arrahmahnews

Rusia Diantara Dilema Barat dan Kelompok Takfiri di Suriah

JAKARTA, Arrahmahnews.com – Posisi yang diambil Rusia dengan teguh mendukung pemerintah Damaskus dan oposisi dari campur tangan pihak luar menunjukkan bahwa Moskow memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai ‘keistimewaan’ Suriah. (Baca Putin: Rusia Selalu Dukung Pemimpin dan Warga Suriah)

Bashar Assad Presiden Sah Suriah

Para pakar di Barat, Turki, dan negara-negara Teluk yang memperkirakan bahwa kejatuhan rezim di Damaskus akan berjalan sesuai dengan skenario yang mereka terapkan di Tunisia (melalui pemberontakan internal) atau Libya (melalui campur tangan pihak luar) tampaknya telah salah total. (Baca Lavrov ; Rusia Cegah Skenario Libya di Suriah)

Para pakar di Rusia menyebutkan bahwa kasus Suriah ini berbeda dari yang lain, populasi yang  heterogen, tentara yang cukup efektif, kelas yang berkuasa cukup terkonsolidasi, dukungan yang kuat dari Iran, dan lain-lain. Membuat mereka memprediksi bahwa ‘efek domino’ di Suriah  setidaknya akan terputus-putus.

Antara 2011 dan 2015, situasi di negara tersebut, tentu, mengalami kemunduran, namun tetap saja rakyat masih solid mendukung pemerintahnya. Banyak hal yang terjadi sepanjang perjalanan tersebut, termasuk perang AS melawan Suriah yang sempat dimulai kemudian segera dibatalkan, operasi untuk melenyapkan dan menghancurkan Suriah dengan senjata kimia, upaya untuk mempersatukan oposisi  melawan Bashar Assad. (Baca Turki dan Amerika Bentengi Teroris di Suriah dan Irak)

Ada sebuah survey yang dilakukan oleh Lembaga Riset ORB International. Survey dilaksanakan mulai 10 Juni sampai 2 Juli 2015 dengan responden 1365 warga Suriah dari keseluruhan dari 14 provinsi di negara tersebut.

Dari keseluruhan hasil Survey terlihat 3 hasil yang sangat mencolok yaitu: pertama, 82 % Rakyat Suriah percaya bahwa ISIS adalah ciptaan USA dan para sekutunya. Kedua, 79 % Rakyat Suriah menganggap para “jihadis” asing yang menyerbu negeri mereka adalah penyebab memburuknya situasi di negeri mereka. Ketiga, dan hanya 21 % Rakyat Suriah yang lebih menyukai hidup mereka sekarang dibanding saat Suriah masih sepenuhnya dipimpin Assad.

Hasil SurveyHasil survey ini telah dipublikasikan oleh Media USA sendiri The Washington Post yang mengaku terkejut dengan hasil ini.

Kemunculan ISIS

Kemudian kemunculan ISIS mengacaukan segalanya. Suriah yang dulu sudah tidak sama lagi. Kekejaman dan kengerian yang sengaja dilakukan dan dipertontonkan ISIS telah membuat negara itu dicekam kecemasan, ketakutan dan horor yang luar biasa.

Bukti tak langsung bahwa Moskow memberi pendampingan militer ke Damaskus menciptakan asumsi bahwa Rusia telah memutuskan untuk bergerak lebih aktif dalam krisis tersebut. Situasi yang terjadi memang membingungkan: semua pihak terlibat konflik beraneka ragam. Pasukan Assad melawan ISIS dan mereka yang disebut oposisi moderat oleh barat. Oposisi menentang semua pihak. Bahkan yang sebelumnya tidak diperhitungkan, misalnya, Kurdi, yang mengobarkan perang mereka sendiri melawan Turki yang berkedok memerangi ISIS juga terjadi. (Baca Turki dan Amerika Bentengi Teroris di Suriah dan Irak)

Tentu kita tak bisa mengharapkan kekacauan militer dan politik ini akan membangkitkan warga Suriah. Lebih-lebih karena para ‘pemain asing’ masih  memiliki posisi yang sama terhadap krisis ini.

Secara umum, di Suriah, sama seperti di Timur Tengah secara keseluruhan, tak  ada ‘kemenangan’ yang sesungguhnya. Diplomat Rusia selalu menegaskan bahwa ini bukan mengenai Assad, melainkan mengenai prinsip untuk ‘jangan melakukan campur tangan’, ‘jangan melakukan kekerasan’ di negara itu.

Barat membuat opini, karena terus ditunda-tunda, alternatif sesungguhnya dari rezim saat ini kini direpresentasikan bukan oleh oposisi, melainkan ISIS. Rusia berpandangan dogma Barat menggerogoti kemungkinan transformasi pemerintah Suriah. Kini pertanyaannya adalah, mungkinkah mencegah ISIS menguasai Damaskus, yang mungkin akan memiliki dampak propaganda  paling kuat?

Damaskus merupakan salah satu ibukota kebudayaan dan sejarah di seluruh dunia Arab, bagian dari warisan peradaban Eropa. Jika sampai Damaskus ditaklukkan ISIS, maka hal ini akan menjadi simbol kemunduran modernitas Timur Tengah yang tak bisa dikembalikan. Kini jutaan pengungsi dari wilayah tersebut membanjiri Eropa. Mereka ketakutan akan ISIS. Mereka juga menyadari  bahwa di tempat yang masa depannya dilukis dengan warna ISIS, tak ada tempat untuk masyarakat modern yang berpandangan ke depan. (Baca Putin : Pengungsi Suriah Lari Karena Kekejaman ISIS Bukan Bashar Assad)

Sejumlah kontak diplomatik yang terjadi musim panas ini, ketika Moskow menerima segelintir kunjungan dari Timur Tengah, menciptakan kesimpulan bahwa kesibukan Rusia saat ini seharusnya tak mengejutkan pihak lain. Secara objektif, kesiapan Moskow untuk menanggung resiko demi mempertahankan Damaskus adalah untuk kepentingan semua pihak, kecuali ISIS.

Pemimpin Barat, satu per satu, menyuarakan ketidakpuasan dan kekhawatiran akan kehadiran militer Rusia di Suriah, meski pada saat yang sama, misalnya, David Cameron meminta intervensi tegas untuk memerangi ISIS.

Jika di pihak Barat ada yang beranggapan bahwa jika ISIS dapat dikalahkan, dan setelah itu akan muncul kesulitan untuk mengontrol Suriah karena telah terikat dengan Rusia, maka kekhawatiran Barat dapat dibenarkan, mereka memang tak mau Rusia memiliki peran serius dalam masa depan Suriah. (Baca Kanselir Jerman ‘Angela Merkel’: Rusia yang dapat Selesaikan Krisis Suriah)

Namun, yang sebenarnya, skenario yang lebih realistis adalah kenyataan bahwa selama ini, koalisi Internasional tak bisa mengalahkan ISIS, dan Suriah tak bisa dibangkitkan dari pondasi yang baru seharusnya menjadi pertimbangan serius.

Dalam kasus itu, tentu masuk akal bagi Barat untuk tak menghalangi tindakan Rusia namun justru jika mungkin, (meski hampir mustahil) mendampingi Rusia. Sayangnya, seluruh sejarah yang terjadi di Timur Tengah dan sikap pasukan asing terhadap wilayah tersebut mengindikasikan bahwa pasukan asing hampir kehilangan kemampuan untuk menganalisa apa yang terjadi tanpa memiliki bias ideologi dan pandangan personal. (ARN/RM/WashingtonPost)

Comments
To Top
%d blogger menyukai ini: