JAKARTA, Arrahmahnews.com – Pemberitaan tentang penggusuran Warga Kampung Pulo rasanya gak tahan juga untuk tidak mengomentarinya. Bukan karena ikutan trend, tapi supaya bisa memahami masalah sebenarnya dan berusaha adil dalam menilai sesuatu.
Sejarah Kampung Pulo Jakarta dimulai thn 1930, sebelum kemerdekaan. Sejak lama warga mengurus supaya tanah – yang mereka anggap tanah adat- di konversi menjadi SHM, tapi ditolak dan program mereka gagal. (Baca Senjata Ampuh Jokowi Sang Presiden)
Kampung pulo berlokasi di bantaran sungai Ciliwung. Setiap hujan kawasan itu banjir sampai 2 meter, dan warga selalu mengungsi. Kalau kita melihat berita saat kampung pulo kebanjiran, pasti miris melihatnya. Air sampai ke atap dan anak-anak keciil dinaikkan sampan untuk kemudian mengungsi di ruang-ruang terbuka yang jelas tidak sehat untuk mereka.
Itu kalau banjir. Ketika musim kering pun miris melihat kampung pulo. Sampah-sampah menggunung di kali Ciliwung akibat mereka melakukan banyak aktifitas disana, mandi, buanga air besar, sikat gigi dan dengan menggunakan air yang bercampur dengan sampah yang mereka buang kesana. Sungguh tidak manusiawi di abad modern ini yang selalu berbicara ‘kebersihan adalah sebagian dari iman”.
Ada lebih dari 3.800 warga disana, di lahan seluas 8,5 hektar. Jumlah warga yang besar ini yang membuat Kampung Pulo sulit tersentuh karena suara mereka selalu dimanfaatkan untuk banyak kepentingan antara lain pilgub, pileg dan lain-lain. Belum lagi para LSM untuk orang miskin yang mendapat dana dari luar untuk memberikan bantuan kepada warga sana, sekaligus untuk menghidupi LSM itu sendiri. Bisa dibilang Kampung Pulo itu adalah kemiskinan yang dipelihara sejak lama.
Sejak menjadi wakil gubernur, Kampung Pulo memang sudah menjadi sasaran tembak Ahok. Kenapa ? Untuk menuntaskan janjinya supaya Jakarta bisa bebas banjir.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menggusur tempat tinggal warga di Kampung Pulo, Kampung Melayu, Jatinegara, Jakarta Timur. Sebagai penggantinya, Pemprov DKI merelokasi warga ke rumah susun sewa (Rusunawa) di Jalan Jatinegara Barat, Jakarta Timur.
Kepala Pengelola Rusun Wilayah III Said Ali mengatakan, pemerintah telah menyediakan 518 unit atau bidang untuk ditinggali warga Kampung Pulo yang terdampak penggusuran. Namun hingga saat ini, baru 429 warga yang telah mengambil undian untuk mendapatkan unit di Rusun tersebut.
“Kami sediakan 518 unit sesuai jumlah tempat tinggal warga yang digusur di Kampung Pulo. 6 Juni kemarin ada 429 yang ikut undian. Yang sudah ambil kunci ada 254 warga,” ujar Said saat ditemui di Rusun Jatinegara, Jakarta Timur, Kamis (20/8/2015).
Said juga menuturkan, sesuai perintah Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, warga yang tinggal di Rusun Jatinegara digratiskan selama 3 bulan. Setelah itu, warga dipungut biaya Rp 300 ribu per bulan untuk Iuran Pengelolaan Lingkungan (IPL). Sedangkan untuk air dan listrik, warga mengeluarkan biaya sendiri sesuai kebutuhan.
“Di bulan keempat dan seterusnya, tiap unit membayar Rp 300 ribu. Itu juga untuk keperluan operasional, seperti lift, kebersihan, keamanan, dan sebagainya. Itu di luar air dan listrik. Listriknya 900 watt pakai pulsa,” terang dia.
Ia juga menegaskan, bahwa rusun yang dibangun 16 lantai tersebut hanya diperuntukkan bagi warga Kampung Pulo yang terdampak penggusuran. Mereka juga harus mempunyai tempat tinggal dan terdaftar sebagai warga Kampung Pulo.
“Kalau yang ngekos atau ngontrak di situ ya nggak bisa. Hanya khusus warga Kampung Pulo saja,” tandas Said.
