arrahmahnews

Strategi Jokowi “soft power”

ARN0012004001511218_Soft-Power

Arrahmahnews.com – Ketika Nelson Mandela menjadi Presiden, tantangan pertamanya adalah gerakan massif dari beberapa kelompok masyarakat kulit hitam untuk mengganti seluruh personel klub rugby nasional kesayangan Afrika selatan bernama Springboks yang di dominasi kulit putih.

Mandela turun ke kelompok-kelompok masyarakat kulit hitam itu untuk menjelaskan betapa tidak eloknya trauma apartheid dijadikan dendam, meski Mandela sendiri adalah korbannya dengan menjadi tahanan selama 27 tahun lamanya. Adegan ini terekam dalam film Invictus yg dibintangi Morgan Freeman dan Matt Damon.

Alih-alih menggunakan kekuasaannya dengan tangan besi, Mandela merangkul semua pihak untuk berdialog dan bekerjasama demi kepentingan nasional.

Kita melihat model yang sama yang dilakukan Jokowi dengan merangkul pihak-pihak yang berseberangan dengannya. Ia mengajak Prabowo ke istana membahas kisruh KPK, ia datang ke Rakernas PAN dan berdialog dengan koalisi Merah Putih, dan ia merangkul mahasiswa yg di wakili BEM mengajaknya makan malam di istana.

Apa yang dilakukan Jokowi bukan karena ia takut, karena secara legitimasi ia tidak mungkin diturunkan secara semena-mena, apalagi TNI berada di belakangnya. Ia melakukan komunikasi politik yang lihai, dengan mengajak berfikir seluruh elemen masyarakat yang pro maupun yang kontra supaya melihat jauh ke depan terhadap program2nya.

Ia menjauhkan emosi dari dirinya. Ia tidak lebay dengan berbicara di depan media, mengait-ngaitkan keterlibatan para mafia pangan dan migas di balik adanya aksi-aksi yang akan berlangsung. Ia menghindari konflik sekecil mungkin yang bisa ditunggangi pihak-pihak yang ingin negara ini kacau.

Bangsa ini diajarkan bermain politik secara dewasa. Dialog, keterbukaan, komunikasi. Apa yang dilakukan Jokowi adalah strategi “soft power”, dimana kekuasaan tidak dijadikan senjata untuk memukul mereka yang berseberangan tetapi dijadikan alat untuk mengajak seluruh elemen bangsa berfikir bersama-sama, tanpa melihat sekat-sekat yang membatasi.

Ketika Nelson Mandela ditanya, kenapa ia begitu getol membela kaum kulit putih di tim Springboks, sedangkan kebijakan itu beresiko tinggi membuat citranya hancur di mata mayoritas kulit hitam, sambil mengangkat segelas kopi ia tersenyum dan menjawab,

“Saling memaafkan membebaskan jiwa. Rasa itu menghilangkan semua ketakutan. Itulah kenapa memaafkan adalah senjata paling kuat dan berbahaya..”. [ARN] 

 

Comments
To Top

Eksplorasi konten lain dari Arrahmahnews

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca

Eksplorasi konten lain dari Arrahmahnews

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca