JAKARTA, Arrahmahnews.com – Layaknya artis, kehadiran Presiden Jokowi disambut banyak ‘penggemar’ yang berebutan mendapatkan jabat tangan sang Presiden. Lagu Indonesia Raya pun berkumandang dari ‘tim paduan suara’ dadakan. Pada kunjungan kerjanya ke Abu Dhabi, Presiden Jokowi menyempatkan diri mengunjungi supermarket tersohor di negara itu, Lulu Hypermarket.
Kehadiran orang nomor satu ini sudah ditunggu-tunggu para Warga Negara Indonesia (WNI) yang bekerja di negara itu. Jumlahnya tidak sedikit, maklum, negara Abu Dhabi merupakan salah satu negara tujuan Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Namun, tidak hanya TKI, banyak mahasiswa asal Indonesia yang menimba ilmu di negara itu.
Para WNI ini sudah menanti kehadiran Jokowi dengan antusias. Hal ini, sejak Jokowi menyandang jabatan Presiden, inilah kali pertama mantan Gubernur DKI Jakarta itu melakukan kunjungan ke negara Timur Tengah yang merupakan basis TKI.
Saking antusiasnya kedatangan orang nomor satu di Indonesia, tanpa ada yang mengomando, terdengar lagu Indonesia Raya yang dinyanyikan serempak oleh masyarakat Indonesia yang memenuhi Lulu Hypermarket.
Kedatangan Jokowi ke Lulu Hypermarket bukan tanpa sebab. Seperti dikutip dari laman situs Sekretariat Kabinet, Senin, 14 September 2015, Jokowi ingin menjadikan LuLu Hypermarket sebagai outlet bagi produk-produk dari Indonesia di negara Timur Tengah. LuLu mempunyai jaringan yang luas yang tersebar di Timur Tengah dan Asia sebanyak 165 outlet.
Jokowi juga telah meminta pemilik LuLu Hypermarket yang telah dikenalnya sejak 11 tahun yang lalu untuk mengembangkan produk-produk kecil dari desa-desa dan kampung-kampung, seperti kerajinan tangan.
Cerita diatas hanya menceritakan begitu senangnya para TKI dan WNI disana dengan kedatangan Presiden Jokowi, itulah hal yang saya kagumi dari Jokowi, beliau melakuakn lawatannya ke Timur Tengah untuk melakukan beberapa negoisasi dan memantau kondisi TKI di Timur Tengah. Sebelumnya Jokowi melakukan pertemuan dengan Raja Salman, beberapa media dan kelompok yang anti pemerintah juga memperolok-olok tingkah sang Presiden ketika bersalaman dengan raja Salman. Tapi itu penyakit sakit hati dan hasut yang masih menggerogoti mereka yang kalah. hal inilah yang kita acuin jempol kepada Jokowi atas kemampuannya ber-negosiasi tanpa menanggalkan martabat bangsa dan tidak menghiraukan musuh-musuhnya yang memperoloknya.
Banyak dari kita ketika berharap sesuatu, harus mengorbankan martabat kita. Kita menganggap itu adalah hal yang wajar, yang penting tujuan tercapai. Kita memaksa merendahkan diri kita, supaya boss menyukai kita. Kita memaksakan diri menggunakan atribut-atribut dan kebiasaan orang asing, supaya orang asing mau bernegosiasi dgn kita. (Baca Jonru Wahabi, Kader PKS Bela Saudi Salahkan Jokowi Atas Tragedi Runtuhnya Crane di Masjidil Haram)
Tetapi Jokowi tidak. Ia bisa saja datang dan berpelukan sambil saling mencium pipi layaknya orang Arab, seperti yang dilakukan banyak pembesar ketika bertemu seorang raja. Sah-sah saja untuk mencairkan dan mengakrabkan hubungan. Dalam istilah marketing, itu dinamakan breaking the ice.
Sebelum ia datang, ia sudah menyampaikan kepada protokoler bahwa Indonesia mempunyai gaya berbeda. Meski sesama Islam, tapi gaya yang di tunjukkan adalah gaya Islam Nusantara. Kebetulan yang di bawa adalah budaya khas Jawa, menunduk hormat ketika berhadapan dengan raja dengan tangan ditangkupkan di depan dada. Menarik sekali.
Inilah yang malah menjadi celah bagi pembencinya yang tidak mengetahui maksud protokoler itu. Mereka menganggap bahwa seharusnya Jokowi berpelukan dan saling mencium pipi. Dengan memotong gambar, mereka pun terkekeh-kekeh mengatakan bahwa raja Salman bukan wanita yang tidak boleh di peluk, seperti memeluk non muhrim.
Jokowi kesana mempunyai beberapa agenda. Diantaranya menjual senjata buatan putra bangsa, juga meminta penambahan kuota haji dan yang terakhir – yang paling berat – meminta keringanan atas hukuman mati thd beberapa orang TKI.
Kenapa jika untuk itu Jokowi tidak cukup menyuruh bawahannya saja seperti Menteri atau Dubes-nya ? Bisa saja, dan bukan menjadi masalah. Tetapi begitulah seorang leader bergerak. Ia memimpin pasukan paling depan, bukan hanya main perintah dan duduk di belakang.
Ia bisa saja berbasa-basi melalui telepon dan pelesir entah kemana, tapi ia malah bekerja. Karena memang dia disana untuk kerja, maka pihak kerajaan-pun menyiapkan ruang kerja. Hal yang mungkin jarang di lakukan oleh pihak kerajaan ketika seorang pemimpin negara bekerja. Biasanya yang kerja anak buah, sedangkan para pemimpinnya duduk di ruang utama dan tertawa-tawa sambil menghisap cerutu kuba dan segelas Chateu Latife tahun 1787, yang harga per botolnya mencapai 2 milyar rupiah.
Itulah Jokowi. Ia datang bernegosiasi sekaligus mengenalkan budaya bangsa. Ia bersalaman dengan rasa percaya diri yang tinggi karena mewakili 280 juta rakyat Indonesia. Ia terlihat terhormat tanpa meninggikan diri. Ia tidak meringis senyum-senyum di depan kamera sambil berucap, Yes Highly.
Ia tidak gagap dengan dominasi nama besar Saudi, dan sangat menguasai situasi. Bahkan dengan tenangnya ia meminta Saudi bertanggung-jawab atas rusaknya KBRI Yaman yang di bom Saudi.
Tidak mudah berada pada situasi yang sarat tekanan nama besar seperti itu. Apalah Indonesia dibandingkan Saudi yang pendapatan perkapitanya saja 5 kali lebih besar dari kita. Belum lagi Saudi menjadi pusat kumpulnya muslim seluruh dunia. Tetapi Jokowi berhasil menempatkan dirinya dengan baik dan memperoleh hasil penambahan kuota haji Indonesia.
Apa yang bisa kita pelajari dari sini ?
Sudah waktunya mental jongos dibuang ke tempat sampah. Tipikal menjilat dan merendahkan diri karena penuh dengan harapan besar, sudah ditinggalkan. Sekarang saatnya Indonesia pelan-pelan di tarik dalam pergaulan Internasional. Semoga berhasil dalam negosiasinya, bapak bermata petir. (ARN/DS/Berbagai Media)
