arrahmahnews

Insiden Tanjungbalai; Antara Kedangkalan Pemahaman Agama dan Politik

Rabu, 03 Agustus 2016,

TANJUNGBALAI, ARRAHMAHNEWS.COM – “Agama menghasilkan dua jenis manusia yang saling bertentangan arah: yang satu adalah mereka yang ramah dan lembut, yang mengarah kepada kasih dan keadilan. Yang lain adalah para penghukum yang mengarah kepada kekejaman yang sadistik..” (Alfred North Whitehead, filsuf dan matematikawan terkemuka asal Inggris, 1861-1947).

Pemahaman keagamaan menghasilkan pemikiran dan aksi serta tindakan nyata yang bisa saja berbeda kendati dari sumber ajaran sama. Karena itu akan sangat naif dan tidak produktif serta tak bermanfaat jika menyamakan begitu saja pemikiran dan tindakan ummat beragama dengan ajaran agama itu sendiri.

Proses sejarah dan lingkungan serta tafsir terhadap ajaran agama sangat penting untuk diketahui, sehingga tidak mudah untuk menggeneralisasi dan bahkan menggunakan stereotipe serta prasangka dalam pergaulan bermasyarakat.

Setahun yang lalu kita dikejutkan oleh pembakaran masjid yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu. Setelah setahun berlalu, kemarin kita dikejutkan oleh aksi pembakaran klenteng yang juga dilakukan oleh beberapa oknum. Disadari atau tidak, fenomena semacam ini merupakan bentuk insiden yang bertujuan mengadu domba antar umat beragama di Indonesia, di mana secara umum kerukunan antar umat beragama di negara ini cukup efisien. Seyogyanya, umat beragama di Indonesia untuk bisa menahan diri dan tidak terbawa arus yang bersifat provokatif yang memang didesain sedemikian rupa oleh oknum-oknum tertentu.

(Baca juga: Inilah Kronologi Sebenarnya Kasus Kerusuhan Tanjung Balai Asahan)

Dalam konteks akademik, sedikit saya mau berbicara soal anarkisme di dalam agama-agama yang ada di dunia, karena memang konsentrasi keilmuan saya di sosiologi agama, tentu fenomena yang terjadi di Tanjung Balai merupakan bagian dari nomenklatur ilmu-ilmu sosial yang menyangkut keagamaan. Dalam kajian agama-agama, secara de facto sifat ini merupakan anomali yang mau tidak mau harus kita diskusikan secara serius. Ia merupakan realita atas fenomena keberagamaan yang terjadi sepanjang sejarah umat manusia.

Persoalannya adalah, jika agama-agama yang ada di dunia ini mempunyai kesamaan visi dalam konteks sosial, yaitu perdamaian dan kesejahteraan, serta mempunyai komitmen yang sangat kuat terhadap anti kekerasan. Lalu mengapa kekerasan atas nama agama seringkali terjadi?

Saya menyadari pertanyaan semacam ini seakan menuduh agama dalam sejarahnya selalu identik dengan kekerasan. Namun apabila pertanyaan di atas tidak dikemukakan, tentu sangat sulit menemukan benang merah dari persoalan-persoalan klasik yang telah berjalan selama kurun waktu ratusan tahun.

(Baca juga: Sumanto Al Qurtuby: Radikalisme Berkembang Karena Kaum Intelek-Moderat ‘Ngumpet’)

Jose Casanova, di dalam laporan penelitiannya “Public Religion in The Modern World” (2001:23) menyimpulkan bahwa agama-agama yang ada di dunia saat ini telah mengalami ambiguitas yang begitu nyata. Ia menyatakan bahwa agama pada satu sisi memiliki karakteristik yang bersifat “Exclusive, particularist, dan perimordial”, namun pada sisi yang lain agama juga memiliki karakteristik yang bersifat “Inclusive, universalist, dan transcending”.

Dari beberapa karakteristik yang telah dijelaskan oleh Casanova tersebut kemudian dapat diidentifikasi bahwa agama tak ubahnya sebuah pedang yang mempunyai dua mata. Di mana pada satu sisi sebagai perekat umat, namun pada sisi yang lain, ia juga menjadi titik pemicu konflik.

