JAKARTA, Arrahmahnews.com – Lama nian kita tidak melihat celotehan-celotehan menggelitik dan penuh keilmuan yang tinggi dari seorang anak negeri Ustad Abu Janda al-Boliwudi yang sering kali mengungkapkan fakta-fakta menarik tentang kelompok-kelompok radikal (Wahabi) yang anti NKRI dan anti Nasionalisme. Pesaing Si Jonru PKS tidak ada lagi di dunia maya, mari kita bandingkan antara keduanya.
Sementara Jonriah Ginting a.k.a Jonru, walau menerbitkan karya tulis dalam bentuk fisik di dunia nyata, tercermin dari bagaimana dirinya merangkum dunia lalu menuliskannya dalam bentuk kata kata, sangatlah tidak inspiratif dan berkualitas.
Keduanya dalam pelbagai macam hal berlawanan, bahkan bila bertemu satu gelanggang akan saling tikam. Karena membawa dua ide yang saling berhadapan. Yakni ide Islam transnasionalis Jonru yang mengikuti wacana Ikhwanul Muslimin ala PKS, melawan Islam Nusantara a’la Nadhlatul Ulama yang resonankan oleh Permadi Arya. (Baca Menjaga NKRI Dari Makar Gerakan Khilafah)
Keduanya berwacana, meresonansi ulang wacana para pemikir purna di PKS atau NU, dan wacana yang diperhatikan seksama banyak orang, dikagumi, dihayati, mampu menggerakkan hati, dan itulah sastra sebenarnya.
Ketika kata mampu menggerakkan manusia, bagi penulis adalah sastra, setidaknya yang sempat dikubur dalam dalam selama satu periode panjang Orde Baru: yakni realisme sosial.
Wacana, sajak, pekikan, kobaran semangat, bukan dalam bentuk melambai estetis, dan tidak ditujukan untuk membuatnya makin abstrak, tidak terkesan canggih, tidak ruwet, tidak dipaksa paksa di sembunyikan makna nya dalam kesengajaan yang angkuh, adalah realisme sosial.
Dan Permadi adalah sastrawan serius kita di dasawarsa kedua milenium ini, yang benar benar membawa nama Indonesia sebagai indonesianis. Anda tentunya pernah kenal sosok ini secara audio visual sebagai Ustad Abu Janda Al Boliwod, dalam video viralnya memparodikan ancaman ISIS di Youtube. Berikut beberapa meme dari abu Jand Al-Boliwudi :
Secara sederhana, Ustad Abu Janda (Permadi Arya) berpihak pada Islam Nusantara, yang bukan sebuah aliran atau organisasi tetapi gerakan Islam yang berpikir dalam bingkai negara kesatuan Republik Indonsia. Karena itulah, Ustad Abu Janda (Permadi Arya) mengkritik keras Arabisasi yang sangat jauh berbeda dengan Islam. Beberapa meme dan komiknya sangat mencerahkan. Salah satunya adalah yang menggambarkan bagaimana Islam Nusantara menghalau gerakan Wahabi dengan mengklon gambar dari Jurrasic World. Ada juga meme yang menjadi gambar T-Shirt dengan tema dari “Kick Andy!” yang diplesetkan menjadi “Kick Wahabi!”. Bahkan Ustad Abu Janda (Permadi Arya) menceritakan dengan kocak kalau wejangannya ibarat Ayat Kursi, menyejukkan bagi pengikut kebenaran dan membuat panas pengikut syaitan. (Baca Pemilik “Arrahmah” Mantan Teroris dari Keluarga Pendukung Al-Qaeda Fitnah Media Aswaja ArrahmahNews.com)
Tentu saja, komunitas yang dikritiknya tidak tinggal diam. Permadi sempat hiatus dalam berkarya pada piranti sosial media Facebook, sehingga terbersit rasa khawatir, jangan jangan dia diculik dalam arti sebenarnya oleh kebab, bahlul, onta arab dan sejenisnya. Bukan tanpa alasan, karena sempat tersebar di lini masa gambar yang memperlihatkan Permadi DPO, sampai sampai ada dalam gambar DPO itu ada lambang Polri segala, mencerminkan bertapa kebabnya pembuat Meme dan bertapa pentingnya orang seperti Permadi tetap ada dan mendidik masyarakat mewaspadai gerakan para kebab.
