JAKARTA, Arrahmahnews.com – Tak cuma kurs rupiah yang tengah dilanda pelemahan tajam, hampir seluruh nilai tukar mata uang di negara Asia juga mengalami nasib serupa. Nilai tukar dolar AS diketahui menguat terhadap rupee India, sementara nilai tukar peso Filipina mencapai angka terlemah tahun ini terhadap dolar yang dipicu lemahnya data ekonomi China. (Baca Dolar Naik Bukan Salah Jokowi Tapi Salah Obama dan Tukang Fitnah)
Melemahnya nilai tukar mata uang Asia disebabkan adanya kekhawatiran penarikan kembali program pembelian obligasi oleh bank sentral Amerika (The Fed) dan menitikberatkan pada perdagangan mata uang di kawasannya. Risiko perdagangan mata uang meningkat kerena pertumbuhan ekonomi China diprediksi akan merosot lebih jauh di kuartal II menyusul lemahnya ekpsor bulan Mei dan sulitnya kegiatan ekonomi domestik. (Baca Pasar Saham Global Mulai Pulih Setelah China Potong Suku Bunga)
Masih saja ada yang belum paham apa yang terjadi pada situasi ekonomi dunia saat ini. Padahal begitu banyak media memberitakan baik dengan bahasa keuangan yang multi ruwet maupun dengan bahasa laporan sederhana supaya awam mampu memahaminya, bahwa situasi ini terjadi karena adanya perang mata uang dunia antara Amerika yang menguatkan nilai dolarnya dan China yang melemahkan mata uangnya.
Perang dua negara dengan cadangan mata uang yang sangat kuat ini, jelas berpengaruh terhadap situasi ekonomi dunia saat ini. Ekonomi dunia melambat. Karena lambat, ekspor-pun berkurang. Karena kurang, pabrik pun tutup. Karena tutup, banyak PHK. Dimana-mana di seluruh dunia, termasuk di AS dan China juga. Apalagi Indonesia.
Tapi masih ada saja yang menyalahkan Jokowi pada situasi ini. Jokowi memang banyak menentukan target-target pertumbuhan ekonomi Indonesia dan Jokowi optimis bahwa September ekonomi kita akan melaju berdasarkan APBN yang belum terserap banyak. Tapi itu sebelum China menurunkan mata uangnya.
Siapapun tidak ada yang mengira apa yang terjadi di depan. Rencana di tentukan, tapi situasi global mengubahnya. Seluruh kepala negara di seluruh dunia panik.
Dan lucunya, karena ketidak-mengertian situasi ekonomi dunia, ada beberapa yang menyuarakan untuk menurunkan Jokowi. Mereka ini kayaknya bernostalgia dengan apa yang terjadi pada Soeharto di tahun 98, tapi salah kaprah. Turunnya Soeharto karena masyarakat muak dipimpin si itu-itu saja selama 30 tahun lebih. Resesi ekonomi itu hanya salah satu pemicu saja, tapi bukan faktor terbesarnya.
Lalu kalau Jokowi turun, siapa penggantinya? Prabowo? Apa Prabowo bisa memaksa AS untuk tidak menguatkan dolarnya? Apa Prabowo bisa menekan China supaya tidak melemahkan mata uangnya? Hebat banget Prabowo kalau bisa menentukan arah kebijakan kedua negara super power itu.
Jangan bodoh-lah dan mau dibodoh-bodohin. Maaf, saya terpaksa menggunakan kata itu, karena kata itu yang tersopan yang bisa saya dapat. Situasi ini seharusnya membuat anda belajar mengenal ekonomi dunia. Tidak perlu pintar seperti ekonom dan ahli keuangan, tapi minimal faham. Hanya supaya faham. Jangan gagal faham.
Teriak-teriak tanpa tahu duduk persoalan sebenarnya menunjukkan kualitas berfikir yang cuma apa adanya, bukan ada apanya. Jika tidak paham, diam itu lebih baik dan jauh lebih bijaksana, anda akan terlihat lebih pintar.
Sudah setahun lebih pilpres berlalu, tapi anda terus terkungkung dengan situasi panas pilpres. Anda jadi seperti lalat yang terperangkap dalam secangkir kopi. Bergerak susah dan lama-lam mati. Siapapun yang melihatnya pasti geli.
Teriakan tentang dolar naik dan ekonomi Indonesia akan runtuh adalah teriakan kejahatan kepada rakyat dan pembodohan, ketika rakyat resah dan gelisah maka itu suatu bentuk penjajahan opini yang jahat sekali, karena dolar adalah efek dunia bukan efek loka dari kepemimpinan Jokowi, jad sekali lagi jangan berceloteh yang tiada arti. *ARN/DS/MM/BerbagaiMedia)
