arrahmahnews

Surat Terbuka Denny Siregar Kepada Adhyaksa Dault

23 November 2015,

SUARA RAKYAT, ARRAHMAHNEWS.COM – Salah satu pegiat sosial Denny Siregar dalam akun facebooknya membuat analisa tentang pencalonan Adhyaksa Dault dalam pemilihan Gubernur DKI, dia gunakan cara politik orde lamanya dan tunggangi agama dalam melawan rivalnya yaitu AHOK.

GAGAL MANING, PAK ADHYAKSA

Kalau soal manuver politik boleh-lah pak Adhyaksa dault ini.

Track record beliau mulai dari menjadi ketua senat mahasiswa sampai didapuk menjadi menteri pemuda dan olahraga, menunjukkan kepiawaiannya bermain politik. Ketika paham bahwa “ajakan”nya supaya Ahok masuk Islam mendapat sambutan yang kurang baik, beliau putar haluan dengan mengajak 10 orang pendeta untuk mengusungnya.

Adhyaksa dan Pendeta

Ada poin yang ingin diangkat dengan situasi ini. Pertama, beliau ingin menunjukkan bahwa ia adalah seorang yang sangat toleran. Buktinya, pendeta pun mendukung beliau.

Yang kedua, Ahok harus dihadapkan dengan pendeta, pimpinan jemaat. Biarlah orang Kristen yang menasehati Kristen lainnya. Kalau yang menasehati beragama Islam, nanti dibilang SARA, sok mencampuri keyakinan orang lain dan bla bla lainnya. Sekali tepuk, dapat dua lalat. Senyum-pun mengembang dibalik kumis indah yang membentang.

Hanya ada satu yang mengganjal. Kenapa masih suka bermain-main di wilayah agama ?

Politik berjubah agama adalah mainan orde baru. Pada masa itu, agama dijadikan sebagai baju untuk menjaring massa yang juga senang pakai baju. Mulai dari partai berlambang Ka’bah sampai ada istilah Jenderal hijau adalah cara-cara efektif untuk menarik simpati masyarakat sampai ke arah pendulangan suara pada. Dan pak Adhyaksa tumbuh besar di masa-masa itu.

Sayangnya, pak Adhyaksa mungkin terlupa bahwa era sudah berubah.

Era media sosial ini, mau tidak mau membuka banyak borok mereka yang membawa agama dalam misi politiknya. Entah berapa banyak pemuka agama yang jatuh karena terlalu berat mengemban amanah sedangkan pola berfikir mereka masih “mumpung ada kesempatan”. Bully-an terhadap mereka yang membawa-bawa agama dalam misi politiknya dan terjatuh, jauh lebih parah dari bully-an mereka yang jatuh tetapi tidak membawa nama agama.

Era keterbukaan ini, pola berfikir masyarakat pun mengalami peningkatan. Standar mereka sangat tinggi, apalagi ketika kita berbicara wilayah ibukota. Mereka lebih menyukai pemimpin dengan tindakan daripada pemimpin yang sibuk dengan seragam.

Pak Adhyaksa seharusnya cermat mengamati ini sejak awal jika ingin memenangkan pertarungan. Membawa-bawa agama dalam kancah politik Indonesia sekarang adalah manuver yang ketinggalan zaman. Ibarat sekarang kita sudah masuk pada era smartphone, tapi strategi yang dipakai masih telepon fixed line. Mana nomernya yang masih pake putaran lagi, bukan yang sudah pencetan.

Yang kasihan sebenarnya adalah para pemuka agama yang pak Adhyaksa usung kemana-mana. Mereka akan di bully habis-habisan di media sosial. Apalagi gelar pendeta di dalam agama Kristen, haram hukumnya bermain politik. Pendeta urusannya jemaat. Mereka adalah gembala, jangan jadikan mereka serigala.

Harusnya pak Adhyaksa belajar dari kesalahan FPI, yang membawa baju agama sampai melantik Gubernur tandingan yang bayar iuran RW-pun kurang. Kasihan beliau si Gubernur tandingan, hilang entah kemana. Jadinya malah ketahuan kalau belum bayar iuran.

Mungkin pak Adhyaksa tidak sadar, bahwa manuver bapak malah mengangkat nama Ahok dikalangan agamanya dia. Perilaku Ahok dalam memimpin Jakarta menunjukkan bahwa ia sangat Kristen dan menjalankan ajaran Yesus dengan benar. Kalau pendeta yang bapak usung menyerang Ahok, malah banyak yang bertanya kenapa orang yang sudah menjalankan ajaran agamanya dengan baik diserang? Yang nyerang pendeta lagi, orang yang seharusnya lebih mengerti ajaran dengan benar.

Disini saya harus memberikan standing applause untuk Ahok, maaf ya pak Adhyaksa. Serangan kepada Ahok oleh pendeta yang bapak bawa malah menjadi senjata makan tuan. Umat Kristen jadi paham dan terbuka matanya, bahwa di dalam agama mereka, bahkan orang yang seharusnya mereka hormati dan mereka percaya kata-katanya, ternyata bisa salah melangkah. Ahok menampar par par mereka yang berbaju pendeta tetapi punya kepentingan pribadi dibaliknya. Jangan sampai para pendeta yang bapak usung membuka bajunya dibagian dada dan berteriak histeris sambil menangis, “Tampar aku, koh Ahok.. Tampar aku…”

Mungkin sudah saatnya bapak mengumpulkan semua timses bapak dalam ruangan meeting, dan tatap mereka dengan geram sambil bergumam, “Son.. Kalian gagal maning, gagal maning son….” Jangan menyerah, pak. Kegagalan adalah sukses yang tertunda. Tundalah 5 tahun lagi. (ARN)

Sumber: Akun Facebook Denny Siregar

Comments
To Top

Eksplorasi konten lain dari Arrahmahnews

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca

Eksplorasi konten lain dari Arrahmahnews

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca