arrahmahnews

Kapolri Ancam Pidanakan Penebar Fitnah dan Kebencian di Medsos

JAKARTA, Arrahmahnews.com – Kepala Polisi RI Jenderal Badrodin Haiti membenarkan telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) No. SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (hate speech). Surat tersebut dikeluarkan pada 8 Oktober lalu.

“Sudah diteken dan sudah dikirim ke Polda-Polda untuk diteruskan sampai ke Polsek,” kata Badrodin, Kamis, 29 Oktober. Badrodin mengatakan, surat edaran itu merupakan penegasan dari KUHP terkait penanganan perkara yang menyangkut ujaran kebencian.

Ia berharap dengan diterbitkannya surat edaran ini akan memberikan efek jera bagi kelompok yang gemar membuat pernyataan yang tidak bertanggung jawab. (Baca juga: Penyebar Isu Kebencian Rasial, Diskriminasi dan Radikalisasi Di Internet Harus Ditangkap)

Apa yang dimaksud hate speech?

Pada nomor 2 huruf (f) SE itu tesebut disebutkan bahwa ujaran kebencian adalah tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan ketentuan pidana lainnya di luar KUHP, yang berbentuk antara lain:

  1. Penghinaan,
  2. Pencemaran nama baik,
  3. Penistaan,
  4. Perbuatan tidak menyenangkan,
  5. Memprovokasi,
  6. Menghasut,
  7. Menyebarkan berita bohong dan semua tindakan di atas memiliki tujuan atau bisa berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan atau konflik sosial

Selanjutnya, pada huruf (g) disebutkan bahwa ujaran kebencian sebagaimana dimaksud di atas bertujuan untuk menghasut dan menyulut kebencian terhadap individu dan atau kelompok masyarakat dalam berbagai komunitas yang dibedakan dari aspek:

  1. Suku,
  2. Agama,
  3. Aliran keagamaan,
  4. Keyakinan atau kepercayaan,
  5. Ras,
  6. Antargolongan,
  7. Warna kulit,
  8. Etnis,
  9. Gender,
  10. Kaum difabel,
  11. Orientasi seksual.

Kemudian, pada huruf (h) disebutkan bahwa “ujaran kebencian sebagaimana dimaksud di atas dapat dilakukan melalui berbagai media, antara lain:

  1. Dalam orasi kegiatan kampanye,
  2. Spanduk atau banner,
  3. Jejaring media sosial,
  4. Penyampaian pendapat di muka umum (demonstrasi),
  5. Ceramah keagamaan,
  6. Media massa cetak atau elektronik,
  7. Pamflet.

Pada huruf (i), disebutkan bahwa “dengan memperhatikan pengertian ujaran kebencian di atas, perbuatan ujaran kebencian apabila tidak ditangani dengan efektif, efisien, dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, akan berpotensi memunculkan konflik sosial yang meluas, dan berpotensi menimbulkan tindak diskriminasi, kekerasan, dan atau penghilangan nyawa”.

Adapun, pada nomor 3 SE itu, diatur pula prosedur polisi dalam menangani perkara yang didasari pada hate speech agar tidak menimbulkan diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa dan atau konflik sosial yang meluas. (Baca juga: Kapolri Akan Usut Pihak yang Fitnah Pertemuan Jokowi dengan Suku Anak dalam)

Pertama, setiap personel Polri diharapkan mempunyai pemahaman dan pengetahuan mengenai bentuk-bentuk kebencian.

Kedua, personel Polri diharapkan lebih responsif atau peka terhadap gejala-gejala di masyarakat yang berpotensi menimbulkan tindak pidana.

Ketiga, setiap personel Polri melakukan kegiatan analisis atau kajian terhadap situasi dan kondisi di lingkungannya. Terutama yang berkaitan dengan perbuatan ujaran kebencian.

Keempat, setiap personel Polri melaporkan ke pimpinan masing-masing terhadap situasi dan kondisi di lingkungannya, terutama yang berkaitan dengan perbuatan ujaran kebencian.

Apabila ditemukan perbuatan yang berpotensi mengarah ke tindak pidana ujaran kebencian, maka setiap anggota Polri wajib melakukan tindakan, antara lain:

– Memonitor dan mendeteksi sedini mungkin timbulnya benih pertikaian di masyarakat,

– Melakukan pendekatan pada pihak yang diduga melakukan ujaran kebencian,

– Mempertemukan pihak yang diduga melakukan ujaran kebencian dengan korban ujaran kebencian,

– Mencari solusi perdamaian antara pihak-pihak yang bertikai dan memberikan pemahaman mengenai dampak yang akan timbul dari ujaran kebencian di masyarakat;

Jika tindakan preventif sudah dilakukan namun tidak menyelesaikan masalah, maka penyelesaiannya dapat dilakukan melalui upaya penegakan hukum sesuai dengan:

– KUHP,

– UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,

– UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis,

– UU Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, dan

– Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2013 tentang Teknis Penanganan Konflik Sosial.

Pakar Hukum Tata Negara Prof Mudzakir mengaku setuju dengan aturan yang dikeluarkan Polri. Tetapi ia masih mempertanyakan regulasi aturan tersebut. Sebab, sejauh ini hal-hal yang dilakukan di media sosial serta sejumlah media lainnya untuk hate speech sudah diatur dalam Undang-undang.

“Masyarakat tak perlu resah, surat edaran itu koordinasi internal kepolisian saja, tidak berlaku untuk masyarakat. Itu agar polisi bisa mengambil keputusan di lapangan. Sebab, semua tindak pidana yang ada di dalam surat edaran itu sudah dimuat dalam Undang-undang, seperti KUHP, UU ITE, UU Penyiaran, dan sebagainya,” kata Mudzakir.

Ia pun menyebut jika peraturan ini bukan hal yang baru. Mudzakir menyatakan lebih tertarik pada tindakan kepolisian dalam menghukum seseorang jika yang melakukanhate speech dilakukan lebih dari satu orang, mengingat media sosial juga melibatkan sebuah group yang berisi para teman, sahabat, atau keluarga.

“Yang menarik, bagaimana polisi menerapkan hukuman pada pelaku yang bersalah, misal di grup media sosial. Apakah ada ukuran nilai masing-masing pelaku, kan mereka juga berbicara atau menghujat. Mungkin pembicaraan itu sudah biasa buat mereka,” ujarnya.

“Selain itu, bagaimana kalau SMS (pesan singkat), antara dua orang. Siapa yang diamankan? Menurut saya sulit juga, kecuali bila SMS itu disebarkan ke khalayak umum,” lanjutnya. (ARN/MM/BerbagaiMedia)

Comments
To Top
%d blogger menyukai ini: