27 Februari 2016
DAMASKUS, ARRAHMAHNEWS.COM – Sejarah perang Suriah akan dikenang sebagai salah satu episode paling memalukan dalam sejarah pers Amerika. Ya, memalukan itulah kata yang tepat untuk media-media mainstream AS yang baru-baru ini melaporkan pembantaian mengerikan di kota kuno Aleppo.
Selama lebih dari 3 tahun kekerasan paling mengerikan telah menghantui Aleppo. Kelompok-kelompok teroris di Aleppo memulai kekuasaan mereka dengan gelombang represi. Mereka memasang spanduk-spanduk peringatan kepada penduduk, “Jangan kirim anak-anak kalian ke sekolah, jika kalian melakukannya, kita akan mendapatkan ransel (tas) dan Anda akan mendapatkan peti mati”. Kemudian mereka menghancurkan pabrik, industri, perternakan dan pertanian dengan harapan angka penganggur akan bertambah dan tidak ada jalan lain selain bergabung dengan jaringan teroris. Mereka juga menjarah mobil-mobil dan mesin-mesin pabrik dan industri kemudian dijual ke Turki.
Awal bulan ini, rakyat Aleppo akhirnya melihat secercah harapan. Tentara Suriah dan sekutu-sekutunya berhasil mendorong militan keluar dari kota-kota di provinsi itu. Minggu lalu mereka merebut pembangkit listrik utama di Aleppo, pasokan listrik dapat segera dipulihkan dan kota-kota akan kembali gemerlap dengan lampu-lampu yang menyala.
Kelompok-kelompok teroris yang telah mendatangkan malapetaka benar-benar telah dipukul mundur keluar dari Aleppo oleh pasukan Angkatan Darat Suriah, pejuang Kurdi dan serangan udara Rusia. “Turki-Saudi yang mendukung ‘pemberontak moderat’ menghujani perumahan di utara Aleppo dengan roket-roket terarah”, kata seorang warga Aleppo di media sosial. Analis yang berbasis di Beirut Marwa Osma bertanya kepada media-media Barat, “Syrian Arab Army, yang dipimpin oleh Presiden Bashar Assad adalah satu-satunya kekuatan di Suriah, bersama dengan sekutu mereka, yang berjuang melawan ISIS – apakah kalian ingin melemahkan satu-satunya kekuatan yang berjuang habis-habisan melawan ISIS? “
Ini memang tidak sesuai dengan narasi yang diinginkan Washington. Akibatnya, banyak dari pers Amerika melaporkan kebalikan dari apa yang sebenarnya terjadi di Suriah. Banyak laporan berita menyatakan bahwa Aleppo telah “dibebaskan” selama tiga tahun lalu, namun sekarang sedang ditarik kembali ke dalam kesengsaraan.
Amerika sedang memberitahu bahwa jalan yang benar di Suriah adalah dengan melawan rezim Assad dan Rusia. Kita seharusnya berharap bahwa koalisi yang benar dari Amerika, Turki, Saudi, Kurdi, dan “oposisi moderat” akan menang. Ini adalah omong kosong dan berbelit-belit, hampir tidak ada informasi nyata tentang teroris, tujuan mereka, taktik, kejahatan dan pendukung mereka. Baginilah cara kerja media Barat yang beroperasi sesuai kepentingan penguasa.
Di bawah tekanan keuangan intens Amerika Serikat, situs berita, koran, majalah, dan jaringan siaran secara drastis mengurangi korps koresponden asing. Banyak berita penting tentang dunia sekarang berasal dari wartawan yang berbasis di Washington. Wartawan yang meliput di Suriah akan diperiksa oleh Pentagon, Departemen Luar Negeri, Gedung Putih, dan “ahli” think tank. Setelah diseleksi, mereka akan membahas semua sisi cerita, bentuk stenografi hingga menghasilkan berita tentang Suriah yang telah disetujui.
Sebagian koresponden luar biasa berani berada di zona perang, berusaha untuk melawan laporan yang berbasis di Washington. Pekerjaan mereka beresiko besar atas keselamatan mereka sendiri. Mereka ingin menemukan kebenaran tentang perang Suriah. Laporan mereka sering membongkar keterlibatan negara-negara Barat di Suriah, namun bagi banyak konsumen berita, suara mereka hilang dalam hiruk-pikuk dan lenyap dari pemberitaan.
Wartawan yang berbasis di Washington menggambarkan al-Nusra dan teroris sebagai kelompok “moderat” yang berjuang melawan pemerintah diktator. Arab Saudi digambarkan sebagai pendukung pejuang kemerdekaan padahal sebenarnya adalah sponsor utama ISIS dan teroris lainnya. Turki selama bertahun-tahun telah menyediakan “tikus line” untuk militan asing yang ingin bergabung dengan kelompok teroris di Suriah, tetapi karena Amerika Serikat membeking Turki, akhirnya kita hanya mendengar sedikit tentang hal itu. Sementara Rusia, Iran dan gerakan perlawanan Hizbullah di Suriah digambarkan dengan negatif dan tidak stabil, hanya karena mereka yang benar-benar berjuang melawan teroris dan berhadap-hadapan dengan garis resmi di Washington.
Tak pelak, disinformasi merasuk ke dalam kampanye presiden Amerika. Pada debat terakhir di Milwaukee, Hillary Clinton menyatakan bahwa upaya perdamaian PBB di Suriah didasarkan pada “negosiasi pada bulan Juni 2012 di Jenewa” (mengacu pada dirinya sebagai Menlu dan perwakilan AS saat itu). Kenyataannya, pada tahun 2012 Menteri Luar Negeri Clinton bersama Turki, Arab Saudi, dan Israel berupaya keras membunuh rencana perdamaian yang didaulat Sekjen PBB Kofi Annan yang menetapkan Assad untuk berkuasa, setidaknya untuk sementara. Tidak ada satu pun di panggung Milwaukee yang cukup tahu untuk menantang kebohongan Clinton, kenapa?
Politisi dapat dimaafkan karena mendistorsi tindakan masa lalu mereka. Pemerintah juga dapat dimaafkan karena mempromosikan narasi apa pun yang mereka percaya paling sesuai bagi mereka. Jurnalisme, bagaimanapun seharusnya tetap terpisah dari elite kekuasaan dan kebohongan bawaan-nya.
Kebohongan media yang disponsori Amerika telah membuat telinga dunia tuli. Banyak orang-orang di belahan dunia yang tidak tahu fakta dan realita. Jika orang di Indonesia atau Malaysia salah paham tentang krisis Suriah, bagaimanapun juga tidak terlalu berpengaruh. Namun, ketidaktahuan kita lebih berbahaya, karena kita bertindak di atasnya. Maka orang seperti kita akan termakan dengan kebohongan media-media mainstream yang mengambil laporan dari Washington bukan dari tempat kejadian. Sehingga pantas jika mereka mengatakan konflik Suriah adalah disebabkan oleh “Assad, Rusia, dan Iran yang doyan perang”, sementara ” AS, Turki, Saudi, Inggris dan Israel mendukung perdamaian!!”. Ini sangat mengerikan dan jauh dari kenyataan. Hal ini juga akan memperpanjang perang dan akan memunculkan stigma tentang Suriah atas penderitaan dan kematian. [ARN]
Sumber; Stephen Kinzer is a senior fellow at the Watson Institute for International Studies at Brown University. on Twitter @stephenkinzer.
