arrahmahnews

Islam Radikal Bukan Ajaran Rasulullah Saw

Ternyata-Aku-Orang-NU

Fenomena maraknya gerakan-gerakan radikalisme agama belakangan ini terus mendapatkan sorotan dari berbagai pihak, salah satunya dari Nahdlatul Ulama (NU). Organisasi keagamaan terbesar di Indonesia ini sangat keberatan dengan pola-pola kekerasan yang digunakan oleh kelompok-kelompok Islam radikal.

Menurut K.H. Sholahur Rabbani, sebelum menyikapi secara lebih jauh terkait fenomena gerakan islam radikal, ada dua hal yang perlu ditekankan terlebih dahulu terkait dengan jati diri NU yakni: Pertama NU sebagai organisasi keagamaan yang bermabda’ ahlusunnah wal jamaah. Dimana dalam mabda’ ahlusunnah, NU bekiblat dari sisi akidah kepada imam Al-Asy’ari dan Al-Maturidi. Kedua, dari sisi hokum mengikuti mazhab yang empat, dalam konteks NU terutama mazhab imam syafi’I. Dari dua pijakan tersebutlah kemudian NU menyatakan diri sebagai organisasi keagamaan yang berpahamkan ahlusunnah.

Tatkala Aswaja ini dijadikan oleh NU maka menjadi konsukuensi untuk mengikuti sunnah Nabi termasuk dalam melihat perbedaan-perbedaan. Hal ini dikarenakan Rasulullah telah memberikan sinyal 1400 tahun yang lalu bahwa perbedaan itu pasti muncul.

Sebagaimana terungkap dalam sebuah hadits yang diriwayatkan imam Abu Daud “Barangsiapa yang hidup setelahku, kamu akan melihat perbedaan-perbedaan, maka kamu wajib mengikuti sunnahku dan khulafa, gigit itu dengan gigi taring”.

Jadi ketika benar-benar kita dihadapkan pada persoalan aqidah berbeda, agama berbeda, maka rasul memberikan solusi segera kembali ke sunnahku, dan ikuti para sahabat.

JIka kemudian pertanyaan terkait dengan maraknya gerakan radikalisme, maka radikalisme agama ini tidak sesuai dengan apa yang diajarkan Rasulullah Saw. Sebab dalam islam yang diajarkan oleh Rasulullah ada sebuah pegangan, “bahwa islam itu tegak dengan penyampaian, nasehat, tausyiah, bimbingan, dan akhlak, bukan dengan kekerasan dan bukan pula dengan darah”.

Ini bisa dibuktikan dari bagaimana sikap Nabi Saw kala di Madinah saat menyikapi keberadaan kaum kafir Quraisy, orang-orang Yahudi, dan Nasrani Najran bahkan para tawanan.

Selanjutnya, berkaitan dengan sikap NU terhadap gerakan islam radikal ini, maka dengan berani dapat disampaikan bahwa NU menolak kehadiran gerakan ISLAM RADIKAL, karena bertolak belakang dengan nilai-nilai yang ada di NU dan Islam itu sendiri.

Sejarah masuknya islam ke nusantara pun membuktikan bahwa Islam masuk ke nusantara dengan damai bukan dengan kekerasan. NU sendiri dalam mengembangkan ajaran Islam tanpa kekerasan dan tekanan kepada pihak lain. Makanya frame politik yang sering dipakai NU disebut sebagai politik kebangsaan yang terintegrasi dalam kesatuan dan persatuan untuk mencapai keadilan, kemakmuran dhahiran wa bathinan.

Pendekatan kultural terhadap warga nahdliyin juga perlu diperhatikan dan ditingkatkan, karena tidak jarang di kalangan NU terlibat dengan pola pikir dan gerakan radikalisme. Tak kalah srategisnya, pelibatan generasi muda dalam penguatan-penguatan akidah Ahlusunnah. Sebab kecenderungan pola yang ada di kelompok islam radikal telah banyak menjadikan generasi muda sebagai sasaran dan target prioritas gerakannya, baik di kampus-kampus maupun dengan iming-iming sekolah di luar negri seperti pola perekrutan anggota ISIS dengan modus biasiswa ke Turke.

Terbukti banyak warga NU yang orang tuanya NU tetapi putranya mengikuti salafi wahabi atau gerakan-gerakan islam radikal. Karenanya, pola pembinaan dan pengkaderan dengan sasaran prioritas generasi muda ini mutlak dibutuhkan. Dan kiranya pola bottom up ini sangat efektif untuk melahirkan sbuah inisiasi yang konstruktif bagi kemajuan NU. (ARN)

 

 

 

 

 

 

 

 

Comments
To Top

Eksplorasi konten lain dari Arrahmahnews

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca

Eksplorasi konten lain dari Arrahmahnews

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca