Selasa, 19 September 2017,
ARRAHMAHNEWS.COM, BOGOR – Ponpes Ibnu Mas’ud Bogor produsen “Teroris” akhirnya ditutup Polisi atas desakan warga. Sejumlah santri pondok pesantren Ibnu Mas’ud di Desa Sukajaya, Tamansari, Bogor dipulangkan ke rumah masing-masing menyusul penutupan pesantren karena terkait dugaan paham radikal.
Baca: Inilah Kronologi Pembakaran Umbul-umbul Bendera Merah Putih di Bogor
Polisi menutup pesantren setelah adanya desakan dari warga desa karena dituding mengajarkan paham radikal dan terkait dengan ISIS. Juru bicara Pesantren Ibnu Mas’ud, Jumadi mengatakan kepada Reuters bahwa sekolah tersebut kosong setelah kepala polisi setempat mengatakan terpaksa menutup pesantren tersebut karena desakkan dari warga di lima desa di sekitarnya.
Berdasarkan pantauan Reuters yang dipublikasi bulan ini, sejumlah pengajar dan siswa Pondok Pesantren Ibnu Mas’ud di Desa Sukajaya, Bogor telah pergi ke Suriah untuk bergabung dan ikut bertempur dengan ISIS.
Setidaknya delapan staf pengajar dan empat siswa pondok pesantren ini melakukan perjalanan atau mencoba melakukan perjalanan ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS antara tahun 2013 dan 2016. Namun, Jumadi membantah bahwa pesantrennya mendukung gerakan ISIS atau kelompok militan lain, serta mengatakan pesantren tidak mengajarkan kekerasan atau gerakan ekstrimis.
Baca: GILA! Ulama Saudi Akui Keyakinan ISIS Sama dengan Wahabi: VIDEO
Salah satunya Hatf Saiful Rasul adalah bocah Indonesia yang tewas di Suriah saat perang bersama ISIS. Dia meninggal dunia ketika usianya baru menginjak 12 tahun. Dia berangkat ke Suriah bersama guru dan rekannya dari Ponpes Ibnu Mas’ud di Bogor dengan harapan bisa menjadi syahid.
Hatf Saiful Rasul, berpose dengan senjata laras panjang ketika ikut berperang bersama kelompok militan Negara Islam (ISIS) di Suriah sebelum kematiannya pada 1 September 2017. Bocah asal Indonesia ini meninggal dunia ketika usianya baru menginjak 12 tahun. Kantor berita Reuters mencatat, Hatf termasuk 12 jihadis Indonesia dari pondok pesantren Ibnu Mas’ud yang mencoba pergi ke Suriah pada 2015 lalu. Delapan adalah guru, sisanya santri.
Pesantren Ibnu Mas’ud sejak lama dikenal sebagai wadah radikalisasi dan tempat persembunyian tersangka teroris. Pada Agustus lalu, salah seorang pengajarnya ditangkap polisi karena membakar umbul-umbul merah putih.
Baca: Mufti Al-Azhar; Wahabi, ISIS dan terorisme Hasil konspirasi Kerjaan Saudi
Syaiful Anam alias Brekele saat menjalani sidang pada akhir Juli 2017 lalu. Brekele merupakan ayah Hatf. Hatf berangkat ke Suriah atas izin ayahnya. Pondok pesantren Ibnu Mas’ud di Desa Sukajaya, Tamansari, Bogor. Di tempat inilah Hatf menempuh pendidikan sebelum berangkat ke Suriah
Seperti dilansir oleh Reuters, salah satu dari empat santri, Hatf Saiful Rasul, berangkat ke Suriah saat berusia 11 tahun dan meninggal dalam pertempuran dengan ISIS setahun kemudian pada September 2016.
Ayahnya yang berada dalam tahanan, Syaiful Anam, menulis bahwa anaknya terinspirasi untuk bepergian dengan guru dan murid sekolah yang pernah bergabung dengan ISIS.
Selama 10 tahun terakhir berdirinya pesantren Ibnu Mas’ud, setidaknya 18 orang yang memiliki hubungan dengan pesantren telah ditangkap atau dijatuhi hukuman karena terlibat dalam perencanaan dan serangan ISIS di Indonesia. Kepala pesantren Ibnu Mas’ud Agus Purwoko mengatakan bahwa pesantrernnya hanya mengajarkan murid membaca dan menghafal Alquran.
Baca: Ciri Teroris: Ngaku ASWAJA Tapi Anti Maulid, Anti Kuburan dan Benci Kepada Wali
“Jadi Ibnu Mas’ud seperti penitipan anak. Ada juga orang tua yang mengirim anak-anak mereka ke sini karena mereka bercerai, masuk penjara, atau menghadapi masalah lain,” ungkap Agus kepada Reuters.
Kepala desa Sukajaya, Wahyudin Sumardi sebelumnya mengatakan bahwa warga desa telah memperhatikan kegiatan di sekolah tersebut selama beberapa tahun terakhir.
Namun, kemarahan warga desa tersulut saat seorang guru pesantren tersebut diduga membakar bendera merah putih saat Hari Kemerdekaan Indonesia. Warga kemudian berkumpul di luar pesantren menuntut penutupan Ibnu Mas’ud. Penutupan Pesantren dan sekolah ini akan mengurangi kemungkinan santri untuk menjadi radikal. (ARN)
Sumber: Berbagai Sumber
