arrahmahnews

Intoleransi Meningkat di Yogyakarta, Dimana Peran Kerja Polresta?

Arrahmahnews.com, Jakarta – Gambaran Yogyakarta sebagai kota yang plural, berbudaya, dan sarat kearifan lokal tercoreng dalam dua tahun terakhir. Sebut saja, pada 2018 terjadi pemotongan salib milik Albertus Slamet Sugiardi di Kelurahan Purbayan, Kotagede, Yogyakarta.

Belum lagi penolakan Sedekah Laut, penolakan warga non-muslim untuk tinggal, penolakan bakti sosial gereja, dan terakhir pembubaran upacara peringatan wafatnya Ki Ageng Mangir oleh umat Hindu.

“Dakwah yang isinya mengolok-olok, mencibir, menyalahkan, mengkafirkan, membid’ah-bid’ahkan sebuah amalan atau keyakinan yang dipedomani oleh masyarakat dan merupakan nilai-nilai yang dijunjung tinggi, jangan sampai terjadi. Ini berbahaya, apalagi sampai merongrong NKRI,” ujar Cak Ibin yang juga dosen di Fakultas Tarbiyah, Universitas Islam Sunan Ampel Surabaya itu

Kita semua pun bertanya-tanya, dimana peran aparat keamanan, terutama Polresta Yogyakarta, yang seharusnya mengayomi dan melindungi segenap elemen masyarakatnya.

Baca: Cak Nun: Takfirisme Ancaman Kedaulatan NKRI

Namun teka-teki itu sedikit terjawab kemarin (16/11), saat Pucuk Pimpinan Polresta Yogyakarta, mengakui bahwa ustadz panutannya adalah Syafiq Reza Basalamah yang berideologi Salafi-Wahabi.

Salafi atau yang lebih dikenal dengan Wahabi adalah salah satu sekte dalam Islam yang ajaran utamanya adalah purifikasi, dengan membid’ahkan, menyesatkan sampai dengan mengkafirkan kelompok lain.

Salafi mempunyai leveling evolusi, ada yang intoleran, menempuh jalur dakwah, ada yang radikal/takfiri yang menempuh jalur kekerasan dan puncaknya yang jihadi menempuh jalur terorisme.

Jadi tidak bingung kan sekarang, mengapa Polresta terkesan tidak serius menangani intoleransi yang ada di Yogyakarta? Yaitu karena ideologi Wahabi yang dipuja oleh pucuk pimpinan Polrestanya merestui sikap intoleran tersebut.

Semua tentu tidak mengharap intoleransi demi intoleransi ini terus terjadi, dan berharap Yogyakarta kembali menjadi wilayah yang penuh keragaman dan tidak masuk zona intoleran. Semoga pemerintah peduli.

Seperti dilansir beberapa media online dalam beberapa minggu terakhir, kita saksikan penolakan keras dan tegas yang dilakukan para aktivis, tokoh dan ulama Aswaja di beberapa kota besar Tanah Air terhadap gencarnya misi dakwah terselubung yang dilancarkan para dai radikal Wahabi hingga ke pelosok-pelosok desa.

Baca: Dosa-dosa Khalid Basalamah Hingga Pengajiannya Layak Dibubarkan

Semula, tak banyak yang sadar bahwa acara safari dakwah para dai Wahabi itu membahayakan keutuhan dan kerukunan umat, terutama kalangan Nahdliyin di akar rumput. Hal ini karena strategi dakwah itu mereka sodorkan melalui kemasan paket acara tabligh akbar yang sepintas seolah murni dakwah untuk mengajak pada kebaikan dan karenanya tampak biasa saja dan seolah tak mencurigakan.

Belakangan, dimotori oleh GP Ansor dan Banser yang melakukan pemantauan di lapangan, ditemukan fakta sebaliknya. Tabligh Akbar itu ternyata dijadikan oleh para dai radikal wahabi tersebut sebagai sarana atau ajang pelecehan dan penghujatan terhadap beberapa amaliah Aswaja yang selama ini telah menjadi tradisi luhur yang tetap dijaga kelestarian dan keberlangsungannya di tengah kaum Muslimin NU.

Di antara dai radikal Wahabi yang serentak ditolak kedatangannya untuk mengisi acara tabligh akbar di beberapa wilayah, setidaknya ada tiga nama yang santer dan kerap disebut. Mereka adalah Syafiq Riza Basalamah, Khalid Basalamah dan Firanda Andirja.

Seperti diberitakan, rencana kedatangan Syafiq Riza Basalamah ke Situbondo ditolak keras oleh Gerakan Pemuda Ansor Situbondo. Alasannya, Ansor menilai Syafiq sebagai pendakwah yang bermasalah. Karena itu aktivis Ansor pun mendatangi Polres Situbondo untuk menyampaikan penolakannya terhadap Syafiq yang dinilai mudah mengkafirkan dan sering menyerang akidah, amaliyah dan tradisi Nahdlatul Ulama.

Baca: Tagar #TelkomProIntoleran Trending Topic, Indihome Jual Ceramah Ustadz Wahabi

Penolakan itu kata Sekretaris GP Ansor Situbondo, Johantono, tidak serta-merta dilakukan tanpa alasan kuat, melainkan sudah berdasarkan kajian dan pertimbangan yang matang. Tak terkecuali karena masyarakat juga mengaku resah terkait rencana kedatangan dai radikal Wahabi tersebut ke wilayah mereka.

“Masyarakat di Situbondo sudah sangat kondusif, kita jaga ini. Jadi jangan sampai ada yang aneh-aneh. Urungkan saja niat mendatangkan dai bermasalah itu, sebelum penolakan dari masyarakat semakin luas,” tegas Johantono. “Kami menolak kedatangan Syafiq ke Situbondo. Jangankan sampai mengisi pengajian, menginjakkan kakinya di bumi Situbondo saja kami tolak, sebab dia itu bermasalah.”

Sebelumnya diagendakan Syafiq Riza Basalamah akan mengisi pengajian di Masjid Baiturrahim, Desa Paoan Kecamatan Panarukan Situbondo. Namun Ansor menilai bahwa profil dan dakwah yang disampaikan oleh Syafiq cenderung kontroversial dan mendramatisir. Salah satu pendapatnya adalah bahwa shalawat dan dzikiran yang merupakan tradisi NU, justru dicap Syafiq sebagai nyanyian bersama yang dapat mengganggu ketenangan orang. Belum lagi sikap Syafiq yang gampang memvonis kafir sesama Muslim yang berbeda pendapat, akidah, dan keyakinan dengan kelompok mereka. Itulah kenapa GP Ansor bersikeras menolak kedatangan dai radikal Wahabi itu ke Situbondo.

Tak hanya di Situbondo, ternyata kehadiran Syafiq juga ditolak ribuan warga Nahdliyin di Pamekasan, Madura. Ribuan umat Islam di Pamekasan, Madura itu pun serentak turun gunung menolak kedatangan Syafiq Riza Basalamah dengan alasan yang sama, yakni karena isi ceramah Syafiq yang sangat provokatif dan merongrong NKRI.

Serupa sikap masyarakat Aswaja atau NU di Situbondo dan Pamekasan yang menolak kedatangan Syafiq Riza Basalamah, ternyata kedatangan Khalid Basalamah juga tak dikehendaki oleh masyarakat Gresik. Pentolan Wahabi yang seperti halnya Syafiq, ceramah-ceramahnya sering dimuat di media-media wahabi radikal seperti YufidTV, Radio Rodja, dan WesalTV itu juga dipersoalkan oleh GP Ansor Kabupaten Gresik karena isi ceramahnya diketahui sarat nada kebencian dan memecah-belah kerukunan umat.

Baca: Artikel: Saudi dan Ekspansi Wahabisme ke Dunia Islam

Terakhir diketahui, acara Kajian Akbar yang akan digelar Khalid di Masjid Darut Tauhid PT Semen Gresik itu, berdasarkan keterangan dari pihak Polres, ternyata juga tidak mengantongi izin penyelenggaraan acara.

Tak hanya di Gresik, penolakan serupa terhadap Khalid Basalamah, juga dilakukan GP Ansor dan Banser Kabupaten Lamongan. Mereka bersikeras menolak kedatangan Khalid Basalamah yang rencananya akan memberikan ceramah di Lamongan. Alasannya, isi ceramah Khalid dinilai sangat berbahaya, provokatif, mengadu domba umat, bahkan merongrong NKRI. Jadi bukan saja merusak ukhuwah umat beragama, tetapi juga menjadi ancaman serius bagi kelangsungan NKRI.

Menyikapi maraknya aksi penolakan kalangan Nahdliyin terhadap aksi dakwah provokatif para dai radikal Wahabi tersebut, Dr Achmad Muhibbin Zuhri, Ketua Nahdlatul Ulama Kota Surabaya menyatakan bahwa kondisi ini tak boleh dibiarkan. Artinya, pemerintah harus segera hadir.

Menurut Cak Ibin, panggilan akrabnya, fenomena penolakan dai radikal sudah lama timbul di masyarakat, bahkan termasuk di Surabaya. Oleh karena itu negara perlu mengantisipasi potensi disharmoni dan konflik sosial akibat penyebaran paham ekstrem Wahabi tersebut, yang kondisinya saat ini menurutnya sudah sangat mengkhawatirkan bahkan bisa berujung konflik horisontal. Agar hal ini jangan sampai terjadi, aparat sudah seharusnya melakukan tindakan preventif dengan menghentikan kegiatan dakwah atau bentuk propaganda lain dalam bentuk apapun yang isinya menebar ujaran kebencian (hatespeech). Apalagi saat ini nota kesepamahan (MoU) tentang tindakan menebar kebencian ini, sudah diteken antara pihak NU dan Polri.

“Dakwah yang isinya mengolok-olok, mencibir, menyalahkan, mengkafirkan, membid’ah-bid’ahkan sebuah amalan atau keyakinan yang dipedomani oleh masyarakat dan merupakan nilai-nilai yang dijunjung tinggi, jangan sampai terjadi. Ini berbahaya, apalagi sampai merongrong NKRI,” ujar Cak Ibin yang juga dosen di Fakultas Tarbiyah, Universitas Islam Sunan Ampel Surabaya itu.

Lebih lanjut ia mengatakan penyebaran paham ekstrem dan radikal, meskipun berdalih agama, tidak dapat dibenarkan apabila dapat mengganggu ketertiban umum, apalagi jika sudah mengancam Keamanan Nasional. (ARN)

Comments
To Top

Eksplorasi konten lain dari Arrahmahnews

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca

Eksplorasi konten lain dari Arrahmahnews

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca