Analisa

Analisa AS Hikam Soal Prabowo yang Tak Mau Akui Kekalahan

JAKARTA – Membandingkan konflik Venezuela dengan Klaim kemenangan pilpres di Indonesia oleh Prabowo, mungkin terasa berlebihan. Namun sebagai bahasan sebuah fenomena, tidak ada salahnya kita sedikit menyinggung identifikasi kedua kasus tersebut.

Orientasi Prabowo terhadap Pilpres kali ini semakin jelas, bahwa kemenangan baginya merupakan tujuan yang tidak boleh ditawar, bahkan termasuk mempertaruhkan ongkos politik dan ongkos sosial sebesar apa pun.

Orientasi dimaksud tidak lepas dari provokasi para pembantu dan pendukungnya, karena ada agenda yang lebih besar di balik sasaran memenangkan pilpres, yakni menjadikan Indonesia sebagai negara bersyariat.

Jelas pula indikasi yang menginspirasi para ulama, yang demikian kuatnya mendukung Prabowo sebagai sosok ambisius, disinyalir berlatarbelakang antusiasme mereka akan mudahnya mendorong Prabowo memberlakukan negara bersyariat.

BacaDenny Siregar: Hasutan ‘Monster’ HTI Dibalik Keras Kepalanya Prabowo.

Prabowo dinyatakan oleh para polster mengalami kekalahan dibanding capres petahana. Prabowo pun meradang, dan seketika menuding para lembaga penyelenggara quick count sebagai berkonspirasi menumbangkan pemenang sebenarnya, yakni pihaknya.

Saat ini Prabowo seperti tidak lagi peduli dengan hasil selain perhitungan pilpres, karena dari sekelebatan analisis kita, Ketum Gerindra ini seperti mengabaikan habis-habisan angka quicke count pileg, yang mana cukup menguntungkan partainya.

Adakah dia menghindar untuk bersikap mendua, ketika fakta menyatakan lembaga survei di satu sisi memberikan kabar gembira bagi partainya, sementara di sisi lain mengirim isyarat kabar buruk tentang hasil pilpres yang juga diikutinya ?

Jika pada saat bersamaan, Prabowo menyambut kemenangan versi quick count atas keunggulan partainya, sementara kekalahannya dalam pilpres tetap ditolaknya mentah-mentah, maka publik akan seketika menilai negatif atas sikap demikian.

BacaBerita Pedas Media Australia ‘Loser Prabowo Claims Victory on Indonesia’.

Dengan berfokus pada penilaian subjektif terhadap hasil sementara pilpres, Prabowo tampaknya meletakkan prioritas tertinggi pada penggiringan opini publik tentang pengakuan kemenangannya dalam kontestasi pilpres, sementara untuk urusan hasil pileg, diposisikannya sebagai prioritas lebih rendah.

Sikap menahan diri yang ditunjukkan oleh Jokowi, pada tahap tertentu bisa kita maklumi, namun jika hal itu terlalu lama dipertahankan, justru akan menimbulkan persepsi negatif.

Perlu diingat, bahwa politik juga menganggap penting faktor persepsi. Jika Jokowi tidak segera menunjukkan ketegasan, bahwa siapa pun yang terlalu awal mengklaim kemenangan dalam kontestasi, baik pilpres maupun pileg, harus diberikan pendekatan hukum, dengan sendirinya memberi angin kepada Prabowo untuk memperjuangkan kemenangannya melalui perang persepsi.

Peduli amat dengan fakta bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU), lembaga resmi penyelenggara Pemilu di Indonesia, belum mengumumkan siapa pemenang Pilpres 2019 tgl 17 April lalu, tapi Prabowo Subianto dan pasangannya Sandiaga Uno dengan terang-terangan telah menggelar deklarasi sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI 2019-2024.

Apakah ini sebuah keputusan yang bijak, legal, dan sahih sesuai protap dan UU yang berlaku? 

Pengamat Politik dari President University, Muhammad AS Hikam mengatakan bahwa langkah atau manuver politik Prabowo-Sandi ini bukan tidak dipikirkan dan direncanakan dengan perbagai pertimbangan yang menurut mereka sudah valid dan efektif untuk meyakinkan bahwa merekalah sang pemenang Pilpres 2019.

’Hemat saya, keputusan melakukan deklarasi hari ini tak bisa dilepaskan dari beberapa hal seperti rencana-rencana gelar ‘people power’, sujud syukur massal di Masjid Istiqlal, dan tudingan adanya berbagai kecurangan dalam survei dan ‘quick counts’ (QC) yang dilakukan berbagai lembaga survei,” ujarnya melalui pernyataan yang diunggah hikamreader.com, di Jakarta, Kamis (18/4).

Hikam mengatakan, deklarasi ini, sebagai sebuah manuver politik, merupakan sebuah sebuah “fait accompli” politik dan pengkondisian untuk manuver-manuver lanjutan sebelum dan pasca-pengumuman resmi KPU nanti. Pertanyaannya, kata Hikam, akankah di Indonesia nanti ada Presiden “kembar” hasil Pilpres 2019?.

Hal ini mengingatkan kita pada peristiwa pertarungan elite politik di Venezuella beberapa waktu lalu, ketika Presiden Nicolas Maduro ditandingi dan di “gantikan” oleh Juan Guiado yang mengklaim sebagai Presiden yang legitimate secara politik!.

Ujung-ujungnya krisis politik pun mendera Republik yang pernah dipimpin Hugo Chavez tersebut. Perebutan kekuasaan itu makin susah diselesaikan karena negara-negara adikuasa seperti AS dan sekutunya mendukung Juan Guaido sedangkan Rusia dan beberapa negara lain di Amerika Latin lebih mendukung Nicolas Maduro.

’Tapi saya berdoa dan berharap, semoga Indonesia pasca-Pilpres 2019 tak mengalami krisi politik. Juga tak ada konspirasi ‘operation Venezuella’ yang diorkestrasi kekuatan luar. Saya berharap ini hanyalah letupan ketidakpuasan dari pihak-pihak atau pribadi-pribadi yang saling bersaing ketat, ditambah dengan kekurangsabaran mengikuti proses politik demokratis,” ujar Hikam.

BacaRudi S. Kamri: Amien Rais, Provokator Sejati Perusak Kerukunan Negeri.

Hikam mengatakan, sebagai sebuah bangsa kita seharusnya layak bangga dengan proses Pilpres yang bisa dikatakan paling akbar di dunia dan berlangsung demokratis, jujur, adil, bebas, dan rahasia. “Karena kemampuan inilah Indonesia mampu menjadi salah satu ikon berdemokrasi saat ini dan ummat manusia di seluruh dunia menjadi saksinya!. Jadi mengapa harus ada ‘Deklarasi kepagian’ ini?,” pungkasnya. sumber : Deklarasi Kepagian Atas Kemenangan Pilpres Bukan Tidak Diperhitungkan.

Pihak keamanan dalam hal ini perlu juga memberi penekanan kepada kubu oposisi, jangan sampai penggiringan opini kepada publik, menimbulkan dampak negatif berupa persepsi yang sesat.

Kita berharap, ada sosok, baik yang berada di kubu Prabowo-Sandi, maupun dari pemerintah, yang mengambil inisiatif agar tensi politik diturunkan, terutama dari provokasi kepada Prabowo dari pihak yang memiliki kepentingan pribadi dan kelompok. [ARN]

Sumber: Seword.

Comments
To Top
%d blogger menyukai ini: