Rabu, 27 Desember 2017
RIYADH, ARRAHMAHNEWS.COM – Pakar politik percaya bahwa jika Washington dan Riyadh melanjutkan kebijakan mereka yang jelas-jelas telah gagal di Timur Tengah, maka kekalahan yang lebih berat dan memalukan akan menanti mereka di masa depan.
Sebuah opini yang diterbitkan oleh situs berita Khabar Online pada awal pekan ini membahasnya dalam penjelasan mengapa hari-hari sulit menanti Saudi Arabia dan pendukungnya yang gigih, yaitu pemerintahan Trump.
Baca: Presiden Saleh: Saudi Gagal Runtuhkan Semangat Revolusioner Bangsa Yaman
Dalam tulisan tersebut dijelaskan bahwa hari-hari ini bukanlah hari-hari Nikki Haley dan Mohammed bin Salman. Haley adalah wanita yang hobi perang, yang dengan dalih bermacam-macam ingin berperang melawan Iran, dan Bin Salman adalah seorang pria yang bercita-cita menjadi raja, tapi tidak sedewasa raja Saudi sebelumnya, karena ia melihat segala sesuatu melalui lensa ketegangan dan kekacauan.
Haley dan Bin Salman saat ini sedang berusaha melakukan yang terbaik untuk memberi kompensasi atas kekalahan yang telah mereka timbulkan bagi negara mereka sendiri. Namun, ternyata semakin banyak mereka mencoba, semakin mereka terjebak dalam rawa buatan mereka itu.
Baca: RUGI BESAR! Perang Yaman Paksa Saudi Kuras Keuangan Kerajaan
Akhir-akhir ini AS dan Arab Saudi berusaha membidik Yaman dan tentu saja dengan menyalahkan Iran menggunakan dalih serangan rudal dari negara miskin korban agresi yang hingga saat ini menolak untuk bertekuk lutut meski dihujani puluhan bom setiap hari. Washington dan Riyadh berasumsi bahwa dengan cara ini mereka bisa menimbulkan semacam kekalahan terhadap Iran.
Menurut opini tersebut, Rudal kedua Yaman yang menargetkan Riyadh dan markas kerajaan menunjukkan bahwa Saudi akan menghadapi masa-masa sulit di masa depan, dan Yaman ternyata tidak selemah seperti yang semula mereka duga. Dalam hal ini, juru bicara pasukan dan militer Yaman mengatakan bahwa penargetan pusat komando Arab Saudi merupakan operasi pre-emptive untuk melawan gerakan musuh.
Baca: Analis: Saudi Berusaha Hindari Rasa Malu atas Kegagalan Perang di Yaman
Pendaratan rudal Burkan-2 di bandara King Khalid adalah pukulan yang sangat berat bagi Arab Saudi. Sanggup meluncurkan roket dari negara yang sedang dilanda perang padahal pemerintahan persatuannya sedang dirongrong secara politik dan militer, sementara melihat keamanan mereka sendiri juga dipertaruhkan, adalah wujud kegigihan bangsa Yaman yang memaksa diri mereka untuk pantang menyerah dalam permainan yang hilang ini dengan harga berapapun.
Tapi lagi-lagi, alih-alih menemukan penyebab kegagalan dan kekurangan dalam rencana dan strategi mereka, Saudi dan AS justru berusaha untuk mengutuk Iran. Nikki Haley muncul di depan kamera dengan dokumen yang semestinya dia tahu tidak dapat diterima oleh siapa pun, untuk menuduh Iran memberikan roket itu kepada orang-orang Yaman. Tambahan lagi, secara konyol ia juga tidak bisa menyebutkan kapan dan bagaimana rudal itu dipindahkan dari Iran ke Yaman. Haley, didepan anggota DK PBB hanya menghubungkannya begitu saja dengan Iran dan meminta dibentuknya sebuah koalisi internasional melawan Republik Islam tersebut.
Ini bukan pertama kalinya mereka mengajukan tuduhan seperti itu terhadap Iran, dan ini tampaknya merupakan proyek untuk meningkatkan tekanan terhadap Iran.Tapi kali ini, rencana tersebut bahkan tidak diterima oleh pembantu Trump. Sekretaris Pertahanan AS menolak klaim tersebut dalam waktu hampir 24 jam.
Menunjukkan bahwa tak satu pun tokoh militer yang berada di sebelah Haley, James Mattis secara implisit mengatakan bahwa klaim Haley tidak dapat dipercaya. Ia juga menambahkan bahwa koalisi melawan Iran adalah masalah politik, bukan militer. Mattis menanggapi ucapan Haley dengan mengatakan bahwa yang sedang dipikirkan AS adalah sebuah koalisi diplomatik melawan Iran, bukan militer. Ia mengatakan kepada wartawan di Pentagon bahwa tidak perlu mengubah strategi pertahanan AS di Iran dan meningkatkannya.
Upaya Haley ini bahkan juga tidak ditanggapi juga oleh Eropa. Prancis mengambil sikap negatif, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa menolak klaim bahwa rudal tersebut berasal dari Iran. Setelah menyelidiki reruntuhan rudal yang diluncurkan oleh gerakan Ansarullah di Arab Saudi, para ahli PBB mengatakan dalam sebuah laporan bahwa mereka tidak dapat memastikan rudal tersebut dibuat di Iran.
Satu-satunya negara yang mengiyakan kata-kata Haley adalah Arab Saudi. Saudi melengkapi permainan dengan mengamini ucapan Haley dan mengulangi posisi anti-Iran mereka. Sebuah sikap yang lagi-lagi dianggap menunjukkan frustrasi Saudi setelah kegagalan kebijakan terbaru mereka di kawasan.
Independen dalam sebuah artikel baru-baru ini memperkenalkan Bin Salman sebagai “the man of 2017 in the Middle East”. Tapi itu bukan karena keberhasilannya melainkan karena kegagalannya. Seorang pria yang kebijakan luar negerinya di Timur Tengah telah gagal sepanjang tahun penuh.
Kebijakan luar negeri pewaris takhta Arab Saudi yang agresif dan tidak logis itu telah gagal di Yaman, Suriah, Irak dan Lebanon. Bashar al-Assad masih berkuasa, Sana’a masih berada di bawah kendali Ansarullah, Saad Hariri telah mencabut pengunduran dirinya, dan Irak berada dalam masa pasca ISIS untuk mencapai stabilitas. Cukup membingungkan untuk memikirkan dimana diantara negara-negara ini, yang menyebabkan Arab Saudi mengeluarkan biaya terbesar demi mendukung agenda mereka.
Namun, mengapa Arab Saudi masih tidak mau mengakhiri ketegangan? Ini terjadi karena Riyadh tahu bahwa pemerintahan Trump akan mendukung kebijakan Saudi seagresif apapun dan setidak masuk akal siapapun. Itulah alasan Bin Salman menjadi terlalu agresif akhir-akhir ini. Ia tahu kesempatan seperti Trump tidak akan terulang lagi. Bin Salman melihat kawasan dan sekitarnya sebagai arena judi dan bahwa ia harus menang dengan harga berapapun. Kegagalan berturut-turut membuatnya lebih bernafsu untuk terus bermain lagi-dan lagi karena ia tidak dapat menahan godaan kemenangan.
Demikian juga, Haley memiliki perasaan yang sama mengenai strategi yang telah dibisikkannya pada Trump. Iran dan kesepakatan nuklir telah berubah menjadi mimpi buruk bagi mereka. Mereka kemudian melemparkan kasus ini ke Kongres dan setelah 60 hari, hal ini telah menjadi sakit kepala bagi Trump.
Bagaimanapun, Haley mungkin adalah pengembang strategi ini, seorang wanita, yang pergi ke Wina dan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) berusaha untuk menemukan cara membatalkan perjanjian Nuklir (JCPOA), namun setelah mencoba berbagai cara, yang ia punya hanya rasa malu dengan sejumlah dokumen serta foto roket Yaman yang diluncurkan ke Arab Saudi.
Trump dan utusannya ke Perserikatan Bangsa-Bangsa harusnya sadar bahwa mengobarkan perang dengan alasan buruk (konyol lebih tepatnya) lebih sulit daripada yang mereka bayangkan. Terutama, ketika seorang diplomat berpengalaman seperti Mohammad Javad Zarif tidak hanya tidak bertindak seperti mereka, namun dengan menggunakan diplomasi Twitter-nya, berbicara dengan logika dan penalaran bagus untuk mengungkapkan strategi rahasia kotor musuh.
Zarif di akun Twitter-nya merujuk pada masa lalu AS dan tuduhan tak berdasar yang mereka bawa melawan Irak untuk melancarkan perang yang menghancurkan dengan menuliskan “Ketika saya berada di PBB, saya melihat pertunjukan semacam ini dan apa yang diakibatkannya.” (ARN)
