arrahmahnews

Demokrasi dan Rekayasa Makar Khilafah

Senin, 28 November 2016,

ARRAHMAHNEWS.COM, JAKARTA – Mahatma Gandhi, pejuang anti-kekerasan, dan pejuang kemerdekaan India, (1869-1948), mengataan “Sistem demokrasi tak mungkin terwujud sampai kekuasaan dimiliki oleh setiap warga negara. Namun demikian, demokrasi itu jangan sampai mengalami degradasi menjadi mobokrasi.”

Sebagaimana halnya dengan semua ciptaan manusia, sistem demokrasi tidaklah sempurna atau tanpa kelemahan. Kendati sistem ini memiliki visi luhur mengenai hak-hak asasi sebagai dasar, sehingga setiap warganegara berhak mendapatkan kekuasaan, tetapi pada saat yang sama hal itu juga membuka peluang bagi penyalah-gunaan kekuasaan (abuse of power). Jika tidak dikendalikan dengan hukum, maka demokrasi bisa terdegradasi menjadi sekadar “mobokrasi.” (Baca juga: Kontroversi Jumatan di Jalan dan Pengerahan Massa 212)

Di atas permukaan, tampilan mobokrasi mirip dengan demokrasi, yakni massa yang besar yang digunakan untuk suatu kepentingan. Namun bedanya dengan demokrasi, mobokrasi tidak mau mematuhi hukum dan aturan (rule of law) yang telah disepakati bersama. Alih-alih menciptakan keadilan dan kebaikan bagi semua, mobokrasi adalah wahana bagi kekuasaan tirani yang mengerikan. Ketika kerumunan massa telah mengambil alih kekuasaan tanpa aturan hukum, yang mereka lakukan pasti adalah pemaksaan kehendak dan penghancuran terhadap lawan. Demokrasi dan mobokrasi tampil mirip, tetapi substansinya total berseberangan, karena jiwa mobokrasi adalah tirani.

Setiap penyelenggara negara dan warga negara mesti cerdas dan awas dalam menyikapi perkembangan serta dinamika bangsa dan negaranya, agar tidak terjebak dalam rekayasa ‘devide et impera’ yang bermuara pada kembalinya penjajahan dan penindasan. (Baca juga: Inilah Kesepakatan Kapolri dan GNPF-MUI Soal Demo 212)

Pada era kolonia, strategi pecah belah dilakukan oleh penjajah dengan menggunakan para pemimpin politik dan masyarakat, selain memakai penindasan militer dan aparat keamanan lain. Di masa sekarang strategi tersebut direkayasa dengan menghidupkan primordialisme, sektarianisme, dan politik identitas.

Dengan cara ini, kebhinekaan Indonesia dijadikan wahana dan sumber perpecahan. Ditambah lagi dengan isu-isu kecemburuan sosial, kemiskinan, serta kebodohan, maka sektarianisme dengan mudah mencapai momentumnya.

Sikap awas dan cerdas anak bangsa merupakan senjata utama memelihara kemerdekaan bangsa dan menyikapi dinamika di tengah-tengah kehidupan antar-bangsa.

Kecenderungan untuk melakukan kekerasan dan mengumbar kekejaman terhadap sesama, saat ini sedang marak di dalam masyarakat kita. Masyarakat dan bangsa yang dikenal ‘ramah’ dan ‘murah senyum’ itu ternyata kini menjadi tak ramah dan lebih banyak menghujat, mengancam, dan merayakan kekerasan. (Baca juga: Demo 212: Pertaruhan Bagi Ide “Hukum Sebagai Panglima”)

Masyarakat yang sangat religius dan toleran itu malah mulai terkontaminasi virus kebencian dan fanatisime berlebihan. Salah satu penyebabnya adalah adanya rasa takut yang luar biasa yang sedang menggerogoti pribadi dan masyarakat.

Rasa takut kehilangan pengaruh dan kekuasaan, kenikmatan prestise sosial, kekayaan material, dan rendah diri menghadapi dinamika kemajuan peradaban. Para penjaja kebencian dan pengkhotbah perpecahan serta kekerasan menyebarkan virus ketakutan dan memanipulasinya untuk menggerakkan aksi-aksi yang menghancurkan tatanan.

Karena hanya dengan kehancuran itu mereka akan bisa berkuasa dan mengontrol masyarakat.

Rekayasa Makar

Melihat massifnya gerakan kebencian saat ini, saya sampai pada satu titik bahwa memang tengah ada rekayasa pihak luar yang ingin Indonesia bertengkar dan hancur lebur. (Baca juga: Kapolri Cium Bau Makar Maka Demo 2 Desember Dilarang)

Dimulai dari politisasi ayat, hadits dipotong seenaknya untuk mengobarkan permusuhan, sampai pelecehan kepada para kyai-kyai sepuh dan terakhir penistaan terhadap Kapolri, saya percaya memang ada gerakan yang secara massif, sistematis dan terorganisir hendak mengacaukan Indonesia.

Mereka gagal masuk lewat isu “Sunni-Syi’ah” dan sekarang masuk lewat kasus pilkada DKI. Dan kita sesama anak bangsa dan sesama umat beragama dibenturkan agar terjadi kekacauan. Waspadalah!

Saya tidak percaya para tokoh MUI berada dibelakang gerakan politisasi ayat dan hadits atau penistaan terhadap kyai sepuh dan juga Kapolri. Saya tidak ragukan komitmen kebangsaan MUI, NU dan Muhammadiyah.

Sejelek-jeleknya umat Islam gak akan bersusah payah mencari potongan hadits untuk membenarkan pembunuhan diluar proses hukum ataupun memotong hadits untuk menyerang kaum bermata sipit. Atau membuat meme menyamakan kapolri dengan PKI. Tidak mungkin dilakukan oleh kita semua. Ini sudah digerakkan oleh pihak luar.

Para ulama, santri, tokoh nasional, TNI/Polri harus bergandengan tangan menjaga bangsa dan negara kita. Jangan larut dalam permainan pihak luar yang hendak memainkan emosi kita. Mari kita tenangkan semua elemen bangsa dan umat serta stop kebencian yang bisa menjadi pintu masuk pihak luar memporak-pondakan bangsa kita.

Mari saling bergandengan tangan dan katakan #janganterpancing pada setiap twit, broadcast, pesan di WA, line, FB, Telegram atau media sosial yang lain dengan menebarkan provokasi kebencian dan penghinaan untuk memainkan emosi kita. (ARN)

Comments
To Top

Eksplorasi konten lain dari Arrahmahnews

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca

Eksplorasi konten lain dari Arrahmahnews

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca