arrahmahnews

Kirim Surat Tak Sopan ke Jokowi, Dina Sulaeman “Semprot” Dubes Ukraina

Kirim Surat Tak Sopan ke Jokowi, Dina Sulaeman "Semprot" Dubes Ukraina

Dina Sulaeman “Semprot” Dubes Ukraina untuk Indonesia, karena kirim surat yang tidak sopan kepada Presiden Jokowi, dan jelas-jelas melanggar etika diplomasi

Jakarta, ARRAHMAHNEWS.COMDina Sulaeman, seorang pengamat politik Internasional khususnya masalah Timur Tengah “Semprot” Dubes Ukraina untuk Indonesia, karena kirim surat yang tidak sopan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi), dan jelas-jelas melanggar etika diplomasi, diunggah di akun Fanpage Facebooknya.

Mister, negara Anda pada tahun 2003 BERGABUNG dengan AS untuk MENYERANG kaum Muslim di Irak! Selama 5 tahun perang, Ukraina telah mengirim 5000 pasukan tempur (kontingen terbesar ketiga dalam koalisi AS). Ketika tuduhan terhadap Irak (memiliki senjata pembunuh massal) terbukti palsu, apa negara Anda minta maaf atas darah kaum Muslim yang tertumpah di Irak?

Menurut Dina, meskipun saya menyatakan ketidaksetujuan kepada Kemenlu karena memilih mendukung resolusi anti-Rusia dalam Sidang Umum PBB (saya bilang: abstain lebih tepat) saya tetap akan membela pemerintah kalau ada negara lain bersikap tidak sopan pada pemerintah. Karena pemerintah adalah “orang tua” dari bangsa ini. Kita berhak mengkritik ortu, tapi dengan alasan yang benar dan cara yang sopan. Tapi kalau ortu kita dihina orang lain, pastilah kita bela. Ya kan?.

BACA JUGA:

Jadi begini ceritanya, ternyata, Dubes Ukraina di Jakarta mengirim surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Surat itu, menurut saya, telah melanggar ETIKA DIPLOMASI. Kalaupun mau menulis surat, kirim saja lewat jalur diplomatik, bukan surat terbuka.

Kirim Surat Tak Sopan ke Jokowi, Dina Sulaeman "Semprot" Dubes Ukraina

Foto Dina Sulaeman dan Dubes Ukraina untuk Indonesia

Selain itu, dalam surat ini terlihat sekali nada “White supremacist”-nya, yaitu nada “Merasa lebih tinggi” daripada kulit berwarna, merasa berhak mengajari seorang presiden di sebuah negara sebesar Indonesia.

Berikut ini saya komentari beberapa bagian.

Pertama, Dubes Ukraina menyebut Presiden Putin sebagai “Diktator” dan “Si pembunuh.”  Lalu, setelah mencaci-maki Putin, Dubes Ukraina mengajari Presiden Indonesia, “Bukankah itu alasan yang tepat bagi Indonesia untuk angkat bicara? Untuk berani berdiri menentang kejahatan perang serta kejahatan terhadap kemanusiaan, dan mengutuk keras Rusia dan Putin?”.

Komentar: Mister, kalimat Anda ini MENDIKTE presiden kami. Ini bukan sikap yang sopan dari seorang Dubes. Kemenlu kami sudah punya banyak staf ahli yang kompeten untuk menganalisis situasi.

Kedua, Dubes Ukraina menggunakan sentimen agama.

“Saya sangat berharap kita memahami bahwa saudara-saudari Muslim, mungkin saat ini juga, mati terbunuh oleh serangan Rusia? Dan bahwa para pejuang Muslim Ukraina dengan berani bergabung dengan barisan Tentara Ukraina untuk membela Ukraina?”.

Mister, negara Anda pada tahun 2003 BERGABUNG dengan AS untuk MENYERANG kaum Muslim di Irak! Selama 5 tahun perang, Ukraina telah mengirim 5000 pasukan tempur (kontingen terbesar ketiga dalam koalisi AS). Ketika tuduhan terhadap Irak (memiliki senjata pembunuh massal) terbukti palsu, apa negara Anda minta maaf atas darah kaum Muslim yang tertumpah di Irak?.

BACA JUGA:

Ketiga, Dubes Ukraina mengajari soal dampak ekonomi.

“Saya sangat berharap agar dipahami bahwa sanksi internasional yang dikenakan kepada Rusia sebagai penjajah akan turut mempengaruhi perekonomian Indonesia? Apakah Yang Mulia siap untuk tetap diam sementara orang Indonesia menderita pula?”.

Mister, orang Indonesia itu pintar-pintar, kami punya ekonom-ekonom kelas dunia. Tidak perlu mengajari kami soal dampak ekonomi dari perang ini.

Keempat, Dubes Ukraina mengajari soal separatisme.

“Saya sangat berharap Indonesia mengingat apa itu separatisme. Karena inilah alasan utama Putin menyerang”.

Mister, pemerintah Indonesia tidak pernah melakukan genosida pada rakyatnya sendiri, kepada suku minoritas. Sebaliknya, lihatlah apa yang terjadi di Ukraina: terjadi genosida pada etnis minoritas. Anda mau menutupi apa yang terjadi di Donbass sejak 2014 dan sikap-sikap anti-minoritas yang merebak di negara Anda yang disertai kekerasan? Media mainstream pun memberitakannya, tidak bisa ditutupi lagi.

Kelima, Dubes Ukraina mengajari soal “Rasa malu”.

Setelah perang ini berakhir, akan datang rasa malu. Rasa malu bagi negara-negara yang mendukung serangan Rusia atau tetap bungkam. Apakah Indonesia siap merasa malu?.

Mister, apa di Ukraina tidak ada pelajaran cara menulis surat untuk para diplomat? Sungguh surat Anda tidak sopan sekali pada Presiden kami!.

Keenam, Dubes Ukraina mengutip Alquran.

“Katakanlah bahwa yang benar itu benar dan apa yang salah itu salah, seperti yang tertulis dalam firman Allah dalam Alquran”.

Mister, tahukah Anda, Alquran juga mengecam kaum Yahudi yang melakukan kejahatan (tapi memuji kaum Yahudi yang benar-benar beriman pada Tuhan)?.

Presiden Anda telah menyeru warga Yahudi sedunia, “Saya sekarang menyerukan kepada semua orang Yahudi di dunia… penting bagi jutaan orang Yahudi di seluruh dunia untuk tidak tinggal diam…”.  Lalu, dia memuji orang-orang Yahudi yang membungkus diri dengan bendera Ukraina dan berdoa di Tembok Barat, di Yerusalem timur.

BACA JUGA:

Apa Anda, wahai Dubes Ukraina, dan Presiden Anda, tidak tahu bahwa Yerusalem timur adalah kawasan pendudukan (occupied territory) dan di sana setiap hari terjadi kekerasan Israel terhadap warga Palestina? Penjajahan [seperti yang dilakukan Israel], jelas dikecam Alquran, dan juga ditolak oleh bangsa Indonesia, melalui UUD 1945.

Jadi, akhir kata, menurut saya, pemerintahan yang sudah mendukung kejahatan kemanusiaan (di Irak, di Palestina), dan melakukan kekerasan terhadap etnis minoritas, tidak berhak mengajari pemerintah Indonesia soal bagaimana kami harus bersikap.

Kulit kami memang berwarna, tapi kami jauh lebih punya nurani dan akal sehat. (ARN)

Comments
To Top
%d