Disini saya yang merasa aneh sama mereka yang mempermasalahkan penggusuran Kampung Pulo, seperti Ratna Sarumpaet dan sejenisnya. Sisi lain mereka teriak-teriak kalau Jakarta banjir, pemprov gak melakukan apa-apa-lah, tidak memenuhi janji-lah. Tapi ketika pemprov melaksanakan tugasnya, mereka juga yang teriak, tidak manusiawi-lah, kenapa gak gusur perumahan elit-lah dan sebagainya. Sepertinya, apapun yang pemerintah lakukan mereka juga pasti akan teriak. Mungkin karena kerjaannya teriak kali, ya kalau ga teriak gada kerjaan.
Jokowi pernah berpesan kepada Ahok sebelum melakukan penggusuran supaya Kali Ciliwung kembali normal, siapkan rusun untuk warga. Ini sangat humanis, warga Kampung Pulo dibangunkan rusun sekelas apartemen di tengah kota yang harga tanahnya puluhan juta/ meter, dengan cicilan yang murah setiap bulannya dan itu menjadi hak pakai untuk mereka yang asli warga Kampung Pulo. (Baca Perang Cerdas Ala Jokowi)
Kenapa bentrok ? Itu karena ada beberapa warga yang tidak puas karena tidak diberikan ganti rugi tanah. Sedangkan pemprov tidak mengalokasikan dana itu sebab itu tanah pemerintah. Penggantian yang dilakukan adalah dengan membangunkan mereka rusun, sedang warga minta duit. Sudah dilakukan proses dialog sebelumnya, bahkan penggusuran yang direncanakan sebelum lebaran ditunda karena permintaan wakil warga sendiri yang ingin berlebaran terakhir kali di tanah kelahirannya.
Nah bentrok terjadi karena ada yang tidak puas. Memang sulit memuaskan semua orang, kita tahu itu. Dikasi hati minta rempela, dikasi rempela minta sayap, dikasi sayap minta kepala. Khas manusia, nafsunya terus meningkat.
Bentrokan tidak terhindarkan karena ada yang ingin membakar alat-alat berat dan melempar-lempar batu. Kalau sudah begini, apa yang harus dilakukan ? Diam saja ? Kalau kemudian negara mundur, akan menjadi preseden buruk ke depannya. Wilayah lain akan merasa bahwa Kampung Pulo bisa membuat negara mundur, berarti mereka juga bisa. Titik api keributan meluas karena negara tidak punya wibawa.
Jadi lihatlah dalam skala yang luas, jangan hanya melihat sebatas pandangan lensa dan kamera wartawan, ada yang digebuki, ada yang berdarah, kemudian memaki pemerintah. Kita tahu bahwa media-media di Indonesia dimiliki oleh sejumlah pengusaha yang sebagian diantaranya adalah barisan sakit hati. Jadi, angle apapun yang bisa memojokkan pemerintah, akan mereka lakukan dengan sekuat tenaga.
Yang lucu lagi, ada teman-teman yang kalau nonton ILC menyumpahi-nyumpahi Ratna Sarumpaet yang kalau ngomong ngelantur gak jelas kemana arahnya, saat peristiwa Kampung Pulo mendukungnya. Saya bingung, standar yang dia pakai apa ya.
Sekarang mugkin terlihat kejam untuk memindahkan 3.800 orang dari tempat horor ke tempat yang lebih manusiawi. Tapi lihatlah beberapa tahun kemudian, ketika anak-anak mereka -yang selalu mereka ungsikan, yang menghisap hawa busuk sampah, yang terancam penyakit demam berdarah – sudah besar dan tumbuh dengan sehat di lingkungan sehat. Generasi mereka-lah yang akan berterima-kasih kepada pemerintah karena sudah di selamatkan dari kebodohan, kemiskinan bahkan ancaman kematian karena penyakit.
Warga Kampung Pulo yang berpuluh tahun terbiasa dengan bau busuk menyengat, sekarang diajarkan untuk menikmati bau harum rusun yang sehat dan bersih. Mereka teriak-teriak karena tidak terbiasa pada awalnya. Tapi lama-kelamaan mereka akan merasakan nikmatnya. Percayalah akan hal itu, menyesal itu bukan di awal tapi di akhir. Mari Dukung warga Kampung Pulo menempati singgasana rusunawa yang lebih manusiawi. (ARN/DS/BebagaiMedia)
