RIYADH, Arrahmahnews.com – Menteri Pertahanan Saudi, Mohammad bin Salman terang-terangan mengancam untuk melancarkan perang dengan Kuwait setelah meningkatnya perselisisihan kedua negara Teluk Persia itu terkait ladang minyak Khafji.
Kuwait sendiri telah mengeluhkan bahwa penutupan terus-menerus ladang minyak milik bersama Khafji, akan menimbulkan kerugian besar yang harus ditanggung Saudi nanti di masa depan.
Menteri Perminyakan Kuwait, Ali Al Omair, dalam surat kepada rekan sejawatnya di Saudi telah menyarankan kepadanya untuk segera mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna melanjutkan kembali produksi di Khafij, karena dengan terus menutup produksi dan ekspor dari ladang minyak Khafij, Kuwait akan menderita kerugian besar dan nantinya kerugian itu harus ditanggung Saudi karena hal itu terjadi akibat pelanggaran perjanjian operasi 2010 dan kesepakatan (untuk 50 tahun), antara Saudi dan Kuwait.
“Kami telah menyelamatkan Kuwait dari cengkeraman Saddam, dan kini siapa yang bisa menyelamatkannya (Kuwait) dari cengkeraman kami?” ucap Salman dalam reaksi kerasnya terhadap tindakan Kuwait sebagaimana dikutip sumber intellijen.
“Kuwait tidak memiliki keunggulan apapun atas kami. Negara itu terbentang di atas tanah yang luasnya tidak lebih dari seperempat bagian Riyadh,” tambahnya.
Ladang minyak Khafij telah ditutup semenjak Oktober tahun lalu karena dianggap tidak sesuai dengan standar lingkungan hidup Saudi yang baru, ladang minyak itu sendiri dioperasikan oleh perusahaan Al-Khafij Joint Operations Co (KJO), yang merupakan gabungan antara AGOC, anak cabang dari perusahaan minyak Saudi ARAMCO dan perusahaan minyak Kuwait, Kuwait Gulf Oil Co (KGOC)
Kuwait dilaporkan telah membawa kasus ini ke pengadilan Arbitrase Internasional dan menyebabkan Menhan Saudi yang masih muda itu murka.
Sebelum ditutup, ladang minyak Khafij mampu memproduksi sekitar 280.000 hingga 300.000 barel minyak perhari.
Arab Saudi dan Kuwait juga telah berbagi ladang minyak Wafra, yang kemudian ditutup oleh Saudi semenjak bulan Mei lalu dengan alasan sulitnya operasi. Perusahaan minyak besar milik Amerika Serikat, Chevron mewakili pemerintahan Saudi sebagai pengelola ladang minyak tersebut.
Menurut sumber-sumber yang ada, pihak berwenang Kuwait marah atas pembaharuan kesepakatan yang dilakukan Riyadh dengan perusahaan Chevron pada tahun 2009 selama 30 tahun tanpa konsultasi dengan mereka. Menanggapi itu, mereka menolak penerbitan atau perpanjangan visa bagi staf “Chevron”.
Penghentian pengolahan di kedua ladang minyak di tengah berlimpahnya produksi mengakibatkan penurunan signifikan harga minyak. (ARN/RM/FNA)