RIYADH, Arrahmahnews.com – Pihak Kementrian Haji telah menyalahkan para jamaah atas tragedi Mina, terutama jamaah kulit hitam yang berasal dari Afrika. Namun hal ini dibantah dengan keras oleh para jamaah haji itu sendiri.
Kepala Komite Pusat Haji Arab Saudi, Pangeran Khaled al-Faisal, mengumbar kemarahan dengan menyalahkan “beberapa peziarah yang berkebangsaan Afrika” dalam tragedi tersebut, sebagaimana dilaporkan jaringan tv al-Arabiya, Kamis (24/9) kemarin.
Komentar penuh nada rasisme dari pangeran Saudi itu segera dibantah keras oleh para jamaah haji maupun otoritas negara-negara yang bersangkutan.Di antara mereka yang dipastikan telah tewas dalam tragedi itu adalah termasuk tiga warga Kenya, orang-orang Niger, Chad dan Senegal serta Nigeria dalam jumlah yang belum bisa dipastikan, termasuk juga Bilkisu Yusu, editor wanita pertama surat kabar Nigeria utara.
Tuduhan pangeran Khaled al Faisal dibantah keras Emir Kano, Nigeria, “Kami minta otoritas Saudi untuk tidak menimpakan kesalahan kepada para jamaah haji dengan alasan tidak mengikuti perintah,” ungkap Emir Kano, Muhammad Sanusi.
Ia mengatakan bahwa para jamaah yang sampai di jamarat untuk melakukan ritual melempar jumroh, seharusnya tidak boleh berada di jalur yang sama dengan mereka yang pulang dari ritual yang sama. “Mereka seharusnya tidak boleh bersimpangan,” tambahnya. (Baca Ini Penyebab Tragedi Mekkah, Saudi Tutup Dua Jalan Menuju Mina)
Barr Abdullahi Mukhtar Muhammed, ketua Komisi Haji Nasional Nigeria mengatakan bahwa nanti setelah penyelidikan akan terlihat bahwa para jamaah haji tidak bisa disalahkan.
“ Di Zaman sekarang, di era elektronik dan pemasangan cctvdi Mekkah dan sekitarnya, pemerintah Saudi dapat dengan mudah mengetahui bagaimana kepanikan yang menimbulkan malapetaka itu dimulai dan apa yang menyebabkannya,” ungkap Muhammed, seperti dikutip oleh surat kabar Punch Nigeria.
Seorang warga Kenya yang selamat dan kembali ke kemah pada hari Jumat (25/9) kemarin, mengatakan kepada AFP bahwa kelompoknya kehilangan tiga orang. “Saya menyalahkan pemerintah Saudi karena mereka tidak menguasai (situasi). Saya di sana. Saya selamat,” ungkap Isaac Saleh sambil terus menangis.
Selain para jamaah haji dan otoritas negara setempat, Komentar Rasis pangeran Saudi itu juga telah menimbulkan kecaman di media sosial.
Shaija Patel, penyair Kenya, dramawan dan aktivis politik, mengatakan bahwa komentar itu “tidak senonoh”. “Ini adalah hasutan kriminalitas yang akan memicu kekerasan anti- kulit hitam,” tulisnya di Twitter.
“Penjual ikan, Kafisah Nankumba harus menabung 10 tahun agar bisa berhaji, dan Arab Saudi menyalahkannya untuk tragedi Mina?” tulisnya dengan menambahkan hastag #MinaStampede.
Abu Farhan, seorang muslim Kenya, menulis,” Saya pernah melaksanakan Ibadah Haji dan ya, memang terkadang tindakan “terlalu bersemangat” orang-orang Afrika itu memalukan, namun tetap saja mereka tidak bisa disalahkan atas tragedi desak-desakan itu.”
Bahkan seebelum tragedi Kamis, para peziarah lain juga telah mengeluhkan minimnya pengelolaan. Jamaah Haji menyaksikan sendiri ketidak becusan pemerintah Saudi dalam menangani ritual Ibadah Haji.
Dalam pandangan seorang jamaah Mesir yang mengidentifikasi dirinya hanya dengan nama depan Ahmed, “kesalahan bukan terletak pada para peziarah (jamaah haji)”.
“Arab Saudi menghabiskan banyak uang untuk ritual haji, tetapi tidak ada pengelolaan sama sekali,” ungkapnya mengeluhkan bahwa arus orang masuk dan keluar dari tenda-tenda jamaah, butuh untuk dikelola dengan lebih baik.
“Ada kekacauan disana. Polisi telah menutup semua akses masuk dan keluar untuk menuju kamp-kamp jamaah haji dan hanya meninggalkan satu pintu masuk dan keluar saja,” ungkap Ahmed Abu Bakr, seorang jamaah berusia 45 tahun asal Libya yang berhasil lolos dari malapetaka itu bersama dengan ibunya.
“Aku melihat jasad-jasad dihadapanku, begitu pula mereka yang luka-luka dan sesak napas. Kami berusaha menyingkirkan para korban.” Tambahnya.
Abu Bakr juga mengatakan bahwa polisi yang ada di tempat kejadian seperti tak berpengalaman. “Mereka bahkan tidak tahu jalan-jalan dan tempat-tempat disekitar sini,” ungkapnya dengan diikuti anggukan jamaah lain sebagai tanda setuju.
Salah satu pendiri Yayasan Penelitian Warisan Budaya Islam yang berbasis di Mekkah, Saudi telah mengklaim bahwa pihaknya telah menempatkan 100.000 petugas keamanan untuk mengawal para jamaah haji, namun, meskipun dikerahkan dalam jumlah besar, para polisi tidak benar-benar terlatih serta tidak menguasai keterampilan berbahasa untuk berkomunikasi dengan jamaah haji asing yang merupakan mayoritas dalam jamaah.
“Mereka bahkan tidak memiliki petunjuk mengenai bagaimana harus berurusan dengan orang-orang ini,” ungkap Irfan al-Alawi, salah satu pendiri Yayasan tersebut.
“Tak ada penanganan kekacauan,” ungkap tuan Alawi.
Saksi mata lain, seorang pria Mesir berusia 39 tahun, Mohammed Hasan, mengatakan kekhawatirannya bahwa insiden serupa akan terjadi lagi.
“Kalian bisa melihat ada tentara dimana-mana tapi tidak melakukan apapun,” katanya.
Ia juga mengatakan bahwa dirinya juga dihina karena kebangsaannya, saat seorang petugas keamanan mendatanginya dan meminta dengan kasar kepadanya, “Kemari! Identifikasi mayat Mesir ini,” ungkap petugas tersebut kasar.
“Mengapa mereka memperlakukan kami seperti ini? kami datang sebagai peziarah dan tamu Allah tidak meminta apapun,” ungkap Mr. Hasan mendesak para petugas keamanan untuk mengorganisisr jalanan demi memastikan pergerakan jamaah yang lebih baik lagi. (ARN/RM/TheGuardian)
