JAKARTA, Arrahmahnews.com – Masyarakat diimbau tidak terkecoh dengan strategi diam atau sepi yang dilakukan para penganut paham kekerasan dan terorisme. Pasalnya, di tengah sikap diam itu, justru memungkinkan mereka tengah merancang strategi baru dalam menjalankan propaganda dan aksinya.
“Diam itu justru malah berbahaya. Memang harus kita akui akhir-akhir ini pergerakan mereka diluar sepi, tapi bisa jadi mereka tengah merancang strategi baru yang dikembangkan untuk menjalankan visi mereka. Ingat kelompok ini sangat kaya terutama dalam metode rekrutmen anggota melalui teknologi IT,” ujar Mantan Wakil Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBNU KH Adnan Anwar di Jakarta, Selasa (13/10/2015). (Baca juga: Situs Arrahmah.com Milik Keluarga Teroris Al-Qaeda)
Dalam analisanya, Adnan memberi contoh yaitu masyarakat perkotaan yang rata-rata pemahaman agamanya agak rendah dibandingkan masyarakat desa, adalah pangsa yang sangat memungkinkan untuk direkrut melalui propaganda di media sosial atau dunia maya, terutama oleh kelompok ISIS. Tapi diakuinya, saat ini mereka tidak berani mengungkapkan ke publik. Kondisi ini tidak boleh dibiarkan dan harus ada upaya untuk membendung strategi-strategi yang mungkin akan dilakukan oleh pelaku terorisme.
“Harus ada early warning system, dalam menyikapi sikap diam itu. Bisa saja mereka menunggu momentum karena dukungan melalui taraf pemikiran itu sangat berbahaya dan memiliki potensi yang besar sekali. Intinya, terlepas dari sikap diam atau terbuka, dalam menangani gerakan kekerasan dan terorisme itu tidak boleh berhenti,” ujar Adnan.
Adnan menilai, apa yang digambarkan sepi akhir-akhir ini bukan karena mereka tidak ada, tetapi mereka sengaja membuat agak kendur. Hal itu tidak lepas dari upaya pencegahan dan penindakan terorisme yang akhir-akhir dilakukan pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan lembaga terkait lainnya seperti Polri, TNI, dan lain-lain.
“Justru saya sendiri bertanya ada apa sebenarnya dengan sikap diam itu? Menangani gerakan kekerasan dan terorisme itu tidak boleh berhenti. Jangan karena diam, mereka dianggap tidak ada. Faktanya, dakwah dan propaganda mereka, terutama melalui dunia maya, sangat efektif dalam pengembangan tujuan mereka yaitu khilafah. Dan itu telah dibuktikan dengan apa yang dilakukan ISIS saat ini,” terangnya.
Salah satu bukti, lanjut Adnan, adalah tergelarnya Parade Tauhid di Solo, Jakarta, dan Yogyakarta. Menurutnya, Parade Tauhid itu adalah salah satu bentuk pendekatan paling soft terhadap dukungan khilafah islamiyah. Ia menilai, gerakan-gerakan seperti ini seharusnya tidak boleh ada dan terjadi di Indonesia. Apalagi jelas tujuan mereka adalah mendirikan negara sendiri. (Baca juga: Mewahabikan “Ahlusunnah” Lewat Parade Tauhid)
“Seharusnya kegiatan-kegiatan seperti Parade Tauhid tidak boleh ada di Indonesia karena mereka jelas menentang NKRI. Tapi ini belum bisa diatasi karena belum ada payung hukum sebagai landasan melarang mereka melakukan kegiatan tersebut,” ucap Adnan.
Kendala yang terjadi dalam melakukan amandemen UU Terorisme itu, menurut Adnan, karena benturan dengan semangat demokrasi. Gerakan-gerakan seperti Parade Tauhid ini dinilai masih sebatas pemikiran, dan dalam negara demokrasi, hal-hal seperti bukan pelanggaran hukum. Padahal justru pemikiran ini yang dianggap berbahaya, apalagi itu dijadikan wahana mereka untuk melakukan propaganda baik itu secara konvensional maupun melalui dunia maya.
Ia menilai, belum dilakukannya amandemen UU Terorisme, karena ketidakberanian kaum liberal di Indonesia. Padahal sudah banyak negara demokrasi lainnya sudah memberlakukan UU tersebut. “Mereka takut kita akan kembali ke jaman refreship, padahal mode penanganannya berbeda. Inilah yang selalu ditentang. Kami khawatir bila ini terus terjadi, keberadaan mereka akan semakin membesar dan ini akan lebih horizontal gerakan mereka mencari dukungan ke sebuah keluarga dan masyarakat. Harusnya upaya-upaya seperti pemblokiran situs-situs kekerasan seperti yang pernah diusulkan BNPT ke Kominfo itu dilanjutkan karena melalui media-media itu mereka melakukan propanda,” tuturnya. (Baca juga: KH Said Aqil Siroj; BNPT dan Kemenkominfo TIdak Perlu Ragu Bredel Situs Radikal)
Dalam hal ini, Adnan menilai pemerintah agak lambat menyikapi masalah penyebaran paham kekekerasan dan terorisme ini. Padahal Jerman saja sudah mengeluarkan peraturan (UU) dalam menyikapi penyebaran paham kebencian ini. Kondisi ini berbeda di Indonesia yang belum bisa menindaklanjuti dengan hukuman tegas dengan seolah-olah saat ini masih menunggu UU. Selama ini, upaya-upaya pencegahan yang dilakuan BNPT dan Nadhlatul Ulama (NU) belum di level hulu dan baru tahap pencegahan awal atau soft power.
“Terus terang kita masih lemah dalam penindakan gerakan-gerakan seperti Parade Tauhid itu. Ini yang dikeluhkan para kiai pesantren. Ingat, bila mereka diberi keleluasaan dan mendapat simpati, akibatnya akan sangat fatal dan pasti mengancam NKRI,” kata Adnan.
Hal senada diungkapkan mantan teroris Abdurrahman Ayyub. Menurutnya, gerakan-gerakan seperti tidak boleh didiamkan. Sebagai mantan teroris, ia mengaku sangat paham dengan strategi-strategi penyebaran paham kekerasan dan terorisme tersebut.
“Mau diam atau membuat parade, para pelaku terorisme itu selalu memanfaatkan berbagai hal untuk menjalankan misi mereka. Dan itu dilakukan sampai misi itu berhasil. Jadi kegiatan seperti Parade Tauhid itu pasti digunakan untuk melakukan kampanye,” tukasnya. (ARN/MM)
Sumber: Okezone