Ustad Abu Janda (Permadi Arya) dengan bahasa sederhana dan seringkali kocak khas parodi, membuka kedok gerakan Wahabi-Salafi yang hanya menggunakan ayat-ayat tertentu saja untuk melegalkan gerakan kekerasan dan brutal dan mengabaikan ayat-ayat perdamaian di Al-Quran dan Hadits sahih. Tak pelak, laman Facebook Ustad ini menjadi favorit bagi banyak orang, termasuk non Muslim karena benar-benar mencerahkan dan membuka kedok hitam gerakan kelompok radikal (Wahabi).
Laman Facebook Ustad Abu Janda (Permadi Arya) berkali-kali diserang dan ditutup karena serangan masif yang ditenggarai berasal dari parakeyboard warriors kaum radikal. Di media-media kaum radikal, Ustad Abu Janda (Permadi Arya) dilecehkan dan difitnah dengan mengedit postingan dan menyebarkannya di laman-laman radikal seperti Panjimas dan PKSPiyungan. Selain itu, kloningan laman Facebook tandingan Ustad Abu Janda (Permadi Arya) juga bermunculan dan menyebarkan pesan kaum radikal -gerakan untuk mengelabui dan membungkam Ustad Abu Janda (Permadi Arya)-.
Anehnya, pendukung kelompok radikal (Wahabi) lebih banyak mengeluarkan argumen “ad hominem” untuk Ustad Abu Janda (Permadi Arya). Mereka menyerang Ustad ini dan menuduhnya kafir, bukan Islam, dan banyak lagi. Tidak ada satupun pendukung kelompok radikal (Wahabi) yang mau bertukar pikiran dan menggunakan argumen melawan argumen-argumen Ustad Abu Janda (Permadi Arya) yang memang cemerlang dan bijak.
Beginilah asyiknya hidup di negara demokrasi dengan kebebasan yang hampir tak terbatas di dunia maya. Ide-ide cemerlang dan bijaksana bisa diakses dan dibandingkan dengan ide-ide radikal dan berbahaya. Dengan mudah, pembaca baik yang pro maupun kontra bisa menilai, mana yang membawa perdamaian dan kebenaran dan mana yang hanya mau provokasi dan membawa kekacauan.
Ustad Abu Janda (Permadi Arya) telah memberikan pencerahan dengan keberanian melawan suara keras kaum radikal yang menyesatkan. Beliau patut didukung untuk Indonesia yang damai dan demokratis.
Namun, bila kabar diculiknya itu benar, disatu sisi melegakan, setidaknya bagi pengamat sosial media seperti penulis. Alasannya, pertama kalinya seorang sastrawan sosial media dibungkam. Ini sejarah tho? Layak dapat tempat, layak dicatat.
Tapi Alhamdulillah puji Tuhan, Permadi Arya muncul kembali sehat walafiat di sosial media Facebook, ini laman Facebook baru Abu Janda Al-Boliwudi dan tanpa tunggu kopi rada dingin sedikit, langsung nyolot dengan gambar ini :
Gambar menunjukkan kata, caption kata menunjukkan sastra satirik yang serius. Tentu saja, Permadi Arya menjadi seleb yang justru tidak penting nilai figuritas lahir di mana? anak siapa? Orang mana? Hobby makan apa? dst, karena seleb sastra jenis ini, bukan untuk jadi sastrawan petantang petenteng “mereka suka aku ga, aku layak ga, tulisanku bagus ga?” Tapi sastrawan jenis, “kebab mana lagi yang harus kurkejai?”. So. Jika sastrawan umum ingin dirinya beken, yang ini kebalikan, yakni men-unbeken-kan komunitas lain yang dia anggap sedang mengerjai Indonesia, apapun cost-nya. (ARN/MM/BerbagaiMedia)
