arrahmahnews

Jika Wali Songo Masih Hidup, Kira-Kira Apa yang Mereka Katakan Soal Fatwa MUI?

Kamis, 22 Desember 2016,

ARRAHMAHNEWS.COM, JAKARTA – Saya tidak bisa membayangkan seandainya Sunan Kudus ketika membangun Masjid di Kudus (yang tersohor dengan nama Masjid Menara atau Al-Manaar itu) membaca fatwa MUI tentang larangan menggunakan atribut keagamaan NonMuslim. Seandainya Sunan Kudus patuh dengan fatwa MUI itu, apakah beliau akan berhasil menciptakan mahakarya arsitektural Masjid seperti Menara Kudus itu? Saya kok ragu. Sebab tanpa melakukan ‘hibriditasi’ dan ‘konvergensi’ serta ‘akulturalisasi’ budaya Hindu-Budha-Jawa dengan Islam, rasanya Menara anggun dan indah itu tak akan pernah kita saksikan.

Mengapa ada semacam kebuntuan dan bahkan kemunduran berfikir di kalangan pemimpin Islam padahal ada artifak dan warisan para jenius budaya seperti para Wali termasuk Sunan Kudus itu? Apakah para Ulama, Kyai, cendekiawan Muslim di Tanah Jawa dan Indonesia sekarang mengalami proses pemunduran intelektual dan budaya? Jelas bahwa dalam kontkes masyarakat heterogen dan majemuk seperti Indonesia, soal persinggungan dan akulturasi antar “atribut keagamaan” sulit ditolak dan mungkin malah tidak perlu ditolak. Atribut keagamaan adalah soal budaya, bukan otomatis soal keimanan perseorangan. Seandainya ummat Kristiani di jawa, dalam memringati Natalan lalu bikin ornamen khas budaya Jawa, misalnya ada ketupat, ada janur kuning, ada tumpeng, apakah itu nanti juga akan dianggap sebagai “atribut keagamaan?” (Baca juga: Fatwa MUI Ciderai Kemajemukan dan Keragaman Beragama di Indonesia)

Beberapa hari lalu, saya menghadiri acara seni kejadian “KEBO KETAN” di daerah Ngawi. Acara kolosal yang digagas dan dimotori seniman Bramantyo Prijosusilo itu, bertujuan menghidupkan kembali tradisi sedekah bumi, pelestarian lingkungan, festival kesenian (gamelan, musik pop, reog, jathilan, Tayub, resital puisi, dll) yang juga dibarengi dengan ekspressi religiusitas. Karena itu, ada ritual Islam, yaitu pembacaan doa dan juga ritual tradisional Kejawen. Lalu apakah seni ini termasuk “kena” fatwa MUI tersebut? Kalau membaca fatwa MUI secara tuntas, jelas kena. Mengapa? Karena acara Kebo Ketan ini juga memakai “atribut keagamaan NoMuslim”, padahal nyaris 90% Pemrakarsa dan Panitia dan para partisipannya adalah penganut agama Islam.

15665793_10208319456527787_352770244

Konsep “atribut keagamaan NonMuslim” yang digunakan dalam fatwa MUI, hemat saya, masih menimbulkan berbagai pertanyaan. Salah satu yang paling mendasar adalah pemahaman “atribut keagamaan” dan relasinya dengan budaya. Selain itu, siapa target fatwa itu? Apakah fatwa tersebut hanya khusus dialamatkan kepada ummat Islam terkait dengan perayaan Natal saja? Saya rasa tidak. Judul dari fatwa itu sendiri sangat jelas yaitu “FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor 56 Tahun 2016 Tentang HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON-MUSLIM.” Jadi fatwa ini bersifat umum bukan hanya untuk Natalan atau agama Kristen saja. Bahwa kemudian dipahami dan digunakan dalam kaitan Natalan, itu soal lain. Sebab bisa jadi lain kali digunakan juga untuk keperluan yang terkait agama Non Islam lainnya. (Baca juga: Yusuf Muhammad: Tito Karnavian Rajanya Anti Teror)

Walhasil, saya jadi sangat trenyuh dan ngungun mencermati kualitas para pemimpin Islam Indonesia di abad 21 ini, jika dibanding dengan kualitas para Wali pada abad 16. Seandainya para Wali Jawa kembali sugeng (hidup) dan membaca fatwa MUI tentang larangan menggunakan atribut keagamaan NonMuslim ini, kira-kira apa yang akan mereka katakan?. (ARN)

Penulis; Muhammad A S Hikam.

Comments
To Top

Eksplorasi konten lain dari Arrahmahnews

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca

Eksplorasi konten lain dari Arrahmahnews

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca