arrahmahnews

Utopia Kaum Khilafah dan Mimpi Buruk ISIS

Jakarta – Ahmad Khoiri meresensi sebuah buku berjudul “Daulah Islamiyah dalam Alquran dan Sunnah” yang ditulis oleh Muhammad Najih Arromadloni, M.Ag, buku dengan tebal 164 halaman ini menguak kerancuan nalar dan pemahaman yang salah kelomppok teroris ISIS memaknai Alquran dan hadis nabi SAW.

Allah SWT. berfirman, yang harusnya direnungi kaum jihadis, yang artinya:

“Katakanlah: ‘Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?’ Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya”. (QS. al-Kahf (18): 103-104)

Nabi Muhammad SAW. juga bersabda:

“Waspadalah kalian dari ekstremitas (al-ghuluww) beragama, sesungguhnya sifat demikian telah membinasakan umat sebelum kalian.” (HR. Ibnu Majah)

Kira-kira seperti itu kutipan ayat dan hadis dalam mukadimah buku ‘Daulah Islamiyah dalam Alquran dan Sunnah’ karya Najih Arromadloni.

Baca Juga:

Sengaja nas tersebut diletakkan di paragraf pertama. Disamping sebagai argumen bahwa ekstremisme bertentangan dengan Alquran dan hadis, juga sebagai pengingat, reminder, munabbih, bahwa dalam tataran agama-agama, ekstrimisme bukan diskursus baru.

Pemangku paham ekstrem -beberapa kalangan lebih suka menyebut mereka radikalis, pengusung radikalisme- bertolak dari teks, menjadikan nash sebagai atribut propaganda. Karenanya, Najih berusaha menginterupsi mereka melalui nas pula. Tarik menarik argumen, nas melawan nas ini merupakan konsekuensi logis dari sesuatu yang disebut ‘subjektivitas penafsiran’.

Kata Najih, “Subjektivitas pemahaman inilah yang dalam kenyataan sejarah memunculkan implikasi lewat lahirnya sejumlah klasifikasi tipologi dan nomenklatur keberagamaan, seperti ritualis, sufistik, tradisionalis, modernis, literalis, fundamentalis, progresif, liberal, dan seterusnya”. (Lihat hal. 4)

Ayat vis-à-vis Ideologi

Dialektika teks dan konteks, dalam dunia penafsiran, adalah hal yang tidak bisa dipisahkan. Teks lahir di dalam, dan melalui, konteks tertentu. Seorang pemikir liberal asal Mesir, Nasr Hamid Abu Zayd, kemudian menyimpulkan bahwa Alquran adalah produk budaya (al-muntajj al-tsaqafiy). Tetapi pada saat yang bersamaan, ia adalah produsen budaya (al-muntijj al-tsaqafiy).

Baca Juga:

Artinya, suatu teks merupakan respon terhadap konteks tertentu, dan konteks tersebut memengaruhi eksistensi teks itu sendiri. Karenanya, keduanya tidak bisa dipisahkan. Manakala teks dipahami secara lepas dari konteksnya, cacatlah penafsiran, dan inrelevansi pun mengemuka. Tekstualisasi ini lantas dipasarkan secara masif, mengakar sebagai pemikiran, lalu menjelma sebagai ideologi.

Inilah yang oleh Najih disinyalir menjadi akar propaganda Islamis State of Iraq-Syria (ISIS), sebagai representasi kaum jihadis. Mereka memahami ayat Alquran hanya sebagai teks saja, memungutnya sebagai justifikasi ideologi, melepaskannya sama sekali dari konteks suatu ayat diturunkan. Bagi ISIS, juga kaum jihadis lainnya, ayat tidak lebih sebagai bahan legitimasi semata.

“Harapan besar mereka tentu adalah berubahnya opini masyarakat atas kejahatan yang mereka lakukan. Yakni dengan tidak lagi memandangnya sebagai sebuah tindakan kebiadaban, melainkan semata untuk menjalankan perintah Tuhan.” (Lihat hal. 11)

Kaum Wahabi-Jihadi dan Proyek Eksploitasi

Apakah memahami Alquran secara tekstual, menjadikan nas sebagai legitimasi ideologi, dan menjustifikasi kekerasan adalah proyek yang serampangan? Jawabannya jelas: tidak. Para kaum jihadis tengah melakukan eksploitasi agama. Mereka ingin memangku kekuasaan, yang kentara politis, tetapi membungkusnya dengan narasi kemurnian Islam, untuk menarik partisipan. Sebagaimana umumnya kaum jihadis, ISIS tidak segan-segan melakukan interpretasi yang bertentangan dengan pendapat jumhur ulama. Mereka yakinkan para pengikutnya, melalui teks hadis, bahwa Nabi Muhammad diutus mengemban pedang. Segala yang dianggapnya bid‘ah, harus diberangus, termasuk kuburan. Mencekoki pengikut tentang khilafah, dan selainnya sebagai taghut yang wajib diperangi.

Baca Juga:

“Nyatanya, Islam tidak pernah menawarkan kekerasan atau radikalisme. Persoalan radikalisme selama ini hanyalah permainan kekuasaan yang mengental dalam fanatisme akut. Dalam sejarahnya, radikalisme lahir dari persilangan sosial dan politik.” (Lihat hal. 17)

Eksploitasi ayat suci oleh kaum jihadis adalah sesuatu yang mesti ramai-ramai ditentang. Tidak benar, Nabi SAW. diutus sebagai pembawa kekerasan, surah Ali ‘Imran (3):159 justru menegaskan yang sebaliknya. Tidak benar pulakhilafah merupakan ajaran Islam, ia murni sistem politik. Sosial-politik, emosi keagamaan, kultur, dan antipati terhadap Barat adalah serangkaian peyebab kaum jihadis melancarkan aksi gilanya.

Kekerasan; Titik Tolak Kaum Jihadis

Dalam buku ini, Najih juga menguraikan perihal aspek epistemologis: sejarah dan landasan ideologi ISIS. Ini diulas pada bagian ketiga. Tentang bagaimana evolusi ISIS yang mulanya bernama Tanzhim al-Daulah al-Islamiyyah fi al-‘Iraq wa al-Syam membuang kata pertama dan terakhirnya. ‘Tanzhim’ dan ‘Fi al-‘Iraq wa al-Syam’ dihapus, dan yang tersisa adalah al-Daulah al-Islamiyyah, Negara Islam.

Teritorial ISIS semakian luas, setelah ia proklamasikan diri sebagai Negara Islam. Akar ideologinya ialah Salafi–Wahabi yang notabene berhaluan jihadi, yakni bertendensi menghalalkan segala cara, termasuk teror dan kekerasan, demi menyebarkan ajarannya. Mereka mengusung proyek purifikasi, pemurnian dari sesuatu yang dianggap bid‘ah dan kafir. Termasuk, sekalipun, jika harus ditempuh dengan jalur kekerasan.

Baca Juga:

“Pada gilirannya, Salafisme atau Wahabisme menjadi lahan subur bagi lahirnya aneka pemikiran dan pergerakan bernapas terorisme dan konflik. Pola ajaran purifikasi yang digaungkan kelompok ini menghantam telak otak sehat. Agama tidak lagi digunakan untuk menjadi pemandu menuju kebenaran, melainkan sebagai alat untuk menyulut permusuhan dan kehancuran”. (Lihat hal. 63-64)

Kekerasan sebagai titik tolak kaum jihadis bukan sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan ekstraksi dari pemahaman tekstual atas nas. Melalui nas tersebut, mereka memanipulasi makna khilafah, makna jihad, makna hijrah, makna iman, juga makna peperangan besar akhir zaman (al-malhamah al-kubra). Semua kebrutalan penafsiran tersebut diproyeksikan untuk cita-cita utopis mereka, yaitu berdirinya Daulah Islamiyah, Negara Islam.

Ilusi Negara Islam

Insiden bom bunuh diri di banyak tempat, misalnya yang waktu itu terjadi di Mapolrestabes Medan, selain disebabkan iming-iming bidadari surga, juga merupakan implikasi dari ilusi tentang lahirnya Negara Islam. Anggapan thoghut terhadap aparat, merupakan implikasi dari manipulasi kaum jihadis tentang makna jihad. Bagi mereka, jihad adalah membunuh. Bahkan kendatipun sesama Muslim.

Tentu, fakta ini merupakan mimpi buruk bagi kita. Bagaimana kemudian utopia lahirnya Negara Islam, terbentuknya khilafah, menjadi justifikasi atas pertumpahan darah sesama umat. Lebih buruk lagi ketika alat legitimasinya adalah Alquran dan hadis, dua pedoman primordial Muslim. Betapa mudah seseorang terprovokasi, ketika narasi politik kaum jihadis itu pura-pura melandaskan diri pada ajaran keduanya.

“Pemahaman ISIS yang menyeleweng tersebut kerap berlatar belakang politis dan bersifat hipokrit. Retorika tentang arah pemaknaan teks Alquran dan hadis seringkali menjadi alat klaim untuk memperjuangkan propaganda-propaganda politiknya… Mereka juga mempunyai kekeliruan metodologis yang fatal, sehingga tidak memiliki akar teologis, ideologis, dan historis yang kuat, sahih dan otoritatif.” (Lihat hal. 146)

Baca Juga:

Najih cukup dalam menguliti kedok politik ISIS, sebagai representasi kaum jihadis, dalam buku ini. Ia menggunakan majalah resmi ISIS, Dabiq, sebagai titik tolak setiap kritiknya. Bagi Najih, tata kelola hidup yang dikehendaki Islam adalah kedamaian, kebaikan (al-mashlahat), dan segala tindak-tanduk kekerasan kaum jihadis adalah sesuatu yang tidak dapat ditolerir.

Cukup rendah hati Najih menegaskan, upaya mengkonter mimpi buruk tentang Negara Islam yang dipropagandakan ISIS memerlukan keterlibatan seluruh pihak, utamanya otoritas keagamaan, seperti NU dan Muhammadiyah. Deradikalisasi memang bukan perkara mudah. Melalui moderasi agama, stabilitas politik, serta kesejahteraan, mimpi buruk tidak akan terjadi. Kaum jihadis, termasuk ISIS, akan musnah. (ARN)

Ikuti Update Berita di Channel Telegram Arrahmahnews

Wallahu A‘lam bi ash-Shawab.

Judul : Daulah Islamiyah dalam Alquran dan Sunnah

Penulis : M. Najih Arromadloni, M.Ag

Tahun : September 2019 (Cet. II)

Penerbit : Pustaka Harakatuna

Tebal : xii + 164 halaman

ISBN : 978-602-61885-4-0

Presensi : Ahmad Khoiri

Comments
To Top

Eksplorasi konten lain dari Arrahmahnews

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca

Eksplorasi konten lain dari Arrahmahnews

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca