JAKARTA, Arrahmahnews.com – Dalam kaitannya dengan ditunjuknya Saudi sebagai ketua panel penting Dewan HAM PBB (UNHCR) pada bulan September 2015 ini dan di tengah membludaknya kritik dari para aktifis HAM di seluruh dunia, seorang aktifis Amerika, Morris M yang juga memprotes hal ini, mengajukan 10 alasan mengapa Saudi tidak pantas menduduki kursi penting dewan HAM PBB itu.
Menurut Morris, dalam prakteknya, hal ini sama aja meminta joker untuk memimpin Justice League Amerika. Panel itu menyeleksi pejabat tinggi yang nantinya akan membentuk standar internasional soal hak asasi manusia, yang dimaksudkan untuk melaporkan pelanggaran hak asasi manusia di seluruh penjuru dunia.
Para duta besar kelompok lima yang akan dipimpin oleh Saudi Arabia yang dikenal sebagai Kelompok Konsultatif akan berwewenang untuk menyeleksi para pelamar yang akan mengisi lebih dari 77 posisi di seluruh dunia yang menangani masalah-masalah hak-hak asasi manusia.
Siapa yang tidak mengetahui jika Saudi bahkan tidak mengizinkan wanita untuk mengemudi dan mengabaikan hak-hak mereka untuk mengeluarkan pendapat? Pemilihan yang dilakukan PBB ini justru pada akhirnya membuat masyarakat kembali menyoroti hal-hal gelap yang mengungkap kebenaran mengenai keburukan Saudi. Dalam artikelnya Morris mengaitkan hal ini langsung dengan pemerintah negaranya yaitu Amerika, namun secara umum 10 alasan itu bisa digambarkan sebagai berikut :
Pertama, Eksekusi Mengerikan
Metode Saudi sering sangat brutal dan ekstrem. Eksekusi dilakukan di lapangan terbuka dan biasanya melibatkan aksi pemenggalan kepala serta penggunaan pedang secara seremonial. Bagaimanapun juga, perlakuan hukum rajam juga dilaporkan telah dilakukan di beberapa daerah pedesaan. Dalam banyak kasus, tubuh mereka yang dieksekusi dibiarkan begitu saja dibawah panas matahari sebagai peringatan bagi yang lain. Menurut the Daily Beast, Arab Saudi sejauh ini telah memenggal lebih banyak orang daripada ISIS pada delapan bulan pertama di tahun 2015.
Semua ini mungkin saja masih bisa dikatakan boleh jika kejahatan yang dilakukan orang-orang ini begitu besar. Tapi pada kenyataannya, yang terjadi tidaklah demikian. Menurut Amnesty Internasional, hampir setengah dari semua eksekusi di Saudi hanya dikarenakan kepemilikan sejumlah kecil narkoba atau tuduhan murtad dan melakukan sihir. Mereka yang dieksekusi bahkan seringkali tidak diberi akses untuk memiliki pengacara dan disidang secara rahasia. Terkadang, mereka bahkan tidak diberitahu apa kejahatan yang telah mereka lakukan. Remaja juga diadili dan dieksekusi sebagai orang dewasa, kadang-kadang dengan cara yang mengerikan.
Kedua, Penyaliban di depan umum
Pada tahun 2012, Ali al-Nimr yang berusia 17 tahun ikut dalam sebuah demonstrasi kebangkitan Arab, di provinsi Qatif. Menurut saksi mata, Ali hanya bergabung dengan massa, berpawai dan meneriakkan slogan-slogan pro-demokrasi, namun ia telah dituduh melemparkan bom molotov. Di akhir September ini, Ali dijatuhi hukuman penyaliban di depan umum.
Hal ini menjadi lebih mengerikan lagi karena dalam pelaksanaannnya nanti, Arab Saudi berencana untuk menggantungkan tubuh tanpa kepalanya di tiang kayu salib dan meletakkannya di persimpangan jalan serta menjadikan hal itu sebagai tontonan publik supaya masyarakat jera,
Ketiga, Tidak ada Kebebasan Berekspresi
Berbicara mengenai apapun yang menyinggung kebijakan kerajaan berarti sama dengan terorisme bagi Kerajaan Saudi. Pada bulan April 2015, seorang wartawan pro reformasi di Arab Saudi didakwa denngan tuduhan melakukan kejahatan di dunia maya dan dipenjara selama tujuh hari hanya karena menulis berita mengenai pemadaman listrik di penjara Saudi.
Kasus yang lebih serius lagi, blogger pro-reformasi Raef Badawi dihukum 10 tahun penjara dan 1.000 cambukan karena diduga telah “menghina Islam.” Ia juga didenda 1 juta riyal Saudi ($ 267.000). dakwaan itu ia terima hanya karena ia menulis bahwa Arab Saudi tidak bisa mengekspresikan pandangan-pandangan liberal.
Arab Saudi adalah negara dengan tingkat kebebasan press paling buruk sedunia, menurut Freedom House, Rusia, Afghanistan dan bahkan Meksiko(dimana terdapat pembunuhan wartawan hampir setiap hari), kesemuanya memiliki kebebasan pers yang lebih baik dari arab Saudi.
Keempat, Salah satu Negara dengan Polisi Terburuk Sedunia
Bagi warga non kerajaan di Arab Saudi, kehidupan adalah serangkaian pelanggaran HAM dan pengawasan ketat lebih dari apapun. Pada tahun 2013, seorang aktifis HAM harus mendekam dalam penjara selama delapan tahun karena berani “mengkritik raja”. Yang lain juga dilemparkan ke penjara karena membantu seorang wanita melarikan dari suaminya yang kejam, atau bahkan dihukum hanya karena menyukai suatu postingan facebook yang mendukung reformasi demokrasi.
Menurut Freedom House, kerajaan adalah salah satu negara dengan kepolisian terburuk di dunia. Dalam ranking 2015 ini, adalah 7 dari 7 pelanggaran, tingkat tertinggi yang ditetapkan Freedom House. Hal ini menjadikan Arab Saudi sejajar dengan Uzbekistan, Turkmenistan dan Korea Utara dalam hal kebebasan penduduk.
Kelima, Penganiayaan Pada Pekerja Migran
Seperti kebanyakan negara-negara teluk, Arab Saudi bisa dikatakan berjalan atas jasa buruh migran. Setidaknya ada 9 juta pekerja migran asing yang tinggal di negara itu, bekerja di segala sektor mulai dari konstruksi hingga minyak. Mereka mencapai setengah dari total angkatan kerja Saudi, dan berkat merekalah kerajaan bisa menjadi raksasa ekonomi. Sebagai imbalannya, pemerintah justru memperlakukan mereka dengan cara-cara tidak manusiawi.
Menggunakan sistem sponsor kafala, pekerja yang datang langsung terikat dengan majikan mereka di Arab Saudi. Setiap non-Arab yang ingin mengubah pekerjaan atau meninggalkan negara itu membutuhkan izin tertulis dari majikannya. Tidak mengherankan, sistem ini sangar berisisko terhadap adanya penyalahgunaan. Majikan sering menyita paspor dan menahan upah, memaksa para migran untuk bekerja di luar kehendak mereka. Tidak dapat pindah kerja ataupun meninggalkan negara itu. Para pekerja terjebak dalam kondisi kerja paksa. Mereka yang mencoba mengeluh kepada otoritas justru seringkali ditangkap atas tuduhan “sihir.”
Untuk tenaga kerja wanita dalam rumah tangga, yang terjadi lebih buruk lagi. Human Rights Watch melaporkan seringnya kasus kekerasan fisik dan seksual, kelaparan, dan pengurungan paksa. Sebagai migran mereka hanya memiliki sedikit atau bahkan tidak diberi hak sama sekali, polisi jarang mengambil tindakan terhadap mereka yang memperkosa atau menganiaya pembantu mereka. Kelompok main hakim sendiri juga diperbolehkan untuk menyerang migran tanpa melakukan penyelidikan terlebih dahulu. Dalam satu kasus, tiga warga Ethiopia tewas oleh serangan massa sementara polisi hanya berdiri dan menyaksikan.
Keenam, Diplomat yang Kriminal
Korps diplomatik Saudi sendiri telah mencatat bahwa selama bertahun-tahun, sejumlah besar diplomat “gila” Saudi, telah melakukan kejahatan kekerasan di negara-negara tuan rumah mereka dan kemudian menggunakan kekebalan hukum yang mereka miliki untuk menghindari hukuman.
Pada bulan September 2015, seorang diplomat Saudi di Delhi menculik dua pembantu asal Nepal, memukuli mereka, dan membuat mereka kelaparan. Diplomat Saudi itu dan tujuh orang lainnya berulang kali memperkosa dua wanita ini. Penderitaan keduanya berlangsung selama 15 hari. Ketika pemerintah India mulai mengangkat kasus ini, pemerkosa tersebut melarikan diri ke kedutaan Saudi dan mengklaim kekebalan diplomatik. Dan tentu saja, karena hal ini, ia tidak akan pernah diganjar atas kejahatannya.
Luar biasanya, ini bukan kejahatan terburuk yang dilakukan oleh seorang diplomat Saudi telah. Pada tahun 2004, seorang diplomat pria Saudi, 41 tahun, yang ditugaskan ke London ditangkap karena memperkosa seorang gadis 11 tahun. Sekali lagi, kekebalan diplomatik menghindarkannya dari hukuman penjara. Pada 1980-an, seorang pangeran Saudi yang tinggal di Miami menjadikan seluruh kelompok pekerjanya sebagai budak, ia melarikan diri ketika polisi turun tangan. Sekali lagi, kerajaan melindunginya.
Ketujuh, Kejahatan Perang Yang Mengerikan
Pada bulan Maret 2015, Arab Saudi memimpin pasukan koalisi untuk melancarkan serangan udara ke negara tetangganya Yaman. Pada saat itu, Yaman baru saja menggelar pemilu demokratis yang menjadikan Houthi memimpin negara tersebut. Demi mendukung mantan presiden negara tersebut yang melarikan diri ke Saudi, Riyadh telah meluncurkan serangan brutal, sementara Al-Qaeda dan ISIS juga melakukan perang dari dalam negeri. Dalam waktu 6 bulan, pasukan Saudi telah membantai warga sipil Yaman dalam jumlah ribuan.
Daripada melakukan serangan ke target-target khusus(basis houthi), Saudi justru menyatakan bahwa seluruh provinsi yang dikuasai Ansharullah adalah target mereka. Serangan udara dilancarkan terhadap segala sesuatu yang ada, mulai masjid kuno dan pompa bensin, restoran, pemukiman, dan pusat perbelanjaan. Untuk membuat keadaan menjadi lebih buruk, Saudi tampaknya memilih senjata bom cluster (bom curah).
Rudal yang diluncurkan melemparkan percikan-percikan bom di daerah yang luas. Bom cluster jika gagal meledak dikenal tetap berpotensi meledak berhari-hari atau bahkan bertahun-tahun kemudian. Sayangnya, mereka yang berada di sekitar bom-bom itu ketika akhirnya meledak hampir selalu adalah warga sipil. Amnesty Internasional berpendapat bahwa penggunaan bom cluster merupakan kejahatan perang.
Pada saat yang sama, Saudi juga memblokade setiap bantuan demi meredakan kelaparan, yang datang untuk negara tetangganya itu. Kapal yang membawa makanan dan bantuan dengan sewenang-wenang dihentikan, hingga menyebabkan lebih dari 10 juta orang Yaman beresiko kekurangan gizi di bulan Juli 2015.
Pada pertengahan September 2015, jumlah orang di ambang kelaparan di Yaman, telah meningkat menjadi 12 juta. Air dan obat-obatan juga tidak ada. Berbicara kepada The Independent, direktur Save the Children Yaman mengatakan bahwa blokade telah menciptakan krisis kemanusiaan terbear di dunia.
Kedelapan, Diskrimanasi Gender
Wanita yang tidak mengikuti hukum negara akan dilecehkan, ditahan, dipenjara, atau mengalami hal lebih buruk lainnya. Pada bulan Desember 2014, dua wanita yang ditangkap saat mengendarai mobil, diadili atas tuduhan terorisme dan dilemparkan ke dalam penjara. Dalam kasus lain, Souad al-Shammari ditangkap karena mengirimkan tweet frustrasi yang mengkritik sistem penjagaan untuk para wanita.
Bahkan beberapa wanita keluarga kerajaan juga tak luput dari penderitaan akaibat sistem ekstrem Riyadh. Putri Sahar harus mendekam dalam tahanan rumah selama lebih satu dekade bersama dengan keempat saudarinya. Dalam sebuah wawancara dengan saluran televisi Russia Today Mei tahun lalu, Sahar dan Jawaher, menceritakan penderitaan mereka, di mana mereka kehabisan makanan dan air.
Saluran televisi berbasa Arab juga pernah mewawancarai putri-putri Raja Abdullah yang dijadikan tahanan rumah itu. Mereka dihukum karena memperjuangkan hak-hak perempuan dan menolak aturan ketat dari kerajaan Saudi.
Kesembilan, Sumber Utama Terorisme
Ideologi resmi Arab Saudi adalah Wahhabisme, bentuk yang sangat puritan dan mengatas-namakan Islam yang muncul di abad ke-18. Ketika orang berbicara tentang ekstremisme dalam Islam, biasanya hal itu berarti cabang dari wahabisme. Ini adalah ideologi yang mensegregasikan jenis kelamin, menyeru kepada hal-hal yang ekstrem dalam menginterpretasikan hukum syariah, dan menganggap agama lain (termasuk mazhab-mazhab lain dari Islam) tidak sah. Pada tahun 2013, Parlemen Eropa menyebut Wahhabisme sumber utama terorisme global.
Berebekal keranjang-keranjang penuh petrodolar, Arab Saudi telah mengalirkan uang demi menyebarkan ideologi Wahhabisme ke seluruh dunia Muslim. Dalam 30 tahun terakhir, diyakini bahwa kerajaan telah menghabiskan 100 miliar dolar untuk mempromosikan Islam versi ekstrem, lebih besar 14 kali lipat dari yang Soviet habiskan guna mempromosikan komunisme dalam 70 tahun. Di Barat, hal itu akan seperti memberikan Gereja Baptis Westboro kekuatan untuk mendanai Gereja-gereja Katolik dan Evangelis sekaligua, sehingga Westboro bisa memaksakan interpretasi psikopat kristen pada semua orang.
Selain itu, kerajaan aktif mempersenjatai dan mendanai kelompok-kelompok yang bergabung untuk membentuk ISIS. Beberapa pihak menyebut Saudi sebagai “sumber dari terorisme.” Bahkan para pejabat Amerika yang memimpin Kongres penyelidikan 11/9 dalam klaim mereka di halaman 28 halaman menunjukkan bahwa kerajaan itu terlibat dalam pendanaan serangan teror ini.
Kesepuluh, Keterlibatan Barat
Ketika baru-baru diumumkan bahwa Arab Saudi akan memimpin sebuah panel penting Dewan HAM PBB, para pemimpin Barat satu sama lain saling memberi selamat atas terpilihnya Saudi. AS secara resmi “menyambut gembira” berita tersebut. Dan di sanalah , terletak sebab mengapa kerajaan Teluk bisa leluasa mengekspor terorisme dan kejahatan perang. Para pemimpin Barat menutup mata atau jika tidak, justru mendukung semua tindakan Saudi.
Pada awal September 2015, Pentagon menyetujui kesepakatan perdagangan senjata senilai 1miliar dolar untuk memasok Arab Saudi dengan senjata. Belum lagi bukti kuat yang menunjukkan bahwa senjata AS telah digunakan untuk melakukan pembantaian sipil dan kejahatan perang berdarah di Yaman. Sementara itu, Inggris terlibat dalam perdagangan tahunan dengan Saudi sebesar 15 miliar dolar. Untuk menghormati Raja Abdullah, mereka mengibarkan bendera setengah tiang di negaranya, ketika ia meninggal pada bulan Januari 2015. Perancis juga melakukan penjualan senjata ke Saudi senilai miliaran dolar dan membela kerajaan itu dengan ungkapan sebagai “teman” berharga “.
Semua uang yang digelontorkan Saudi inilah yang menyebabkan para pejabat di negara Barat tidak pernah mengkritik kebijakan Saudi, meskipun kerajaan itu menyebar terorisme, mebombardir warga sipil, dan merepresi rakyatnya sendiri. Disaat Arab Saudi bekerja untuk mengacaukan kawasan, para pemimpin barat berbaris rapi untuk menyanyikan pujian terhadap negara itu, menyebut negara paling lalim itu sebagai “reformis” besar. Sampai pemerintah barat melakukan hal-hal sebaliknya, maka kita hanya dapat melihat hal-hal di Timur Tengah menjadi lebih lebih buruk.(ARN/RM/ListVerse)