LONDON, Arrahmahnews.com – Berbagai reaksi muncul terhadap ungkapan permintaan maaf oleh mantan perdana menteri Inggris, Tony Blair, atas keputusannya membawa Inggris dalam perang Irak di tahun 2003. Kritik yang bermunculan itu menyatakan bahwa mereka tidak terkesan dengan permintaan maaf Blair. Mereka juga menekankan bahwa permintaan maaf itu terlihat sebagai taktik pertahanan khas yang dengan hati-hati telah dirancang untuk mengalihkan opini publik dan menghindari tanggung-jawab. (Baca juga: Tony Blair Akui Dosa-dosanya di Irak)
“Ia melakukan keahliannya, yaitu dengan berkelit,” ungkap Ian Williams, sorang analis senior dalam fokus di Foreign Policy pada hari Minggu (25/10) kemarin.
“Ia mencoba untuk mengubah pembicaraan dan agendanya. Jadi apa yang telah ia lakukan akan berubah dari sebuah kriminalitas menjadi ‘hanya sebuah kesalahan’,” tambah Williams.
Sebelumnya, melalui saluran berita CNN, Blair menyatakan permintaan maafnya atas “kesalahan” yang telah ia buat dalam invasi AS ke Irak di tahun 2003. (Baca juga: Peran Inggris Dibalik Perang Yaman)
Williams mengatakan bahwa Blair menggunakan taktik yang akan membuat orang lupa untuk menyalahkan Blair sebagai penyebab penderitaan bangsa Inggris.
Selain itu, seorang kritikus lain menyatakan permintaan maaf Blair hanya setengah-setengah. Ia juga menegaskan bahwa seharusnya kasus Blair ini akan jadi pelajaran bagi para politisi Inggris lainnya dalam mengambil keputusan mengenai perkembangan di Timur Tengah.
“Semua ini hanya permintaan maaf yang setengah-setengah, bukan permintaan maaf sepenuhnya yang berhak diterima oleh rakyat Irak dan Inggris,” ungkap Nigel Flanagan, seorang komentator politik yang tinggal di Switzerland.
Ia mengatakan bahwa mantan perdana menteri Inggris itu menggunakan taktik permintaan maaf tersebut dalam rangka untuk mencegah kritik yang diperkirakan akan menghujaninya sebagai hasil dari laporan Chilcot, jika nanti itu dipublikasikan.
“Saya rasa ia hanya berusaha menghindari kritik dan kecaman yang nantinya akan dia terima setelah kesimpulan atas penyelidikan itu keluar,” ungkap Flanagan lebih lanjut. (Baca juga: AS, Inggris, Perancis, Yordania Tolak Masukkan ISIL dalam Daftar Teroris)
Atas keterlibatan Inggris dalam menggempur negara Irak saat itu. Blair memberikan informasi intelijen tentang Senjata Pemusnah Massal (WMD), yang kemudian membawa Inggris dalam pusaran perang yang berujung pada penggantungan Saddam.
Belakangan, keputusan perang ini dianggap janggal. Sebuah tim yang dipimpin John Chilcot kemudian dibentuk untuk melakukan penyelidikan, yang dikenal sebagai Penyelidikan Chilcot (Chilcot Inquiry).
Chilcot menyoroti antara lain akurasi data intelijen yang diberikan oleh agen MI6 di Irak, yang dikenal luas di Inggris sebagai ‘dodgy dossier’. Chilcot juga menyoroti peran yang dimainkan oleh Tony Blair dan kepala juru bicara Perdana Menteri Alastair Campbell dalam menginformasikan laporan media yang menunjukkan Saddam bisa menggunakan senjata kimia untuk menargetkan pasukan Inggris yang berbasis di Siprus – klaim yang menempatkan Inggris melakukan perang dengan Irak. (ARN/RM/PTV)
