Rabu, 30 Agustus 2017
ARRAHMAHNEWS.COM, JAKARTA – Dalam pemberitaan media massa akhir-akhir ini terkuak fakta bahwa kelompok Saracen diduga terkait dengan Pilkada DKI Jakarta beberapa waktu lalu. Dalam kajian Koordinator TPDI Petrus Selestinus (seperti ditulis oleh bali.tribunnews.com), operandi kejahatan sindikat Saracen diyakini pernah digunakan dalam Pilkada DKI Jakarta.
Lebih jauh, kelompok yang dipimpin oleh Jasriadi tersebut juga terhubung dengan politiik nasional dalam Pilpres 2014. Diketahui pula, para tersangka adalah para penyebar kebencian terhadap Presiden Jokowi. Ini semua menguatkan dugaan dan analisa para pengamat poltik bahwa motif Saracen tak sekadar ekonomi. Saracen memilki motif politik yang sangat kuat karena telah digunakan untuk target politik. Jika asumsi ini benar maka menjadi jelas bahwa Saracen dijadikan alat praktek politik Sangkuni di tanah air.
Istilah “politik Sengkuni” saya gunakan dimaksudkan sebagai politik kotor. Politik yang menghalalkan segala cara. Politik yang menikam dari belakang. Poltik yang mengabaikan etika berpolitik. Politik yang hanya melihat tujuan tak mempedulikan cara menggapainya. Politik licik yang berorientasi kemenangan semata. Mengabaikan kebenaran dengan memutarbalikkan fakta.
Seperti dalam kisah Mahabarata, kelompok kejahatan dipimpin Kurawa berambisi kuat untuk menang. Guna tujuan itu siasat licik Sangkuni dilakukan. Bagi Kurawa cs kemenangn wajib diraih. Cara apapun akan dilakukan. Tak peduli dengan hukum, norma sosial atau lainnya. Kecurangan tersebut yang diprotes Karna, kakak Pandawa yang berada dalam barisan Kurawa. Apakah bangga menang dengan menabrak segala hal? Melanggar aturan hukum, norma bahkan agama? Apa guna meraih kemenangan kita dibolehkan berbuat apa saja? Boleh berbohong? Boleh menyebarluaskan ujaran kebencian? Bisa memperalat agama?
Menghadapi pertanyaan dan sejumlah protes di atas, Sangkuni menjawab sepintas sangat bijak juga menarik. Yang penting kita menang terlebih dahulu apapun caranya. Sebab berpolitik atau berperang itu yang penting menang. Soal kebaikan, kebenaran, dan keadilan bisa dilakukan setelahnya. Setelah menang baru tunjukkan bahwa kita yang terbaik untuk kepentingan orang banyak. Setelah menang kita tegakkan keadilan. Kita perangi kejahatan.
Berpolitik ala Sangkuni sangat berbahaya jika dipraktekan. Cara berpoltik semcam itu akan merusak demokrasi. Praktek politik model Sangkuni akan menghapus makna prestasi seorang pemimpin. Prestasi, kerja keras dan kepemimpinan yang baik tak akan menjadi acuan lagi dalam pemilihan seorang kepala daerah. Rakyat akan ditipu dan diperdayakan oleh para politisi Sangkuni sehingga prestasi para pemimpin terabaikan. Demokarasi tak akan mampu melahirkan pemimpin berkualitas dan berintegriatas. Demokrasi yang dirusak oleh para Sangkuni hanya akan mampu mencetak pemimpin culas, ambisius, licik dan serakah.
Praktek politik Sangkuni dengan media semisal Saracen kudu diwaspadai oleh rakyat Indonesia. Kenapa? Sebab kecenderungannya sangat kuat seiring menguatnya poitik identitas yang merobek kebhinekaan Indonesia. Pilkada Jakarta menjadi saksi dan fakta tak terbantahkan bagaiaman praktek politik seperti itu telah menghalalkan segala cara. Tuhan dilibatkan dalam kampanye. Masjid diperdaya. Agama diperalat. Pilihan dikaitkan dengan surga dan neraka. Bahkan orang yang sudah meninggal dijadikan amunisi seperti pratek politik jenazah dalam Pilkada Jakarta awal 2017 yang lalu.
Seperti kata Mendagri Tjahjo Kumolo, kita berharap isu SARA maupun fitnah tak berkembang pada gelaran Pilkada Serentak 2018. Penyelenggara Pemilu seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dapat membuat aturan tegas guna mendiskualifikasi pasangan calon tertentu jika kedapatan bermain isu SARA dan fitnah saat kampanye. Aturan seperti itu tak hanya berlaku saat Pilkada, pada pemilihan legislatif dan presiden juga diterapkan. Terakhir, semoga Kepolisian segera menuntaskan kasus Saracen. [ARN]
Sumber: Kompasiana.
