arrahmahnews

Kerajaan Saudi The Real Apartheid TImur Tengah

Arrahmahnews.com – Ada sebuah negara di Timur Tengah di mana 10 persen dari populasinya diamputasi hak-haknya hanya karena ras mereka berbeda. Dimana kaum laki-laki kulit hitam dilarang menduduki posisi di pemerintahan, sedangkan perempuan kulit hitam dianggap tukang sihir, serta anak-anak mereka diperlakukan secara rasis laksana seorang tahanan. (Baca Saudi Negeri Dongeng, Tapi Nyata)

Arab Saudi Negara Apartheid

Pada tahun 1962  Arab Saudi menghapus perbudakan di bawah tekanan Presiden Kennedy setelah kesepakatan dicapai dengan Kekaisaran Ottoman dan Liga Arab saat itu. Tapi faktanya Arab Saudi membiarkan warganya dari praktek jual-beli budak hingga sekarang, dan sepertinya kasus perlakukan kasar dan sewenang-wenang terhadap tenaga kerja indonesia (TKI) atau negara-negara lain, karena mereka menganggap mereka sebagai budak. (Baca Arab Saudi bukan “Negara Islam”, Tapi “Penjual Islam”)

Perbudakan_Di_Arab_Saudi_001

Pelanggaran hak asasi manusia dan rasisme di Saudi melebihi negara-negara lain. Ketika rumor merebak bahwa Kekaisaran Ottoman akan mempertimbangkan penghapusan perbudakan di Afrika dan pemberian hak yang sama kepada semua ras, Grand Mufti Mekkah justru mengeluarkan fatwa yang menyatakan “larangan budak bertentangan dengan syariat (hukum islam)…dengan itu, turki telah menjadi negara kafir dan halal memperbudak anak-anak mereka”.

Pada akhirnya kekayaan minyak Arab Saudi membuat perbudakan ekonomi. Mulanya, orang-orang Afrika bekerja untuk perusahaan minyak asing dengan bayaran murah. Hal ini membuat kerajaan meninggalkan penggunaan budak dalam negeri, dan beralih ke teknisi terlatih dari barat serta mengimpor tenaga kerja rumah tangga (PRT) dari Asia dan kontruksi bangunan.

Arab Saudi merumahkan 450.000 budak (pekerja asal Saudi) pada tahun 1950, kemudian mendatangkan 8,4 juta tenaga kerja asing. Namun, para perkerja ini tetap saja diperlakukan seperti budak dan dirampas hak-haknya. Contohnya Nepal pernah melaporkan lebih dari 265 kematian tenaga kerjanya di Arab Saudi dalam satu tahun. Direktur Eksekutif Migrant Care, Anis Hidayah, mengatakan dalam setiap tahun jumlah kekerasan dan kematian Tenaga Kerja Wanita di Arab Saudi semakin meningkat. Pada tahun 2009, jumlah tenaga kerja yang terkena kasus kekerasan di Arab Saudi sebesar 1.048 orang, sedangkan jumlah kematian  mencapai 221.

Sementara, sepanjang tahun 2012, menurut BNP2TKI, kasus kematian TKI mencapai 328 orang. Paling banyak terjadi di Arab Saudi (100), Uni Emirat Arab (20), Suriah (13), Yordania (13, Qatar (12 ), Oman (7), Kuwait (5), Bahrain (2), dan di Irak serta Mesir masing-masing satu orang.

Human Rights Watch juga telah menegaskan bahwa kondisi pekerja asing di Arab Saudi menyerupai perbudakan. Sementara itu, 3 juta Afro-Saudi (warga Saudi berambut kriting Afrika) tidak mendapatkan hak yang sama dengan warga lainnya. Mereka tidak bisa menjadi hakim, pejabat keamanan, diplomat, walikota dan banyak posisi resmi lainnya. Begitu pula dengan wanita Afro-Arab tidak diizinkan untuk tampil di depan kamera.

“Tidak ada satu pun kepala sekolah berkulit hitam di Arab Saudi,” Institute for Gulf Affairs, sebuah kelompok hak asasi manusia Arab, melaporkan.

Kafa’ah, kesetaraan dalam pernikahan, digunakan untuk menetapkan bahwa kedua belah pihak bebas dari “noda” atau darah budak. Darah Takruni, budak Afrika Barat, atau Mawalid, budak yang memperoleh kebebasan mereka dengan masuk Islam.

Bahkan siapapun bisa mempidanakan seseorang ketika terbukti tidak ada Kafa’ah dalam perkawinan setelah terungkap suami atau istri berasal dari keturunan Afrika. Ini salah satu cara Arab Saudi mencegah mantan budak kawin campur dengan yang bukan budak, dan upaya untuk tidak menghilangkan cap “budak” pada diri seseorang.

Oleh karena itu, di beberapa daerah di Arab Saudi, persentase pernikahan antar saudara sedarah mencapai angka 70 %. Hal ini memicu tingginya angka cacat lahir terbesar kedua di dunia, tetapi kerajaan Saudi justru menuduh wanita sebagai penyebabnya sebagai akibat dari mengemudi, meskipun Arab Saudi memberlakukan larangan mengemudi bagi perempuan.

Demikian juga, wanita dilarang banyak bekerja dan mencegah mereka dari berpergian ke luar negeri. Tenaga kerja asing diperlakukan seperti budak, surat-surat identitas mereka dipegang oleh majikan, agar dapat memanfaatkan para pekerja tanpa batas karena tercegah dari berpergian.

Tenaga kerja ini tidak hanya mendapat kekerasan fisik, terkadang mereka juga dituduh membunuh, serangan seksual, mencuri, tukang sihir dan melarikan diri hingga akhirnya mereka tidak mendapatkan upah atau gaji yang seharusnya mereka dapatkan.

Sementara itu, “Ideologi wahabi Monarki masih memandang kulit hitam sebagai budak,” Ali Al-Ahmed, Direktur Institute for Gulf Affairs, dia menulis dalam majalah Foreign Policy. (Baca Antara Haramain dan Kerajaan Monarki Arab Saudi)

Perbudakan di Arab Saudi itu terkait dengan ideologi wahabi bukan Islam, karena Quran, Hadist dan Nabi Saw diutus untuk menghapus perbudakan. Sementara merek sengaja memanfaatkan “khadimul Haramain” sebagai alat untuk memikat muslim Afrika dan Asia ke dalam perbudakan. Muslim Afrika yang berziarah ke Mekkah, ditipu dan dipaksa untuk menjual anak-anak mereka ke dalam perbudakan untuk membayar perjalanan pulang. Perdagangan budak memikat muslim Afrika dari Sudan, Mali, Nurkina Faso dengan menjanjikan mereka ziarah ke tempat-tempat suci Islam atau berupa paket program pendidikan. (Baca Mekkah dan Madinah Bukan Milik Kerajaan Saudi)

Sheikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, otoritas ulama terkemuka di Arab Saudi, terus terang menyatakan, “Perbudakan adalah bagian dari “Islam” (baca; menurut wahabi). Perbudakan adalah bagian dari jihad, dan jihad akan tetap ada adalah Islam.  (ARN/MM/Berbagai Media)

Comments
To Top
%d blogger menyukai ini: