arrahmahnews

Tragedi Mina, Apakah Mengkritik Arab Saudi Berarti Mengkritik Islam?

JAKARTA, Arrahmahnews.com – Beberapa kawan, baik yang pernah terkoneksi secara langsung di dunia nyata maupun sekadar kenal di jagat internet, memiliki pemikiran yang ajaib dalam menyikapi tragedi di Mina, Arab Saudi. Keajaiban yang saya kira tidak terlalu berlebihan apabila dikategorikan sebagai “sesat pikir”.

Korban Tragedi Mina 2015

Apakah mereka ini termasuk ke dalam golongan orang yang dengan gegap gempita menuding penganut Syiah dari Iran sebagai penyebab tragedi? Tanpa ragu saya katakan tidak.

Syiah dan Sunni sudah terlanjur menyeruak sebagai friksi berabad, yang saking tajamnya barangkali baru akan terselesaikan apabila Allah dengan segenap daya kuasanya menurunkan rasul baru atau menyegerakan kiamat. Syiah selalu salah di mata Sunni, sebaliknya Sunni juga tidak pernah benar bagi Syiah. Maka dalam segala hal dan tiap kesempatan, besar maupun kecil sempit ataupun lapang, mereka akan saling menyalahkan dengan sengit. Yang satu mengafirkan yang lain, menyebut yang bertentangan paham sebagai calon penghuni neraka.

Saya memilih untuk tidak masuk ke ranah ini. Saya merasa tak memiliki kapasitas untuk menuding orang lain kafir. Benar atau tidaknya para jemaah haji asal Iran (yang tentu saja berpaham Syiah) yang menjadi penyebab tragedi, biarlah itu jadi urusan penyelidik yang ditunjuk Pemerintah Arab Saudi. Saya juga tak ingin menebak-nebak atau termakan isu yang dilontarkan media-media massa di kawasan Teluk, baik yang pro Iran maupun pro Arab Saudi.

Lalu pemikiran manakah yang ajaib itu? Ada dua: (1) Menggeneralisasikan Arab Saudi dan Islam; dan (2) Mencibir sikap pemerintah yang memberikan pandangan atas Tragedi Mina.

Sejumlah kalangan, entah berangkat dari pembacaan atas berita-berita yang dilansir media massa atau sekadar kesimpulan pribadi berdasarkan hitung-hitungan logika atau pengalaman, mengatakan bahwa pihak yang harus bertanggungjawab atas tragedi ini adalah Pemerintah Arab Saudi.

Mereka mengeritik bahwa Pemerintah Kerajaan Arab Saudi tidak cermat dalam perencanaan pelaksanaan ibadah haji dan lebih buruk lagi dalam mekanisme kerja Tragedi Mina bukan baru satu kali terjadi. Dari total 14 musibah besar yang pernah terjadi sepanjang pelaksanaan ibadah haji di era modern, sembilan di antaranya berkaitpaut dengan proses Lempar Jumrah di Mina. Peristiwa tahun ini merupakan yang terbesar kedua setelah Tragedi Mina 1990 yang menewaskan lebih dari 1500 orang. Menurut para pengeritik, jika tragedi atas sebab yang sama bisa berulang sampai sembilan kali, tentulah ada yang salah. Dan yang salah, bukanlah takdir.

Sebagian dari kelompok ini lalu mengembangkan kritik meraka ke arah lain. Misalnya proyek pemodernan Kota Mekkah, terutama di seputaran Masjidil Haram. Juga gaya hidup jetset pangeran-pangeran Saudi. Bahkan serangan militer Arab Saudi ke Yaman.

Sampai di sini mengemukalah keajaiban pemikiran itu. Kritik terhadap program kerja haji Pemerintah Kerajaan Arab Saudi ini disikapi sebagai kritik terhadap Islam. Suara-suara sumbang yang menyalahkan Arab Saudi dipandang sebagai bentuk kedengkian dan merupakan bagian dari grand scenario untuk menghancurkan Islam. Pelakunya, siapa lagi kalau bukan Syiah, yang dibantu oleh para kafir, yahudi, illuminati, dan freemason.

Ini belum seberapa. Ada pula yang seolah-olah tidak melihat kematian lebih dari 770 jemaah yang terjepit, terinjak-injak, dan tercekik kehabisan nafas saat saling desak di jalan menuju lokasi pelemparan jumrah, sebagai musibah, melainkan mukjizat.

Barangkali ada kekeliruan di sini. Mukjizat bukanlah satu kondisi yang biasa. Al-Quran memapar bahwa mukjizat hanya milik nabi dan rasul dan segala sesuatu yang berhubungan dengan manusia-manusia pilihan ini. Karena itu, barangkali yang dimaksudkan oleh orang-orang yang memilih kata ‘mukjizat’ untuk peristiwa kematian 770 jemaah ini adalah anugerah atau karomah atau katakanlah kemuliaan, lantaran mendapatkan Khusnul Khatimah atau mati yang baik di akhirnya.

Apakah benar demikian? Tanpa ragu sedikit pun saya juga akan mengatakan tidak. Sejak awal saya menyebut kematian para jemaah haji di Mina sebagai tragedi.

Benar bahwa meninggal di tanah suci saat sedang melaksanakan ibadah haji, jauh lebih mulia ketimbang meninggal saat sedang kongkalikong membahas cara mencaplok uang negara, misalnya. Meninggal di tanah suci, bagaimanapun, tetaplah mati yang baik. Sejumlah kerabat, termasuk seorang anggota keluarga inti saya, meninggal dan dikebumikan di Mekkah. Tatkala mendapatkan kabar kematian ini, tiga tahun lalu, saya ingat benar saat itu saya disergap perasaan sedih yang aneh. Sedih di satu sisi, bahagia di sisi lain. Beliau meninggal saat berhaji dan saya berkeyakinan ia akan mendapatkan tempat yang bagus di sisi Allah.

Akan tetapi perlu digarisbawahi, kematian korban-korban Tragedi Mina tidak serupa dengan kematian keluarga saya ini. Mereka bukan sakit, melainkan terjebak dalam situasi yang mencelakai. Situasi yang sesungguhnya bisa dihindari dengan perencanaan dan pelaksanaan mekanisme kerja yang lebih benar dan lebih rapi.

Tragedi di Mina sebelumnya sudah terjadi delapan kali dan masih juga terulang dengan level kekacauan yang lebih parah pula. Pertanyaannya, apakah tragedi-tragedi yang lalu tidak dijadikan pengalaman dan pembelajaran? Allah, saya kira, tidak akan menetapkan garis takdir yang sedemikian horror, menjadikan Mina kuburan massal karena tiap tahun ada saja jemaah haji yang mati di sana.

Tidak kalah ajaib adalah pemikiran yang mencibir sikap Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Presiden Joko Widodo, yang memberikan pendapatnya atas Tragedi Mina. Jokowi meminta Pemerintah Kerajaan Arab Saudi untuk memperbaiki mekanisme pelaksanaan ibadah haji di tahun-tahun mendatang. Belakangan mencuat rencana pengajuan nota protes.

Lalu muncullah pendapat-pendapat. Jokowi sebaiknya tidak perlu mencampuri urusan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi. Urus saja dolar yang kian semena-mena menindas rupiah. Urus asap yang tak juga surut kepekatannya. Urus saja Megawati Soekarnoputri dan Puan Maharani yang tiada jelas apa pekerjaannya.

Saya sepakat Jokowi harus mengendalikan keliaran dan kepongahan dolar, menyelesaikan asap akibat kebakaran hutan, serta mengurus Megawati dan Puan Maharani. Setidaknya membuat Megawati tidak lagi merasa sebagai Ibu Suri dan memperjelas job description Puan, atau kalau perlu mendepaknya dari kabinet. Saya sungguh-sungguh  sepakat, dan saya kira pun, terkecuali soal Mega dan Puan, barangkali, Jokowi sudah melakukannya.

Ada rencana dan ada upaya. Perkara dolar masih digdaya dan asap masih membikin dada orang-orang di sebagian Sumatera dan Kalimantan sesak nafas, tentu pulalah mesti dipahami bahwa pekerjaan ini tak bisa diselesaikan secara instan. Sebab apabila dolar dan asap bisa diatasi dengan mantra simsalabim abrakadabra, maka tidak perlu repot-repot melaksanakan pemilu, cukup angkat saja Deddy Corbuzier atau Limbad jadi presiden.

Namun Anda pun tahu bahwa sampai Senin, 28 September 2015, sebanyak 41 jemaah haji Indonesia telah teridentifikasi meninggal dunia dalam Tragedi Mina. Sebagai presiden, sungguh wajar apabila Jokowi bereaksi. Jika dia diam saja, justru itu lebih jebluk. Atau memang ini yang sesungguhnya diam-diam dikehendaki, sekadar supaya serangan terhadap dirinya bisa jadi lebih sedap dan aduhai? (ARN/MM)

Sumber : Tribunnews

Comments
To Top

Eksplorasi konten lain dari Arrahmahnews

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca

Eksplorasi konten lain dari Arrahmahnews

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca