arrahmahnews

Lima Mata Uang Negara Berkembang Berjatuhan

JAKARTA – Lima mata uang negara-negara berkembang terus berjatuhan, terutama pada penutupan perdagangan Selasa kemarin, dimana beberapa anjlok ke posisi terendah.

Melansir dari CNBC, Rabu (5/9/2018), rupiah Indonesia merupakan yang paling terpukul pada Selasa kemarin, dengan jatuh ke level Rp14.940 per dolar Amerika Serikat (USD), posisi terendah sejak dua dekade. Namun pada Rabu pagi ini, sedikit membaik menjadi Rp14.925 per USD.

Peso Argentina turun sekitar 3%. Dan sepekan lalu, mata uang Argentina ini telah tergerus 16%. Sehingga peso Argentina telah merugi hampir 50% terhadap dolar AS sepanjang tahun 2018.

Rupee India juga jatuh ke titik terendah baru pada Rabu pagi ini, menjadi 71,78 rupee per dolar AS. Lira Turki meluncur pada hari Selasa dan korban terbaru keperkasaan dolar AS adalah rand Afrika Selatan. Rand jatuh 3% pada Selasa kemarin karena ekonomi Afsel di kuartal II 2018 mengalami resesi.

Secara keseluruhan, indeks mata uang negara berkembang alias MSCI Emerging Markets Currency Index turun 0,46% pada Selasa kemarin, merupakan penurunan terbesar dalam minggu. Sepanjang tahun ini, MSCI telah jatuh 5,53%.

Lantas apakah krisis mata uang di negara berkembang ini akan menular? Beberapa analis mengatakan investor tidak perlu panik hanya pada sentimen negatif.

Karine Hirn, partner di asset manager East Capital, mengatakan bahwa stres yang terjadi di pasar negara berkembang bukan sebab utamanya karena dolar AS yang kuat dan naiknya harga minyak, tetapi masalah sebenarnya adalah sentimen trader alias pedagang.

“Jangan lupa, secara umum, pasar negara berkembang terkena sentimen karena banyaknya investor berasal dari luar negara daripada investor domestik. Dan sentimen ini terluka karena ketegangan perdagangan di seluruh dunia,” katanya kepada CNBC.

Dan Katherine menekankan, titik nyata alias “masalah besar” dari pedagang ini karena pendapatan perusahaan, bisnis secara umum tidak merugi.

Sementara, Kepala Riset ANZ Asia Khoon Goh menilai, kejatuhan rupiah Indonesia sebenarnya tidak terlalu buruk karena pertumbuhan ekonomi kuartal II 2018 meningkat.

“Rupiah melemah karena kepanikan berlebihan dari pelaku pasar. Sehingga memperumit masalah bagi pembuat kebijakan di Indonesia di saat mereka berupaya mencoba dan menstabilkan rupiah,” terang Goh kepada CNBC, Rabu (5/9/2018).

Sementara itu, Presiden Joko Widodo pada Rabu ini menerangkan bahwa faktor eksternal berada di belakang depresiasi rupiah. Karena itu, untuk mengatasinya, Jokowi akan melakukan dua hal: meningkatkan investasi dan ekspor demi menahan defisit transaksi berjalan di Indonesia.

Pasalnya, defisit yang melebar dapat melemahkan mata uang lebih lanjut. Karena lebih banyak impor berarti membeli lebih banyak mata uang asing untuk memenuhi kebutuhan suatu negara.

“Hanya ada dua cara, investasi harus terus meningkat dan ekspor juga harus meningkat. Sehingga kita dapat menyelesaikan defisit akun saat ini,” kata Jokowi kepada wartawan, usai melepas ekspor CBU mobil Toyota di IPC Car Terminal, Jakarta, Rabu (5/9/2018).

Senada dengan dua ekonom di atas, Kepala Ekonom dan Strategi di Mizuho Bank, Vishnu Varathan mengatakan, kekhawatiran penularan jatuhnya mata uang negara berkembang “terlalu berlebihan”.

“Sangat penting untuk tidak tergesa-gesa dengan menagatakan risiko penularan dari emerging market. Karena kejatuhan peso Argentina dan lira Turki sangat berbeda dengan penurunan rupiah Indonesia dan rupee India,” ujarnya. [ARN]

Comments
To Top

Eksplorasi konten lain dari Arrahmahnews

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca

Eksplorasi konten lain dari Arrahmahnews

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca