Arrahmahnews.com, Jakarta – Pengamat politik Timur Tengah Dina Sulaeman dalam akun facebooknya membantah pernyataan Fahri Hamzah yang dimuat Republika Senin 28 Oktober 2019 dengan judul “Hentikan Industri Radikalisme”.
Dina menjelaskan bahwa Industri radikalisme itu ada saat ini di Indonesia jangan sampai masalah ini dikaburkan Cuma untuk kepentingan politik semata, berikut ulasan Dina terkait hal tersebut:
Baca: Siasat Baru Arab Saudi, ISIS dan PKS
Industri Radikalisme? Memang Ada Kok!
Fahri Hamzah, eks-PKS (partai yang terindikasi kuat ideologi dasarnya Ikhwanul Muslimin) menulis artikel berjudul “Hentikan Industri Radikalisme”. Dua paragraf awal saya copas:
“Sebutkan isu Radikalisme yang mencuat kembali. Isu ini telah terjebak menjadi industri. Cara pejabat menakut-nakuti bangsa ini dengan isu radikal yang dituduhkan kepada kelompok Islam ini sudah merusak banyak sekali modal sosial kita. Tidak mudah dikembalikan.
Kok bisa bangsa mayoritas Islam ditakut-takuti dengan ajaran Islam. Lalu kok kita semua percaya bahwa radikalisme ada di mana-mana dan mengancam negara kesatuan. Ajaib. Contoh dari satu dua ceramah dari ribuan ceramah setiap hari di seluruh Indonesia di-copy dan dijadikan alat bukti”.
Baca: Dahono Prasetyo: WASPADA! Lembaga Donasi Jadi Mesin ATM Kegiatan dan Gerakan Terorisme?
Dan selanjutnya, Fahri menuduh bahwa negara sedang memanfaatkan radikalisme untuk kepentingan politik belaka. Saya setuju, memang ada indikasi kuat bahwa sebagian kekuatan politik memanfaatkan isu radikalisme untuk memenangkan kontestasi politik. Untuk membantah tuduhan ini, silahkan para elit yang kemarin koar-koar antiradikalisme, buktikan bahwa Anda sekalian memang tulus ingin melindungi NKRI dari rongrongan kelompok takfiri-jihadi (dan para simpatisannya, termasuk juga politisi yang memanfaatkan mereka) dengan melakukan program deradikalisasi yang dilandasi pemikiran yang benar, terstruktur, dan tersistem. Jangan cuma beretorika di media yang berujung kegaduhan dan malah mengaburkan esensi utama dari persoalan ini. Kembalikan hak-hak kelompok minoritas, masa Anda kalah sama kelompok radikal yang beringas kepada minoritas?
Tapi, Fahri membuat kesalahan besar dalam tulisannya: ia menggiring publik untuk melupakan bahwa RADIKALISME MEMANG ADA! Bahwa radikalisme memang industri global yang melibatkan sangat banyak uang. Bahwa Ikhwanul Muslimin (yang merupakan jejaring transnasional) terlibat aktif dalam industri ini.
Dalam video ini, ada perempuan-perempuan ISIS di kamp Suriah, silahkan simak. Saya sudah cek ke teman saya yang tinggal di Suriah, dari dialeknya, mereka ini orang-orang asing (non-Suriah). Data dari Tempo yang meliput ke kamp penampungan ISIS di Al Hol, Suriah, ada 200 orang Indonesia. Muslim. Apa mereka mau jauh-jauh datang ke Suriah, hanya karena terpengaruh “satu dua ceramah” (istilahnya Fahri)?
Baca: TERBONGKAR! Taktik Busuk Ikhwanul Muslimin yang Ingin Suriahkan Indonesia
Bohong besar kalau dijawab iya. Selama 8 tahun perang Suriah, ustad-ustad maupun kader dakwah dari berbagai ormas, termasuk jaringan Ikhwanul Muslimin (IM), sangat aktif berceramah soal Suriah, di berbagai kota, berbagai masjid, di medsos. Rekam jejak digitalnya sangat banyak. Mahfudz Siddiq, politisi PKS, bahkan secara terbuka mendukung AS untuk serang Suriah, ini diberitakan media resmi; tapi kalau Anda google sekarang, anehnya, page not found melulu. Tidak aneh ada dukungan ini karena yang angkat senjata di Suriah memang orang IM (selain ada ISIS dan Al Qaida).
Di video ini, Anda bisa lihat, seperti apa contoh berpikir radikal itu.
“Kamu kafir, kami Islam, kami mau bikin khilafah!”
“Dalam perang, tawanan perempuan boleh diperbudak, jadi boleh disetubuhi. Ada kok di Quran!”
Banyak orang yang punya “frekuensi” sama dengan perempuan-perempuan ISIS itu, meski mungkin tidak jadi anggota ISIS. Orang IM dukung FSA, Jaish Al Islam, dll. HTI dan jejaring Al Qaida dukung Jabhah al Nusra.
Mereka ini jenis orang yang memahami Al Quran secara tekstualis, tanpa merujuk pada konteks dan tafsir. Pemikiran tekstualis merupakan fondasi dasar pemikiran radikalisme. Di tingkat ekstrim, mereka menyetujui kekerasan: orang kafir boleh dibunuh. Bom bunuh diri itu jihad. Syiah dan Ahmadiyah kafir dan tidak boleh hidup di Indonesia. China itu komunis, kafir, atheis.
Dan pemikiran ini sudah meruyak kemana-mana, please baca dong hasil berbagai survey soal radikalisme di masyarakat. Jangan pura-pura tidak tahu. Inilah pemikiran radikalisme yang dimaksud oleh banyak orang (termasuk saya) saat menyerukan “lawan radikalisme”. Tapi para radikalis yang sedang “bertakiyah” (pura-pura moderat) selalu saja memelintirnya dengan tuduhan “kalian memojokkan Islam!”
Nah, balik ke industri radikalisme. Di acara-acara ceramah soal Suriah itu, dikumpulkan dana. Selama 8 tahun berapa puluh atau ratus milyar yang sudah dialirkan ke milisi jihad (dan simpatisannya) di Suriah? Bachtiar Nasir misalnya, tercatat pernah kirim uang 100 ribu USD ke Suriah lalu terungkap ada kardus-kardus makanan berlogo organisasi donasinya BN ditemukan di gudang Jaish Al Islam di Aleppo.
ACT, yang saat mengumpulkan donasi Suriah menampilkan bendera FSA, hanya untuk satu isu saja (Ghouta), dalam beberapa hari dapat duit 11 M lebih. Padahal selama 8 tahun, ACT melakukan kampanye penggalangan dana Suriah dengan banyak “judul”.
Baca: Rekam Jejak Kejahatan IHH dan IHR Bantu Teroris Suriah
Lalu, keberadaan jihadis di Suriah-pun melibatkan industri minyak dan senjata raksasa. Delapan tahun perang, ISIS, Free Syrian Army, Jaish al Islam, atau Jabhah Al Nusra, memiliki senjata yang sama canggihnya dengan yang dimiliki negara. Tak heran tentara Suriah kelabakan, tidak sanggup melawan sendiri dan terpaksa minta bantuan militer Rusia dan Iran. Senjata secanggih dan selengkap itu, siapa yang kirim? Berapa banyak yang beredar?
Data tahun 2014 menyebut ISIS (di Irak dan Suriah) punya penghasilan 3 miliar dollar setahun. ISIS menguasai ladang-ladang minyak dan menjualnya ke pasar gelap. Mau tahu siapa yang beli? Tahun 2016, Wikileaks mempublikasikan 58.000 email yang mengungkap keterlibatan mantu Erdogan, Berat Albayrak, dalam membantu ISIS memasarkan minyak curian dari Suriah dan Irak.
Baca: Amerika Surga Senjata Bagi Teroris Suriah
Uang memang tidak ada ideologinya, sehingga tidak heran, bulan Oktober lalu, saat tentara Turki memerangi Kurdi Suriah, mereka dibantu oleh FSA, dan FSA ketahuan sengaja membebaskan sekitar 1000 tawanan ISIS.
Ini kita belum bicara soal industri yang terkait dengan media/propaganda. Misalnya, Kemenlu AS (via USAID) dan Menlu Inggris sudah terang-terangan mengaku mengeluarkan uang jutaan USD untuk sebuah kelompok [mengaku] relawan, tapi perannya adalah membuat film-film propaganda (White Helmets) yang disiarkan oleh jejaring media global.
Jadi Fahri, industri radikalisme itu memang ada, tapi tidak seperti yang Anda tulis. Yang dapat duitnya para kapitalis global. Di level bawah, adalah orang-orang biasa, Muslim (seperti di video ini), dan mereka jelas bukan hasil doktrin “satu dua ceramah” saja. (ARN)
