arrahmahnews

Di Puncak Gunung Sinjar, Wajah-Wajah Terlupakan dari Kampanye Genosida ISIS

JAKARTA, Arrahmahnews.com – Artikel menarik yang ditulis oleh wartawati Muslim Catherine Shakdam tentang Genosida ISIS kepada Kaum Yazidi dan diamnya PBB serta media Barat dan Arab akan kekejaman ISIS terhadap kaum itu.

Wajah-wajah yang terlupakan dari sebuah perang telah membuktikan grafik yang amat sangat menakutkan dari kengerian perang itu sendiri. Mereka adalah kaum Yazidi Irak, yang kini masih harus menyelamatkan diri mereka di pegunungan. Benteng terakhir bagi sebuah masyarakat dan budaya yang masih bertahan setelah menghadapi ujian besar. (Baca juga: Kejahatan ISIS Terhadap Gadis-Gadis Yazidi)

Sekitar setahun lalu, saat kemenangan ISIS di Irak dan Suriah berhasil mengejutkan masyarakat Internasional dalam hal kecepatan dan kekejaman barbar mereka, seluruh masyarakat Yazidi dipaksa untuk mengungsi ke wilayah-wilayah di sekitar pegunungan. Eksodus penuh keputusasaan dari  salah satu kelompok agama tertua di dunia, kaum Yazidi Irak, ke Gunung Sinjar.

Sebagai sebuah komunitas agama monoteis yang merupakan perpaduan kepercayaan yang berakar dari Zoroastrianisme dan agama Mesopotamia kuno lainnya, kaum Yazidi ini dengan cepat menjadi salah satu target utama ISIS. Hal ini karena pemimpin kelompok teror itu  menganggap teologi kaum Yazidi adalah sebuah bentuk  kemurtadan.

Para pengkhotbah ISIS menyamakan Yazidisme dengan Setanisme, mendalilkan bahwa dewa utama Yazidi yaitu Tawsy Melek, “Malaikat Merak”, tidak lain adalah setan, sebuah penarikan kesimpulan yang berakar dari sebuah kefanatikan dan kebodohan yang tak tertahankan. Dan meskipun banyak dari kita yang tidak setuju dengan (kepercayaan) masyarakat Yazidi, tidak ada satu kelompokpun yang boleh menderita karena menggunakan hak yang melekat pada diri mereka untuk memilih  percaya pada Tuhan  atau tidak. (Baca juga: Kisah Pilu Gadis Yezidi Diperkosa ISIS 5 Kali Sehari)

Ketika ribuan orang melarikan diri dari legiun berdarah kelompok ISIS, dunia terperanjat menyaksikan bagaimana sebuah bagian dari sejarah menjadi layu dan berdarah-darah menghadapi murka hasil dendam theo-fasisme.

Yazidi

Segera setelah ISIS menjarah barang-barang arkeologi yang sangat berharga di Irak, dan mengangkat  senjata tidak hanya untuk merusak warisan budaya Irak, namun juga menghancurkan setiap harapan masa depan bangsanya, para prajurit kelompok teror itu bekerja untuk melenyapkan kepercayaan dan nyawa orang-orang yang berani berargumentasi soal absolutisme iman dengan mereka.

Tapi sesungguhnya ISIS tidak memiliki iman! Dan karena ISIS tidak memiliki kepercayaan serta  telah kehilangan sisi kemanusiaannya, maka kelompok teror ini mendeklarasikan untuk berperang terhadap semua agama apapun bentuknya, dan dimanapun tempatnya. Dan kaum Yazidi inilah yang paling menderita dari semuanya karena mereka bersikeras untuk tetap teguh berpegang pada warisan nenek moyang. Penderitaan mereka sejatinya mencerminkan apa yang terjadi kepada kaum minoritas yang jumlahnya tak terhitung di Timur Tengah. (Baca juga: Karen Armstrong; Aksi Terorisme tidak Ada Hubungannya dengan Islam)

Dibawah bendera ISIS, tidak ada satupun laki-laki maupun perempuan beriman yang berhak mendapatkan perlindungan, karena tak ada belas kasihan yang bisa ditemukan dalam otak yang telah dicuci oleh bekas muntahan para pendakwah kematian dari para anggota ISIS tersebut. sebagaimana Prseiden Obama sendiri pernah mengatakan bahwa, “ISIS tak punya agama!”

Tetapi jika sebenarnya ada poin kecil yang bisa diambil dari membicarakan rasionalitas ekstremis ISIS, maka itu adalah, melaluinya kita dapat menunjukkan kriminalitas yang sesungguhnya dari mereka, serta realitas mengerikan yang telah mereka lakukan. Kampanye dendam ISIS melawan Yazidi, Alawi, Kristen, Yahudi, Sufi, Muslim Syiah dan Sunni adalah sebuah genosida agama besar-besaran dimana wabah ini beberapa dekade lalu pernah menyapu Eropa, mengklaim jutaan jiwa, hanya untuk psikosis gila nya. (Baca juga: Fatwa Gila ISIS, Halal Perkosa Wanita)

Sendirian di gunung Sinjar, sekelompok orang bertahan ditengah kepungan tangan-tangan teror. Mereka bertahan sendirian, dan orang-orang ini  juga harus menghadapi kehilangan begitu banyak jiwa di seluruh kawasan, dimanapun ada tangan-tangan Wahabi yang terinspirasi radikalisme direntangkan.

Namun jika kaum Yazidi Irak tetap menderita karena menjadi tahanan di tengah perang terhadap kemanusiaan yang dideklarasikan ISIS, mungkin diamnya dunialah yang telah membuat luka paling dalam bagi mereka, karena hal itu menunjukkan kurangnya keberanian dalam menghadapi sebuah  teror yang sangat absolut dimana hal itu oleh berbagai kepala pemerintahan di berbagai negara selalu  dihindari untuk disebutkan.

Jadi, siapa yang akan memanggil Voldemort dalam cerita kami? Siapa yang akan memberi label pada iblis yang telah dengan jelas menghancurkan Timur Tengah dan Afrika Utara namun hanya terlalu sedikit orang yang berani menampar mereka dengan melontarkan kata yang tepat? (Baca juga: ISIS dan Aksi Pembumihangusan Warisan Sejarah)

“Bagi kaum Yazidi, sangat penting untuk mendapat pengakuan bahwa genosida telah dilakukan terhadap kami,” ungkap Pari Ibrahim, seorang wanita Yazidi kepada Middle East Eye dalam sebuah wawancara bulan Oktober lalu.

Seseungguhnya, jika Dewan Keamanan PBB  setuju untuk mendefinisikan kampanye teror ISIS kepada kaum Yazidi itu sebagai sebuah genosida, sebagaimana itu benar adanya, maka, Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) akan bisa membuka sebuah kasus terhadap kelompok teror itu. Hal ini akan memberikan kekuatan kepada badan hukum yang ada untuk menekan perang yang saat ini sedang dihadapai dunia terhadap fundamentalisme Wahabi.

Lebih pentingnya lagi, label genosida akan menjamin bahwa para pemimpin ISIS, penyandang dana, asosiasi dan seluruh milisi kelompok teror itu akan bisa dimintai pertanggung jawaban secara legal atas aksi kejahatan mereka. Jadi mengapa menunda-nunda? Mengapa kekuatan Barat secara sistematis selalu menghindari pertanyaan ini? dan lebih memilih menjatuhkan sanksi terhadap negara-negara yang telah terbukti paling bertekad mengalahkan teror yaitu  Rusia, Iran, Suriah …?

Jawabannya mungkin akan terletak pada geopolitik. Bagaimanapun mengerikannya legiun ISIS tersebut, mereka menawarkan kesempatan yang tak dapat disangkal oleh para politisi Hawkins yang mengerti bahwa perang dan pendudukan militer adalah satu-satunya ekspresi potensial  kekuatan politik bangsa mereka.

Yang lebih mengganggu dari hal ini, dan sedihnya hal itu benar serta tak terbantahkan adalah, ISIS melayani agenda kekuatan-kekuatan barat yang tak bisa mengahadapi tantangan politik bangsanya  sendiri. (Baca juga: Badui Arab “Boneka” Peliharaan Zionis)

Terlepas dari melalui persekutuan ataupun rancangan sendiri, para pemimpin Barat terus menjalin persahabatan berbahaya ini, dimana persahabatan tersebut bisa menjadi bukti yang sangat nyata darimana perlindungan hukum itu datang untuk mendefinisikan agenda ISIS.

Sebagaimana layaknya dalam politik, sesungguhnya moral dan etika hanyalah sebuah basa-basi. Ruang yang ada hanya untuk keserakahan dan ambisi.

Lantas kemudian, kata-kata apa yang tersisa yang layak untuk mendefinisikan penyembelihan, penyaliban, pembakaran manusia, pencurian perempuan dan perbudakan massa? Dimana pemerkosaan geng, praktik penyiksaan sistematis, cuci-otak dan indoktrinasi paksa adalah sangat tepat jika dikaitkan dengan kata genosida?

Pada tahun 2014, Rusia dan China memveto rancangan resolusi PBB yang ditetapkan untuk ICC demi mendapatkan yurisdiksi atas konflik di Suriah, dan semua kejahatan yang dilakukan dalam perbatasannya. Langkah Rusia dan China ini, pada saat itu, dikritik sebagai sesuatu yang memuakkan oleh media-media Barat dengan segala propagandanya, seolah menyatakan hal itu adalah bukti  bahwa kedua kekuatan dunia itu  bertujuan untuk melindungi kepentingan politik mereka.

Hanya saja itu bukan cerita sesungguhnya! Cerita sesungguhnya adalah bahwa Rusia dan China sedang mencegah Dewan Keamanan PBB untuk memainkan sistem hukum dalam rangka menggulingkan presiden Bashar Assad dalam tujuan politik agresif mereka.

Jika hari ini Dewan Keamanan PBB masih saja berpura-pura tuli atas seruan para aktivis, kelompok-kelompok HAM dan para pimpinan politik, hal itu adalah karena mereka takut akan implikasi hukum dan politik dari makna yang dikandung dalam kata genosida.

Karena ketika dunia akan belajar mengatakan genosida adalah kejahatan kriminal ISIS, maka para pemimpin dunia tidak akan bisa lagi merasionalisasi pemberian bantuan dan persengkongkolan mereka dengan kelompok teror itu kepada warganya. (ARN/RM)

Comments
To Top
%d blogger menyukai ini: