Minggu, 20 November 2016,
ARRAHMAHNEWS.COM, JAKARTA – Rencana untuk menggelar demo pada tanggal 2 Desember oleh apa yang disebut dengan Gerakan Nasional Pembela Fatwa-MUI (GNPF-MUI), memang patut dipertanyakan motif dan targetnya. Karena itu saya bisa memahami dan setuju dengan himbauan Kapolri, Jenderal Pol. Muhammad Tito Karnavian agar kegiatan tersebut bisa dibatasi, dan jika bisa diurungkan saja. Saya juga mengapresiasi himbauan MUI, PBNU, PP Muhammadiyah, dan beberapa tokoh Islam agar ummat tidak berpartisipasi dalam demo tersebut. Alasan untuk berdemo yaitu mendesak agar tersangka Gubernur DKI (non-aktif) Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok ditahan, tidak memiliki validitas yang cukup kuat.
Seperti dikatakan oleh Kapolri, demo 2 Desember, yang disebut Bela Islam 3 tersebut, “menyimpan agenda tersembunyi. Bukan lagi soal tuntutan proses hukum Ahok, melainkan sudah bernuansa politik.” Hemat saya, kemungkinan besar, ia adalah gerakan politik dari kelompok Islam garis keras yang tujuan akhirnya adalah sebuah pergantian rezim (regime change). Petunjuk-petunjuk ke arah itu sangat transparan dalam berbagai statemen yang muaranya adalah pemakzulan Presiden Jokowi.
Misalnya, dalam sebuah siaran pers, Ketua GNPF-MUI, Habib Rizieq, mengatakan bahwa Presiden Jokowi telah melakukan penistaan terhadap ulama, karena beliau tidak mau menemui perwakilan pendemo #411 di Istana. Habib Rizieq juga meminta agar MPR mengadakan Sidang Istimewa untuk pemakzulan Presiden Jokowi karena melakukan intervensi terhadap kasus Ahok. Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah, dalam orasinya di tengah-tengah demo 411, juga bicara tentang bagaimana cara menjatuhkan Presiden Jokowi melalui Parlemen jalanan. Dan saya kira masih ada contoh-contoh lain yang bisa dikemukakan.
Pihak-pihak yang masih bersikukuh untuk melakukan demo menuntut penahanan Ahok, tampaknya seperti pameo “diberi hati merogoh ampela”. Mereka merasa sedang berada di atas angin setelah demo #411 itu dan kemudian berusaha mengkapitalisasinya untuk tuntutan-tuntutan politik selanjutnya. Kelompok Islam garis keras tersebut tentu tak berjalan sendiri, sebab agenda regime change itu pun sejalan dengan kepentingan pihak-pihak yang mengharapkan kandasnya sang petahana dalam Pilkada DKI, dan kepentingan pihak-pihak anti Pemerintah.
Modal mobilisasi ummat Islam yang digerakkan melalui tema “penistaan agama”, ternyata cukup efektif, bahkan mungkin di luar perkiraan mereka. Karenanya mereka menganggap bahwa aksi-aksi demo serupa dan digelar secara terus menerus akan mampu memaksa Presiden Jokowi berkapitulasi, dan pada saat yang sama meningkatkan ketidakpercayaan terhadap kepemimpinan Jokowi.
Namun kini ada dinamika baru pasca gelar perkara kasus Ahok digelar. Seruan demo ketiga yang dilakukan GNPF-MUI tampaknya tak akan besar gemanya. Sebab Polri telah berhasil membuktikan bahwa proses hukum telah berjalan cepat dan tidak ada intervensi dari Presiden terhadap kasus ini. Selain itu komunikasi politik Presiden Jokowi terhadap para tokoh politik dan pemimpin ormas Islam, serta dukungan kuat dari TNI menjadikan posisi Pemerintah kian menguat. Itu sebabnya muncul seruan dan himabuan dari ormas-ormas Islam besar dan tokoh-tokoh Islam untuk tidak mengikuti demo ke tiga tersebut. Sikap Kapolri yang sangat tegas dalam mengantisipasi demo ketiga tersebut juga menjadi bukti kesolidan untuk membendung gerak kelompok Islam garis keras yang dipersepsikan akan mengganggu stabilitas keamanan nasional.
Jika analisa di atas ada benarnya, maka demo ketiga itu bisa saja tetap berlangsung, namun daya tekannya tak akan seperti demo #411. Dan secara politik pun dampaknya tak akan terlalu mengganggu stabilitas politik dan keamanan. Lagi-lagi, “show down” politik antara Presiden Jokowi dan kellompok garis keras tak akan terjadi. Agenda politik yang menginginkan terjadinya “regime change” kini telah makin terbuka, sehingg aparat keamanan dan rakyat Indonesia secara keseluruhan juga telah memahami dan mengantisipasinya. (ARN)
Sumber; FB Muhammad A S Hikam.
