Rusia, ARRAHMAHNEWS.COM – Juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia Maria Zakharova baru-baru ini mengatakan bahwa aliansi militer trilateral baru Australia-Inggris-AS (AUKUS) melawan China hanyalah “Kejutan telak” bagi apa yang disebut sekutu-sekutu Amerika, dan bukan bagi pihak lain. Menurut TASS, kata-kata Zakharova tepatnya adalah sebagai berikut:
“Itu benar-benar kejutan dan guncangan bagi NATO. Itu benar-benar kejutan (justru) bukan untuk mereka yang AS, Australia dan Inggris sebut sebagai lawan mereka dan yang mereka lawan, tetapi untuk sekutu mereka serta blok militer dan politik yang AS dan Inggris adalah bagian darinya”.
BACA JUGA:
- Dibanding India, Mengapa AS Pilih Australia Jadi Mitra Utama Anti China?
- 4 Negara Aliansi Anti-China Kumpul di Tokyo
Ini bukan hanya “trolling” seperti yang mungkin diklaim oleh beberapa yang sinis, tetapi merupakan refleksi objektif dari sebuah kenyataan. Prancis terkejut karena telah “ditusuk dari belakang” seperti yang dikatakan Menteri Luar Negerinya.
Sekutu Paris di NATO, AS & Inggris, telah mencuri kesepakatan kapal selam senilai 90 miliar dolar dengan Australia, yang oleh media negara Eropa Barat itu digambarkan sebagai “Kontrak Abad Ini”.
Lebih jauh lagi, Prancis sangat tersinggung oleh fakta bahwa seluruh proses ini dilakukan secara rahasia. Bahkan saat G7 musim panas ini yang diikuti oleh Presiden Macron bersama para pemimpin Amerika dan Inggris di mana dua yang terakhir dilaporkan membahas kesepakatan ini. Dari perspektif Paris, tindakan ketiga negara itu tidak dapat diterima bagi “sesama sekutu”.
India dan Jepang, yang bekerjasama dengan Amerika dan Australia di Quad, juga sama terkejutnya karena telah dikeluarkan dari blok berbagi teknologi militer anti-China ini, meskipun respons mereka jauh lebih terkendali daripada Prancis. Ini karena mereka tidak kehilangan puluhan miliaran dolar karenanya. Tapi tetap saja, bahkan mereka dibiarkan menggaruk-garuk kepala dan bertanya-tanya mengapa mereka tidak diundang untuk bergabung.
Oleh karena itu, Zakharova menilai situasi strategis ini dengan akurat. Sekutu Amerika sendirilah yang menganggap AUKUS sebagai “kejutan telak”, bukan Rusia atau China. Dua yang terakhir sudah memperkirakan apa jadinya ketika berurusan mengenai Amerika. Dan bagaimana Hegemoni unipolar yang memudar itu akan selalu mengutamakan kepentingannya dengan mengorbankan pihak lain, termasuk sekutu-sekutunya sendiri.
BACA JUGA:
- Panglima AD Iran: Kami Memantau Aktivitas Zionis di Azerbaijan
- Israel-Bahrain Kerjasama Hadapi Serangan Drone Iran
Pengalaman mereka yang sangat mirip selama beberapa dekade telah mengajari mereka bahwa AS tidak pernah bisa dipercaya. Bagaimanapun, mereka mengupayakan penanganan meski para pemimpin Rusia dan China berharap memiliki hubungan pragmatis dengan Amerika dengan syarat rasa hormat yang sama, yang oleh Washington tidak pernah mau diberikan.
Sebaliknya, AS berusaha untuk memperlakukan keduanya seperti memperlakukan “sekutunya”, yaitu dengan mencoba yang terbaik untuk mendominasi mereka dan memaksa kepemimpinan mereka untuk melakukan konsesi yang tidak pernah berakhir guna keuntungan kepentingan pribadi Amerika.
Hal ini benar-benar tidak dapat diterima untuk Rusia dan China, yang tidak seperti sekutu-sekutu AS, menghargai kedaulatan mereka dan karena itu memutuskan untuk melawan penindasan ini.
Tidak mengherankan bagi Rusia dan China untuk melihat AS begitu berani menikam Prancis, sementara secara bersamaan mengecewakan India dan Jepang. Tidak menghormati sekutu-sekutunya bukanlah pengecualian, ini adalah aturan kebijakan luar negeri Amerika. Rusia dan China mengetahui dengan persis hal ini setelah mereka diperlakukan dengan sangat buruk oleh AS bahkan selama periode ketika mereka sedang dalam hubungan baik dengannya.
Sekutu-sekutu Amerika juga kini mempelajari pelajaran ini dengan cara yang sulit, bahkan lebih sulit daripada yang dialami Rusia dan China. Keduanya selalu berhati-hati untuk bekerja sama dengan AS bahkan selama apa yang disebut “waktu terbaik” karena tidak pernah ada kebulatan suara dalam birokrasi militer, intelijen, dan diplomatik permanen (deep state) mereka tentang hal ini.
Secara khusus, ini adalah cabang militer dan terutama cabang intelijen dari struktur bayangan itu. China relatif lebih buram daripada Rusia sehingga sulit untuk mengidentifikasi dengan tepat siapa yang awalnya bertanggung jawab untuk ini, tetapi pahlawan di pihak Rusia adalah mantan kepala intelijen Yevgeny Primakov, yang merupakan otak di balik konsep Rusia-India-China (RIC), dan Vladimir putin.
Meskipun sekutu AS juga memiliki aparat militer dan intelijen mereka sendiri, namun ini tidak begitu berpengaruh dalam pembuatan kebijakan seperti di Rusia dan China karena perbedaan dalam model pemerintahan mereka. Kekuatan patriotik dari negara manapun umumnya cenderung terkonsentrasi di dua cabang tersebut, namun mereka lebih sulit membentuk kebijakan dalam apa yang disebut sistem “demokrasi” daripada di sistem lain.
BACA JUGA:
- Presiden Iran ke PBB: Hegemoni Amerika Gagal Total
- China, Iran Ngamuk Atas Kebijakan Unilateral AS Ancam Stabilitas Timur Tengah dan Dunia
Dari tiga “sekutu” AS yang dikejutkan oleh AUKUS (Prancis, India, dan Jepang), India adalah yang memiliki posisi paling lumayan untuk secara fleksibel beradaptasi dengan perkembangan tak terduga ini.
Ini dikarenakan meski India mengklaim “demokrasi”, tapi mereka jauh dari sistem demokrasi Barat. Dan sebenarnya mewujudkan kecenderungan sentralisasi tertentu, yang lebih sering dikaitkan dengan model Rusia dan China.
Dalam praktiknya, ini berarti bahwa cabang militer dan intelijennya memberikan pengaruh yang relatif lebih besar terhadap pembuatan kebijakan daripada di Prancis dan Jepang. Ini tidak berarti bahwa India dengan sendirinya akan secara otomatis memandang AS dengan curiga setelah AUKUS. Ini hanya berarti bahwa India memiliki peluang terbesar dari ketiga negara tersebut untuk berperilaku agak lebih mandiri.
Bagaimanapun, India sudah menghadapi ancaman sanksi dari Washington atas komitmen setianya terhadap kesepakatan pertahanan udara S-400 dengan Moskow. India juga marah setelah Angkatan Laut AS melanggar Zona Ekonomi Eksklusif awal tahun ini saat melakukan apa yang disebut “operasi kebebasan navigasi” di wilayah itu. Pasukan militer dan intelijen negara itu sekarang lebih tahu soal bagaimana harus melakukan sesuatu daripada mempercayai AS.
Karenanya, meski India juga memiliki minat untuk bekerjasama lebih erat dengan AS karena keinginan bersama negara mereka untuk menahan China, tetapi India mungkin sedikit lebih enggan untuk bersikap “habis-habisan” seperti sebelumnya. Mereka menjadi lebih mencurigai adanya kesepakatan rahasia AS sejak AUKUS, yang tentu saja masih harus dilihat dan tidak dapat ditentukan secara pasti dari sumber-sumber publik. (ARN)
Penulis: Andrew Korybko adalah seorang analis politik, jurnalis dan kontributor tetap untuk beberapa jurnal online, serta anggota dewan ahli untuk Institut Studi Strategis dan Prediksi di Universitas Persahabatan Rakyat Rusia. Ia telah menerbitkan berbagai karya di bidang Perang Hibrida, termasuk “Perang Hibrida: Pendekatan Adaptif Tidak Langsung untuk Perubahan Rezim” dan “Hukum Perang Hibrida: Belahan Bumi Timur”
IKUTI TELEGRAM ARRAHMAHNEWS
