Jakarta, ARRAHMAHNEWS.COM – Mendadak Tempo menurunkan berita menghebohkan, kali ini tentang lumbung donasi umat dalam bendera Aksi Cepat Tanggap (ACT). Tempo sengaja memisahkan ACT menjadi 2 kubu, Ibnu Khajar sebagai Presiden ACT yang sedang berkuasa dan Ahyudin mantan Presiden ACT sebelumnya.
Persoalannya diawali tuduhan Tempo atas kelakuan besarnya gaji petinggi ACT Ibnu Khajar yang memancing sentimen sosial. Ahyudin sebagai mantan Presiden membenarkan dan cenderung meng-Amini kompensasi itu bagian dari manajemen internal.
BACA JUGA:
Sentimen umat ACT semakin berkembang dengan dibukanya fakta penyelewengan aliran donasi yang sudah terjadi sebelumnya. Publik mempertanyakan dugaan kepentingan pribadi petinggi ACT menjadi modus penilepan dana usaha pengepul donasi. Dalam waktu singkat ACT dikeroyok masyarakat yang gerah persoalan dana masyarakat yang dikelola dengan arogan.
DPR, Polri, BNPT hingga PPATK ikut masuk melegitimasi kegaduhan. Data aliran dana dibuka, dugaan mendukung pendanaan kelompok teroris bukan lagi menjadi dugaan. Kemensos sebagai institusi pemberi legalitas operasional ACT tanpa waktu lama mencabut izinnya.
Menyeruak di tengah kegaduhan, Ahyudin melaunching lembaga filantropi baru berjudul Global Moeslem Charity (GMC) sekaligus memproklamirkan sebagai Presidennya. Markas Filantropi di Menara 165 ibarat sedang bermain catur, mengorbankan bidak dan menterinya untuk menyelamatkan Raja. Permainan harus diakhiri dengan remis lalu berganti papan catur baru.
ACT yang sudah amburadul dan puas dikeruk potensi ekonominya, sudah waktunya berganti baju. Lalu meminjam tangan Tempo untuk menggali kuburan untuk ACT. Bagi Tempo mengeruk 2 keuntungan omset dan sentimen positif dalam waktu bersamaan tidak ada alasan untuk menolak.
BACA JUGA:
Bagi yang paham skenario konspirasi seharusnya tidak buru-buru menyematkan Tempo menjadi Pahlawan. Menyatukan puzzle-puzzle yang sengaja dibuat berserakan butuh kepekaan. Pertanyaan selanjutnya, apakah setelah ACT dimatikan, bisnis donasi ikut terkubur atau menurun omsetnya. Secara matematika tidak, karena hanya mengganti daster lusuh yang sudah compang camping dengan yang baru. Otak dan jama’ahnya tetap sama.
Entah bagaimana nasib hewan qurban hasil swakelola pembeliannya oleh ACT yang kini berstatus tanpa izin. Atau milyaran saldo donasi yang masih menggendap di rekening belum sempat tersalur. Kalau pemerintah hanya membekukan mesti punya dasar hukum yang kuat. Tidak ada yang salah dengan proses pengumpulan dananya dari jutaan umat, ketika penyalurannya salah apakah dana harus dikembalikan ke umat?.
Merekapun sudah siap dengan rencana pengusutan BNPT atas indikasi penyaluran dana ke rekening kelompok teroris. Alibi salah alamat setidaknya bisa menyelamatkan mereka. Pasal pidana pendanaan teroris pada akhirnya menyasar ke pion-pion. Sementara para menteri, bidak dan rajanya sedang sibuk menyusun strategi jualan empati kemanusiaan baru.
Menjelang suksesi 2024, segala cara ditempuh untuk menimbun logistik dana sebesar mungkin. Jika tidak segera dicegah, suatu saat Indonesia, Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika terbeli juga oleh mereka, lengkap dengan Presidennya. (ARN)
Sumber: Dahono Prasetyo
