RIYADH, Arrahmahnews.com – Setelah delapan bulan perang mematikan yang dilancarkan Saudi atas Yaman, Rezim Riyadh justru kini terjebak dalam rawa berlumpur, tanpa strategi yang jelas mengenai bagaimana mengakhiri konflik sekaligus “menyelamatkan muka” dari agresi yang telah menguras Saudi baik secara militer, politik, maupun strategis. Hal ini diungkap dalam sebuah laporan. (Baca juga: 8 Bulan Saudi Serang Yaman Hanya Tampakkan Sebuah Kejahatan Luar Biasa)
Laporan yang dipublikasikan oleh The Washington Post pada hari Jum’at (13/11) itu menggaris bawahi mengenai tantangan ekonomi dan politik yang dihadapi keluarga Al-Saud akibat dari perang yang dikobarkan terhadap Yaman, serta meningkatnya tekanan pada Riyadh dari para sekutunya sendiri akibat dari tingginya jumlah korban jiwa dari penduduk sipil dalam perang tersebut. (Baca juga: Kerajaan Saudi The Real Apartheid TImur Tengah)

rumah sakit MSF yang di bom Saudi di Sa’ada, Yaman
“Perang ini menguras Saudi baik secara militer, politik, maupun strategis,” tulis the Washington Post mengutip Farea al-Muslimi, seorang analis Yaman di Carnegie Middle East Center yang berbasis di Beirut, dimana ia juga mengatakan, “Masalahnya kini adalah mereka(Saudi) terjebak di sana.” (Baca juga: Ansarullah; Agresi Mematikan Saudi Terhadap Yaman Atas Nama AS dan Israel)
Semenjak akhir Maret, Arab Saudi telah terlibat dalam kampanye militer terhadap Yaman dengan tujuan untuk melemahkan gerakan Ansharullah dan mengembalikan kursi kekuasaan kepada sekutu dekatnya, mantan Presiden Abd Rabbuh Mansur Hadi.
Mengacu pada keretakan yang mulai muncul dalam koalisi sebagian besar monarki Teluk Persia yang membantu Arab Saudi dalam perang Yaman, laporan itu menyatakan bahwa Saudi kini “tidak bisa menemukan cara untuk menyelamatkan muka dalam mengakhiri konflik yang ‘mahal’ ini.”
Menurut laporan tersebut, perang Saudi yang berlarut-larut itu, hingga kini telah menyebabkan ribuan kematian warga sipil, serta telah menarik kecaman dari berbagai badan hak asasi manusia internasional, sehingga menjadi sulit bagi sekutu lama Riyadh, termasuk AS dan Inggris, untuk bisa tetap terus memberikan dukungan mereka bagi rezim Saudi itu dalam kampanye militernya.

jet tempur Saudi serang truk pembawa bantuan kemanusiaan
Mesir dan Pakistan, menurut laporan tersebut, juga telah mengecewakan Arab Saudi karena menolak untuk mengirimkan pasukan guna membantu militer Riyadh dan milisi pro-Hadi di medan pertempuran melawan tentara Yaman yang didukung oleh pejuang Ansarullah dan Komite Rakyat.
Perang itu bahkan menyebabkan lebih dari sekedar “sakit kepala” bagi Riyadh, tulis laporan tersebut mengacu pada kekisruhan yang terjadi dalam House of Saud. (Baca juga: 6000 Muslimin Yaman Jadi Tumbal Keserakahan Saudi)
Dikatakan bahwa serangan Riyadh telah mengintensifkan perebutan kekuasaan yang jelas terjadi dalam keluarga kerajaan. Raja baru, Salman bin Abdulaziz Al Saud menerima surat dari para pangeran yang mengkritisi beban ekonomi akibat perang yang harus diderita oleh kerajaan, padahal kerajaan juga sudah menderita akibat rendahnya harga minyak.
“Ini semua memang ruwet, tentu saja, tapi perang menghasilkan kompetisi untuk kekuasaan ini,” kata Yezid Sayigh, seorang analis Timur Tengah di Carnegie Middle East Center. (Baca juga: Jejak Pengabdian Saudi Kepada Barat dan Zionis)
Perebutan kekuasaan di antara keluarga kerajaan Saudi muncul setelah kematian mantan Raja Abdullah bin Abdulaziz, yang menempatkan Salman di atasa tahta kerajaan, awal tahun ini.
Tak lama setelah naik ke kursi kekuasaan, Salman mengguncang kerajaan dengan berbagai aksinya, termasuk dengan penunjukan putranya, Pangeran Mohammad bin Salman sebagai wakil putra mahkota dan menteri pertahanan, posisi yang menempatkan pangeran berusia 30 tahun itu dituntut atas perang yang dilakukan kerajaan itu terhadap Yaman.
Laporan tersebut juga menambahkan bahwa Pasukan Yaman terus membela negara mereka dalam menghadapi serangan Saudi, sedang pasukan asing dan sekutu Saudi yaitu milisi pro-Hadi yang beroperasi dalam serangan darat tidak dapat memberi keuntungan apapun pada Riyadh dan justru seperti terperosok dalam pertempuran yang hanya maju dan mundur saja.
Riyadh jelas merasa dipermalukan akibat kegagalan untuk mencapai tujuan dalam perang yang telah berlangsung berbulan-bulan lamanya itu. Sementara hingga kini masih belum jelas bagaimana Arab Saudi bisa mengakhiri keterlibatan militer mereka tanpa muncul sebagai pecundang. (ARN)
