Minggu, 10 September 2017,
ARRAHMAHNEWS.COM, WASHINGTON DC – Upaya Presiden Trump untuk memecahkan kebuntuan yang telah membagi negara-negara terkaya di Timur Tengah berakhir pada kegagalan pada hari Sabtu, ketika para pemimpin dari Qatar dan Arab Saudi, setelah berbicara melalui telepon untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan, malah berduel pernyataan yang kontradiktif.
Trump mengatur panggilan tersebut, yang berlangsung pada Jumat malam, dan menjanjikan sebuah terobosan dalam sengketa sengit yang telah membuat Teluk Persia menjadi kacau dan mengancam kepentingan keamanan Amerika.
Baca: Sewot dengan Media, Saudi Batalkan Rencana Pembicaraan dengan Qatar
Sejak bulan Juni, Arab Saudi telah memimpin Uni Emirat Arab, Mesir dan Bahrain dalam memberlakukan boikot perdagangan dan transportasi yang menghukum negara kecil Qatar yang namun kaya gas, menuduh negara itu membiayai terorisme dan memiliki hubungan yang terlalu dekat dengan Iran. Qatar telah menolak tuduhan tersebut, dengan menyatakan bahwa negara-negara pemboikot telah berusaha untuk mengekang kedaulatannya dan menguasai saluran televisinya yang berpengaruh, Al Jazeera.
Trump melangkah bagai pahlawan minggu terakhir ini, menawarkan jasanya sebagai mediator dan memprediksi sebuah kemenangan cepat.
“Saya pikir Anda akan menghadapi kesepakatan dengan sangat cepat,” katanya di Gedung Putih pada hari Kamis, mendukung emir Kuwait, yang telah memimpin usaha untuk mengakhiri kebuntuan diantara negara-negara Arab ini.
Tapi panggilan telepon hari Jum’at itu, antara emir Qatar, Sheikh Tamim bin Hamad al-Thani, dan pangeran mahkota Arab Saudi, Mohammed bin Salman, tampaknya justru menegaskan betapa sulitnya menyelesaikan perselisihan yang makin meruncing itu.
Baca: Trump Desak Emir Qatar Gabung Saudi Cs Lawan Iran
Dalam beberapa jam setelah telepon tersebut, kantor berita negara Qatar mengeluarkan sebuah pernyataan yang mengatakan bahwa emir “menyambut sebuah proposal” oleh pangeran muda Saudi yang menunjuk dua utusan perdamaian untuk membantu menjembatani perbedaan mereka.
Bahasa itu membuat marah Saudi, yang tampak tersinggung oleh kesan bahwa mereka telah menyerah terlebih dahulu dalam perselisihan tersebut. Kantor berita negara Saudi membalas dengan laporannya sendiri, mengutip pejabat yang tidak disebutkan namanya, yang menuduh Qatar mendistorsi fakta dan menyatakan bahwa dialog antara kedua negara telah ditangguhkan.
Pihak Saudi mengatakan, Qatarlah yang pertama kali memikirkan gagasan mediator perdamaian.
Keributan tersebut merangkum kemarahan sebuah perselisihan yang telah membuat khawatir negara-negara Barat yang merupakan sekutu kedua belah pihak. Selama musim panas, serangkaian utusan, termasuk sekretaris negara Amerika Serikat, Rex W. Tillerson, telah melakukan perjalanan ke Teluk Persia untuk melakukan pembicaraan. Qatar dan musuh-musuhnya telah saling bertukar berita melalui media berita dan media sosial, mulai berita palsu dan email yang bocor, dan di jalan-jalan ibu kota negara bagian Barat.
Baca: Menlu Jerman: Trump Bertanggung Jawab atas Konflik Saudi-Qatar
Sebuah lomba berebut pengaruh telah meletus di Washington, di mana kedua belah pihak telah menghabiskan banyak uang untuk pelobi dan periklanan dalam upaya untuk mempengaruhi opini politik dan publik. Pada hari Sabtu, gerai resmi Saudi men-tweet pernyataan ISIS yang tampaknya palsu dimana kelompok teror itu menyatakan dukungannya untuk Qatar.
Sementara beberapa analis mengatakan bahwa panggilan telepon pada hari Jum’at itu, meski tidak berhasil, menimbulkan harapan bahwa kedua belah pihak akhirnya siap untuk berbicara, tapi beberapa analis yang lain melihatnya sebagai tanda betapa mengakar perselisihan antara mereka.
“Masalahnya adalah keduanya tidak ingin terlihat sebagai pihak yang menyerah ke pihak lainnya dalam usaha memecahkan masalah,” kata Michael Stephens dari Royal United Services Institute di London.
“Mengingat hipersensitifitas kedua belah pihak yang tak ingin tampak lemah,” katanya, “ini membuat masalah makin sulit dipecahkan.”
Tangan Mr. Trump mungkin dilemahkan oleh kengototannya sendiri untuk memihak. Setelah awalnya mendukung Saudi, ia tampaknya mengambil pendekatan yang lebih seimbang atas desakan Tillerson, yang mengenal para pemimpin di kedua pihak dari karir sebelumnya sebagai eksekutif minyak.
Qatar sendiri adalah rumah bagi pangkalan udara Amerika terbesar di Timur Tengah dan merupakan pusat operasi militer melawan ISIS di Suriah dan Irak. (ARN/The New York Times)
