JAKARTA, Arrahmahnews.com – Surat Edaran No. 300/1321-Kesbangpol adalah malapetaka bagi Bima Arya, walau hingga kini ia tak kunjung menyadarinya. Surat itu membuatnya dikritik keras oleh tokoh bangsa ini. Di antara mereka, ada Mahfud MD yang selaku mantan Ketua Mahkamah Konstitusi tentu ia sangat mengerti bahwa surat itu inkonstitusional, sehingga ia menduga Bima Arya dipaksa. Lalu Abdillah Toha selaku pendiri PAN (partai pengusung Bima Arya sebagai Walikota Bogor) yang tentu sangat paham bahwa surat itu tak sesuai amanah yang diberikan PAN padanya, sehingga ia sangat terkejut akan surat itu dan menilai Bima Arya saat ini tak seperti Bima Arya yang dulu ia kenal dan diusung PAN.
Yang jelas, surat itu telah menjadi kekhilafan besar bagi seorang Bima Arya. Dan, kekhilafan yang tak kunjung diakui dan dibenahi hingga saat itu, ini tak main-main ancamannya, karena ia bisa mengancam NKRI. Ia bisa menjadi preseden buruk guna menjadi modus bagi siapa saja yang benci atau punya kepentingan untuk menindas siapa saja secara semena-mena dengan menyelewengkan kewenangan atas nama keamanan seperti Orde Baru. Syiah hanyalah isu yang dipakai mereka saat ini. Tujuan utama mereka adalah runtuhkan NKRI dengan segala pondasinya yang menurut mereka dituduh sebagai thoghut (berhala).
Mari kita rinci kekhilafan itu. Pertama, kebebasan beragama dan berkeyakinan (termasuk beribadah di dalamnya) merupakan salah satu hak asasi manusia yang dijamin konstitusi, yakni UUD 1945 dalam Pasal 28E ayat 1 dan 2 dan juga Pasal 28I ayat 1 dan Pasal 29 ayat 2. Sehingga, jelas surat itu inkonstitusional karena melanggar hukum dasar negara ini. Apa jadinya jika setingkat wali kota melanggar konstitusi dasar negara ini?
Kedua, surat itu sudah khilaf sejak masih di judulnya. Judul surat itu: “Himbauan Pelarangan Perayaan Asyura (Hari Raya Kaum Syiah) di Kota Bogor”. Padahal Asyura bukan hanya bukanlah “Hari Raya”, tapi malah sebaliknya: “Hari Duka”. Yakni hari dimana cucu kesayangan Nabi yang bernama Sayyidina Husain dibantai bersama keluarga dan sahabatnya. Karenanya, ia “diperingati”, bukan “dirayakan”. Asyura juga bukan hanya milik Syiah. Ia peringatan Islam, apapun madzhabnya. Di Indonesia, ia bahkan telah berakulturasi dengan budaya setempat dan diperingati di masyarakat Sunda, Jawa, Madura, Aceh, Bengkulu, dll. Ia bahkan menginspirasi tokoh-tokoh non-Muslim dunia, seperti Mahatma Gandhi dalam mengusir kolonialisme Inggris atau Kahlil Gibran yang menyebutnya sebagai “inspirasi bagi semua agama”.
Ketiga, dalam wawancara pembelaannya, Bima Arya menyebut surat pelarangan itu dikeluarkan untuk alasan keamanan. Alasan itu juga kekhilafan selanjutnya. Karena kebebasan dan keamanan sama-sama hak setiap warga negara. Menegakkan salah satunya tak boleh dengan mencerabut salah satunya: membiarkan bebas tanpa menjaga keamanannya atau seperti Orde Baru yang menjamin keamanan dengan merebut kebebasan. Itulah memang tugas setiap pemimpin di negara ini. Dan mereka dijamin konstitusi dan diberi perangkat untuk menegakkan keduanya: aparat kepolisian.
Keempat, dalam wawancara itu pula, Bima Arya menegaskan bahwa dasar surat itu bukanlah didasarkan atas sentimen madzhab (Syiah). Namun, lagi-lagi ini kekhilafan. Sebab, nyata-nyata redaksi surat itu sangat tendensius sektarian. Selain itu, dalam foto yang beredar luas, di meja Bima Arya bertumpuk buku fitnah dan propaganda yang menebar kebencian madzhab dengan mencatut nama MUI: “Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia”. Dan puncaknya, dalam kehadirannya di acara Sholat Istisqa di Lapangan Sempur, Bogor pada 30 Oktober 2015, Bima Arya -tampak dalam foto-dikelilingi oleh simbol-simbol anti-Syiah dan sosok-sosok yang selama ini begitu getol menyesatkan Syiah. Tentu, ini bukan hanya tak etis bagi seorang Wali Kota Bogor, tapi mengundang Tanya: ada apa dengan Anda, Bima Arya?
Kelima, dalam foto itu juga, di sisi paling kiri di belakang Bima Arya adalah Angga Dimas Pershada, yakni sosok intoleran yang telah masuk US Sanction List dari PBB karena terafiliasi Al-Qaeda. Hal itu tentu mengundang Tanya, bagaimama bisa Bima Arya bersama dan menerima dukungan darinya? Ini sungguh kekhilafan besar.
Kini, Bima Arya seolah mencopot jabatannya sendiri sebagai Wali Kota Bogor. Ia mengkhianati sumpahnya untuk setia pada konstitusi. Ia juga tak lagi menjadi pemimpin bagi warga Bogor dengan realitas keragamannya. Ia sedang khilaf.
Maka, umat Islam Indonesia kini masih berharap dan tentu mendoakan agar kekhilafan itu diklarifikasi oleh Bima Arya dengan mencabut surat edaran itu demi NKRI dan mengubah haloan kepemimpinannya agar kembali menjadi Bima Arya yang dulu: berjalan di atas rel konstitusi dan menjadi pemimpin Muslim yang toleran. Jika tidak, kekhilafan itu akan menjadi petaka. Bukan hanya bagi Bima Arya dan Kota Bogor, tapi bagi NKRI dan kita semua. Bukan lagi soal Syiah! (ARN/MM)