Jika merujuk pada sejarah perjalanan agama-agama besar dunia, seringkali kita dapatkan nuansa kekerasan dengan jumlah korban yang sangat besar. Masih segar di ingatan kita perseteruan antara agama Islam dengan Kristen yang memicu terjadinya Perang Salib. Kekerasan yang menurut sebagian para pemuka kedua agama tersebut dianggap sebagai perang suci telah memakan korban yang tak sedikit, ratusan ribu atau bahkan mungkin jutaan nyawa dalam rentan waktu dua abad. Hal inil yang kemudian disimpulkan oleh Casanova sebagai bentuk anomali yang terjadi di kalangan para pemeluk agama-agama.

(Baca juga: TOA atau Radikalisme Biangkerok Kerusuhan Tanjung Balai?)

Praktik kekerasan yang dilakukan oleh beberapa oknum dengan mengatasnamakan agama tertentu, biasanya menggunakan dalil teologis untuk melegitimasi setiap tindakan yang dilakukan. Walaupun di dalam realitanya, pemahaman terhadap dalil teologis yang telah dikemukakan terindikasi absurd, namun dengan semangat yang begitu besar, tetap saja yang bersangkutan bersikukuh bahwa apa yang ditawarkannya itu benar.

Persoalan yang terjadi di Tanjung Balai, Sumatera, menurut sebagian pengamat erat kaitannya dengan suhu perpolitik di negeri ini. Dengan kata lain, pada peristiwa pembakaran Klenteng oleh beberapa oknum yang terjadi kemarin agama hanyalah elemen kecil yang diikutsertakan dalam konflik sosial. Jika persoalan itu yang menjadi titik kulminasinya, maka dalam hal ini Georges Baladier (1984:18) menyatakan bahwa kelompok agama merupakan dimensi dari suasana politik.

Dalam hal ini agama sebagai alat kekuasaan yang dipakai untuk perjuangan politik. Oleh karena itu, ketika agama dijadikan sebagai sumber legitimasi yang jika meminjam istilah Jurgen Hebermas sebagai kelayakan sebuah pemangku politik untuk menjadi eksis, maka akan ada semacam kegiatan tukar menukar yang terjadi antara kekuasaan, pengakuan, dan ketaatan.

Oleh karena itu, dalam rangka mengantisipasi hal-hal yang tak diinginkan, setiap terjadi konflik bernuansa agama, masyarakat harus melihat dengan cerdas setiap fakta dan realita yang mengelilingi konflik tersebut. Atau dalam kata lain, ke depan masyarakat harus lebih mampu untuk melihat kekerasan agama yang sesungguhnya dengan kaca mata yang lebih jeli dengan mengkaji atau mendiskusikannya terlebih dahulu. Apakah penyerangan tersebut murni karena kesalahan dalam memahami ajaran agama ataukah faktor politik?  Saya kira kita sudah tahu jawabannya.

“Kebodohan membawa kepada ketakutan, ketakutan kepada kebencian, kebencian kepada kekerasan. Demikianlah rumusnya.” (Ibnu Rusydi/Averroes, filsuf agung asal Spanyol, 1126-1198).

Akar terdalam dari kekerasan adalah kebodohan. Ia bukan hanya karena ketiadaan ilmu pengetahuan dan kekayaan material dalam diri seseorang atau suatu bangsa, tetapi lebih kepada ketiadaan pencerahan dalam nalar dan nurani atau akal budi.

Kebodohan bukan hal yang hanya disebabkan faktor eksternal tetapi juga sebuah kesengajaan atau pilihan yg disadari. Itu sebabnya kebodohan dapat dijumpai pada mereka yg punya titel akademi, posisi dan status sosial yg tinggi, kekayaan, dan kekuasaan.

Dan kebodohan juga muncul dalam tampilan-tampilan yang mempesona, menarik kerumunan massa, dan bahkan menuai popularitas serta dukungan yang luar biasa. (ARN)

Comments
To Top

Eksplorasi konten lain dari Arrahmahnews

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca

Eksplorasi konten lain dari Arrahmahnews

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca