari krisis Yaman ini? Tak lain, para produsen minyak.

Sumber: http://liputanislam.com/analisis/arab-saudi-telah-melompat-ke-neraka/

*Fisk adalah jurnalis senior Inggris, tulisan ini diterjemahan -dengan penyuntingan- dari artikelnya di The Independent.

Comments
To Top

Eksplorasi konten lain dari Arrahmahnews

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca

Eksplorasi konten lain dari Arrahmahnews

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca