Jakarta, ARRAHMAHNEWS.COM – Islah Bahrawi dalam akun fanpage Facebooknya menjelaskan soal politik identitas adalah sebuah kejahatan ambisi.
Menurut Islah Bahrawi, dalam bahasa yang sangat sarkastik, politik identitas adalah “kejahatan ambisi”. Darah kekuasaan mengalir dalam jubah kesalehan dengan tempias ludah yang membius banyak orang – demi menyulap tumpukan sampah menjadi manusia sublim.
BACA JUGA:
- Islah Bahrawi: Politisasi Agama Pemecah Keutuhan bangsa
- Islah Bahrawi: Politisasi Agama “Mesin Perang” Politik Para Politisi dan Tokoh Agama
Politik identitas dan keculasannya adalah manusia yang tampil setengah dewa, setengahnya lagi kombinasi apatisme dan brutalitas. Mereka memperkosa agama dan identitas lainnya agar hasutan jahatnya terlihat bermartabat.
Pemilu 2024 bisa saja menjadi kerucut dari semua perilaku konyol politik identitas yang selama ini gemar meludah karena mengaku membawa emas di dalam mulutnya. Mereka ingin terbang tapi tak pernah belajar berdiri – mereka adalah orang-orang yang ingin belajar terbang sambil melayang di udara.
Ada juga yang membuat ruang bagi rakyat untuk saling memaki, memanfaatkan ayat-ayat keilahian demi mencetak ratusan pengkhianat bangsa. Bahkan yang lebih memuakkan adalah menjadikan fatwa sebagai pelumas kebencian.
Semua dilakukan demi penipuan massal dengan mengimitasi popularitas dan kesucian artifisial. Mereka merupakan “Malum in re publica dividunt homines”, kata Marcus Aurelius – setan besar dalam politik adalah para pemecah-belah.
Bangsa kita semakin sedikit menyisakan orang-orang yang mau berfikir tentang masa depan karena hampir semua hanya berfikir tentang hari ini. Bahkan penuh dengan orang yang hanya ingin agar manusia malas berpikir.
BACA JUGA:
Nalar berfikir tentang kearifan agama dan budaya telah dimundurkan jauh ke belakang, disempitkan menjadi seukuran pantat demi kenyamanan kursi yang didudukinya.
“Politisi yang ideal”, kata Lucius Seneca, “seharusnya menjadi penguasa yang menikmati keindahan pulau bukan karena karamnya kapal”.
Begitulah bangsa ini sekarang. Umpatan dilempar, berterbangan memenuhi frekuensi keseharian yang menyesakkan.
Keributan diciptakan dan kelak para politisi akan mengakhirinya dalam sulang kesepakatan. Mari kita saksikan semua ini sebelum dan sesudah Pemilu 2024 nanti. Kita akan tahu, bahwa politisasi agama selalu berakhir dalam paradoks yang sama; menciptakan kebencian atas nama cinta dan merawat cinta atas nama kebencian. (ARN)
