Jum’at, 11 November 2016
ARRAHMAHNEWS.COM, JAKARTA – Kunjungan Presiden Jokowi dalam dua tiga hari terakhir ke markas Kopassus (TNI-AD), Korps Marinir (TNI-AL), dan Korps Brimob (Polri), saya kira bukanlah sebuah kegiatan yang hanya bersifat rutin belaka. Kunjungan ini merupakan rangkaian komunikasi politik RI-1 yang telah dilakukannya sebelum dan sesudah peristiwa aksi massa 411. Presiden Jokowi menggunakan soft power berupa ‘blusukan ke atas’ dalam rangka merangkul elite politik dan organisasi masyarakat sipil, khususnya ormas Islam, dan menggunakan pendekatan “hard power” dengan kunjungan ke markas-markas kesatuan pemukul militer dan Polisi. Bukan tidak mungkin Presiden Jokowi akan melengkapi kunjungan beliau ke pasukan pemukul dan anti terorisme milik TNI -AU, yaitu Paskhas yang memiliki Den Bravo itu.
Gabungan antara ‘hard dan soft power’ itu biasanya disebut dengan istilah ‘smart power’ atau kekuatan cerdas. Hal itu dimaksudkan untuk membangun soliditas dan dukungan dari komponen-komponen negara dan masyarakat sipil untuk mengantisipasi dan menanggulangi ancaman yang dipersepsikan akan mengganggu stabilitas politik dan keamanan. Sangat boleh jadi bahwa asesmen terhadap kondisi kamnas saat ini, yang diterima oleh Presiden Jokowi, menunjukkan bahwa jika terjadi perluasan aksi 411 maka bisa mengarah kepada destabilitas politik, kendati gerakan protes tersebut menggunakan alasan ‘penegakan hukum’, ataupun berawal dari sebuah aksi unjuk rasa damai.
Indikasi faktual yang bisa kita lihat memang cenderung mengarah kepada asesmen seperti itu. Demo yang semula berlangsung damai itu berakhir ricuh dan pihak penegak hukum dan keamanan kini sedang melakukan penyelidikan intensif terhadap pihak-pihak yang diduga sebagai dalang kerusuhan. Adanya berbagai pidato atau orasi yang berisi hasutan melakukan pemakzulan Presiden yang sah melalui ‘parlemen jalanan’, upaya membawa masuk pendemo ke gedung Parlemen, dan aksi-aksi kriminal seperti penjarahan, adalah termasuk diantara fakta-fakta lapangan yang memperkuat asesmen di atas. Sulit untuk membantah bahwa demo 411 telah dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang memiliki vested interests politik untuk menciptakan kondisi instabilitas politik dan keamanan di Jakarta dan, jika terjadi eskalasi, bisa meluber ke daerah-daerah lain.
Kendati saya pernah mengatakan bahwa aksi demo 411 tidak akan menghasilkan sebuah showdown antara Presiden Jokowi dan kelompok anti Jokowi, tetapi tidak ada jaminan bahwa hal itu sama sekali tak mungkin terjadi di masa lain. Gejala ke arah itu bisa diobservasi, misalnya, ketika proses penyelidikan terhadap Gub Ahok yang sedang berjalan ternyata sudah secara a-priori dianggap belum memuaskan. Mulai muncul ancaman jika hasilnya tidak sesuai harapan, maka aksi-aksi lebih besar bisa terjadi. Belum lagi berseliwerannya informasi tentang adanya “pembocoran laporan intelijen” terkait penyandang dana dan keterlibatan sementara elit politik dalam aksi 411. Mungkin saja laporan seperti itu validitasnya rendah, atau hanya merupakan bagian dari perang urat syaraf saja, namun dalam politik tak bisa diabaikan begitu saja.
Walhasil probabilitas terjadinya sebuah showdown antara Presiden Jokowi dengan pihak-pihak yang ingin menjatuhkan beliau, sekecil apapun, tetap perlu disiasati dan direspon secara proporsional. Dan Presiden Jokowi tampaknya memang melakukan hal itu. Komunikasi politik dan kesiagaan mengantisipasi segala kemungkinan yang paling buruk beliau lakukan dengan cukup elegan. Hasilnya, untuk sementara, upaya beliau cukup berhasil dalam meredam dan mendinginkan pemanasan situasi pasca 411. Respon pasar masih positif dan reaksi-reaksi internasional menunjukkan konfidensi yang tinggi terhadap kemampuan Presiden Jokowi menghandel dinamika politik di Indonesia.
Bagaimanakah respon pihak-pihak anti Presiden Jokowi selanjutnya setelah target destabilitas yang diinginkan tak berhasil? Kita lihat saja apa yang akan dilakukan lagi pada 28 November ketika proses hukum berupa gelar perkara kasus Ahok dilaksanakan, dan hasilnya setelah itu. Sebab event tersebut jelas akan menjadi wahana yang akan dimanfaatkan secara optimal oleh pihak-pihak anti Jokowi. Dan itu sebabnya kunjungan-kunjungan kepada pasukan-pasukan elit militer dan Polri merupakan pasangan “serasi” dengan pertemuan-pertemuan dengan para elit politik dan tokoh-tokoh masyarakat sipil, khususnya ormas-ormas Islam. [ARN]
