arrahmahnews

Bantahan Rakyat Tentang Toleransi Kepada MUI Yusnar Yusuf

JAKARTA, Arrahmahnews.com – “Kalau umat Islam itu mayoritas di sebuah negara pasti yang minoritas itu aman. Dengan mudah mendirikan rumah ibadah, melakukan berbagai macam kegiatan mereka.

Tidak cuma aman, kaum minoritas juga bisa mendapat peran lebih di pemerintahan; hal tersebut sudah menjadi budaya Indonesia sejak puluhan tahun lalu. (Baca juga: PBNU Kritik Fatwa MUI Sebut BPJS Kesehatan Haram, MUI Jangan Obral Fatwa)

Seorang LB Moerdani yang Katolik yang pada saat itu populasinya 0,03 persen dari total populasi Indonesia, Pak Harto bisa mengangkatnya menjadi Panglima ABRI. Bahkan, hal seperti itu tidak tidak akan ditemukan di Amerika, yang katanya menghormati HAM, multi kultural dan pluralis tidak mungkin ada orang Islam yang bisa jadi Kepala Staf Gabungan Militer AS. Semua itu bisa terjadi di Indonesia karena umat Muslim sangat menjunjung tinggi toleransi.

Selain itu, di negeri ini sikap terbuka dan bertoleran tersebut dapat diimplementasikan dengan melindungi dan mengasihi umat beragama lain. Bagi kita umat Islam itu toleransinya luar biasa. Kasih sayangnya juga luar biasa.”

Bantahan Kepada Yusnar Yusuf Ketua Bidang Kerukunan Antar Umat Beragama MUI, Sangat luar biasa; sekali lagi sangat luar biasa pernyataan dari Ketua Bidang Kerukunan Antar Umat Beragama Majelis Ulama Indonesia (MUI), Yusnar Yusuf; selanjutnya singkat MUI. Luar biasa karena MUI telah membuat pernyataan yang menunjukkan peran serta peranan umat dalam  membangun hubungan antar umat beragama di Nusantara. (Baca juga: BPJS Jawab Fatwa Haram MUI, BPJS Itu Amanat UU)

Sayangnya, pernyataan tersebut, justru bukan dalam membangun kesetaraan antar umat atau pemeluk umat beragama, melainkan kesamping mereka yang tidak beragama Islam. Entah, dari mana MUI melakukan “studi bandingnya” sehingga mengungkapkan hal-hal, yang menurut saya, tak sesuai dengan fakta yang ada di Dunia maupun Indonesia.  Berdasarkan itu, saya termotivasi untuk menjawab.

Pertama, menurut MUI, “Kalau umat Islam itu mayoritas di sebuah negara pasti yang minoritas itu aman. Dengan mudah mendirikan rumah ibadah, melakukan berbagai macam kegiatan mereka.

“Umat Islam mayoritas di negara tertentu, maka……”  Entah negara mana yang menjadi tolok ukur, contoh, dan teladan. Katakanlah, Arab Saudi, adakah kebebasan untuk memeluk agama lain di sana!? Adakah gedung gereja di sana!? Adakah kebebasan berpindah agama di sana!? Atau, misalnya “negara baru ciptaan ISIS,” adakah terjadi hal-hal yang disebut MUI!? Contoh terdekat, Brunai Darusalam, mungkin orang-orang MUI, sekali-kali jalan-jalan ke sana, dan melihat apa yang terjadi. Bahkan, di Brunai, ada sejumlah kata, yang tak boleh digunakan oleh bukan beragama Islam.

Agaknya, MUI lupa bahwa hak beragama dan melaksanakan kegiatan-kegiatan keagamaan bukan karena “pemberian umat beragama tertentu” melainkan hak asazi setiap orang atau pemeluk agama tersebut. Dan, negara, sekali negara, bukan institusi agama, bertanggungjawab agar semua umat beragama dapat melaksanakan hak dan kewajibannya dengan baik benar. Dengan demikian, negara harus menjamin agar tiap pemeluk agama dapat menjalankan ajaran agamanya tanpa diganggu oleh siapa pun.

Kedua, pernyataaan “Kalau umat Islam itu mayoritas di sebuah negara pasti yang minoritas itu ….. kaum minoritas juga bisa mendapat peran lebih di pemerintahan …”

Saya tak tahu dengan pasti, tujuan di balik pernyataan MUI tersebut. Namun, agaknya pernyataan yang di dalamnya tersirat keingingan agar menciptakan negeri ini sebagai Negara dengan mayoritas beragama Islam atau bahkan berdasar Undang-Undang Islam, sambil kesampingkan peran umat beragama lainnya.  Di sini, justru sangat Nampak, suara skismatis dari MUI, sehingga mereka berharap agar negeri ini, jika boleh atau terjadi peminggiran terhadap minoritas dalam berbagai aspek hidup dan kehidupan.

Ketiga, “Seorang LB Moerdani yang Katolik yang pada saat itu populasinya 0,03 persen dari total populasi Indonesia, Pak Harto bisa mengangkatnya menjadi Panglima ABRI, …” (Baca juga: Fatwa Haram BPJS “MUI” Dimata Rakyat, UU dan Syariat)

Hmmmm …. Agaknya, MUI perlu belajar dan baca buku. Ada banyak info yang bertebaran di internet tentang lika-liku ketika LB Moerdani menjadi Panglima ABRI. Tak ada satu info pun yang menunjukkan bahwa terjadi “tarik ulur” antar tokoh agama ketika ia diangkat sebagai Panglima ABRI. LB Moedani sebagai Panglima ABRI bukan karena ia Katolik, namun pilihan Presiden berdasar prestasi kemiliterannya. Dan, ketika LB Moerdani sebagai Panglima ABRI, hingga kini, oleh beberapa kalangan, ia masih dituduh sebagai “penindas umat.”

Keempat, “… di negeri ini sikap terbuka dan bertoleran tersebut dapat diimplementasikan dengan melindungi dan mengasihi umat beragama lain. Bagi kita umat Islam itu toleransinya luar biasa. Kasih sayangnya juga luar biasa,….”

Saya tak mau membantah pernyataan di atas; namun, menurut saya, hal tersebut ada pada semua agama; mereka pun bisa mengklaim hal yang sama seperti MUI. Toleransi, kasih, humanis, hubungan antar sesame penuh kesetaraan, bukan milik agama atau agama-agama, semua umat manusia, bisa dikatakan memiliki hal tersebut.

Oke lah, jika MUI menyatakan, “…. ………….. melindungi dan mengasihi umat beragama lain. Bagi kita umat Islam itu toleransinya luar biasa. Kasih sayangnya juga luar biasa, ….” maka MUI harus buktikan kepada Nusantara. Buktikan bahwa tak khan lagi terjadi hal-hal yang di alami oleh Syiah di Madura, umat Kristen di Aceh Singkil, ataupun penolakan terhadap gedung gereja di Jawab Barat, Sumatara Utara, Jambi, dan lain sebagainya. Dengan demikian, negeri ini tak lagi ada demo-demo penolakan berdirinya gereja, atau bahkan penyegelan, pembongkaran, dan pembakaran gedung gereja. Dan, di negeri ini, semua sekte atau mazhab, misalnya Syiah dan Ahmadyah, bisa hidup berdampingan dengan punuh keseteraan.

Tak usaah jauh-jauh, tengoklah di Nusantara. Bekasi Bogor, Aceh Singkil, Sumatera Barat, dan lainnya, yang mayoritas beragama Islam. Adakah terjadi hal-hal yang disebut MUI.

Lebih dari semuanya itu, Nusantara tercinta tak membutuhkan SKB MENTERI yang mengatur (sebelum) pendirian rumah ibadah, karena semua umat beragama tak takut berdampingan dengan tempat ibadah bukan agamanya. Dengan demikian, rakyat (yang berbeda agama) bisa menerima pembangunan rumah ibadah di wilayah tertentu. (ARN/MM)

Sumber: Kompasiana

Comments
To Top
%d blogger menyukai ini: