Baghdad, ARRAHMAHNEWS.COM – Perdana menteri Irak mengatakan sebanyak 2.500 tentara AS telah meninggalkan negara itu sebagai bagian dari kesepakatan yang dicapai dengan Washington untuk memungkinkan penarikan penuh pasukan Amerika.
Mustafa al-Kadhimi membuat pengumuman pada hari Sabtu dalam sebuah wawancara dengan televisi al-Iraqiya.
Dia menyebut pelaksanaan itu sukses besar yang diperoleh sebagai hasil pembicaraan strategis dengan Amerika Serikat.
Al-Kadhimi pergi ke Washington sebagai ketua delegasi pada 20 Agustus untuk mengadakan pembicaraan dengan para pejabat Amerika.
Baca:
- Perang Armenia-Azerbaijan, Suriah Ingatkan Plot Jahat Turki
- Penulis Arab: AS Gunakan Irak untuk Kepung Negara-negara Tetangga
Presiden AS Donald Trump saat itu mengumumkan bahwa kedua belah pihak telah sepakat bahwa pasukan Amerika akan meninggalkan Irak selama periode tiga tahun.
Al-Kadhimi sebelum melakukan perjalanan, mengatakan bahwa ia telah bertemu dengan semua pejabat politik Irak dan beberapa dari mereka telah mendesaknya untuk merundingkan rencana penarikan delapan tahun.
Perdana Menteri kemudian menyatakan kegembiraannya karena dia bisa bernegosiasi dengan waktu yang lebih singkat.
AS menginvasi Irak pada tahun 2003 membuka front besar kedua dalam perang melawan teror yang telah membuatnya menyerang Afghanistan dua tahun sebelumnya. Invasi tersebut menggulingkan diktator Irak Saddam Hussein, tetapi diikuti oleh ketidakstabilan yang merajalela serta kekerasan etnis yang mematikan dan menghancurkan.
Pada 2014, Irak dibanjiri oleh kelompok teror Daesh yang muncul di tengah kekacauan akibat invasi. Amerika Serikat dan sejumlah sekutunya kemudian memperkuat kehadiran mereka di Irak, kali ini dengan dalih menumpas para teroris.
Terlepas dari ukurannya yang besar, koalisi itu ternyata lambat dalam membuat kemajuan melawan ISIS.
Baghdad akhirnya mengalahkan pasukan teroris itu pada akhir 2017, dengan dukungan penasihat militer dari sekutu terdekatnya, Iran, yang memainkan peran sentral dalam kemenangan tersebut.
Pada awal Januari, AS membunuh Letnan Jenderal Qassem Soleimani, mantan komandan Pasukan Quds dari Korps Pengawal Revolusi Islam (IRGC) Iran, yang mengarahkan pemberian bantuan nasihat ke Irak dan Suriah.
Parlemen Irak memberikan suara penuh setelah itu, yang mendukung undang-undang yang memerintahkan penarikan penuh semua pasukan pimpinan AS dari negara itu.
Ancaman penutupan kedutaan AS
Sementara itu, Al-Kadhimi membahas ancaman Washington yang akan menutup kedutaan besarnya di Baghdad, sebagai tanggapan atas serangan roket yang secara sporadis menargetkan kompleks misi diplomatik dan sekitarnya.
Dia mengatakan Baghdad menyadari ketidaknyamanan Washington dengan situasinya, tetapi menambahkan bahwa ancaman untuk mengisolasi Irak akan berdampak langsung terhadap ekonominya, yang sebagian besar simpanan luar negerinya disimpan di Amerika Serikat. (ARN)
