arrahmahnews

Mohammad Natsir, Pancasila dan Agama

Tokoh-Nasionalis

Mohammad Natsir menjelaskan pemahamannya tentang kaedah agama Islam, dalam hubungannya dengan fatsoen politik dan pemerintahan di Indonesia, antara lain bahwa ; “ISLAM bukan semata-mata religi, yaitu agama dalam pengertian rohani saja. Islam mengatur hubungan antar manusia dan Allah, dan antara sesama manusia.

Islam merupakan pedoman dan filsafat hidup yang tidak mengenal pemisahan agama dan politik.

Menegakkan Islam tidak dapat  dengan membiarkan pembinaan masyarakat dan negara dengan paham yang lain. Oleh sebab itu, dalam masa revolusi umat Islam di Indonesia bukan saja dijiwai oleh aspirasi nasional melainkan juga dengan aspirasi Islam”.Berdasarkan pemahaman ayat Qu’ran, yang merupakan keharusan bagi setiap Muslim untuk mengamalkannya, maka Mohammad Natsir berkesimpulan; Seorang muslim menjadi hamba Allah yang harus mengejar kebahagiaan di dunia dan kebahagian di ahkirat.

Karenanya, ada perintah Allah yang harus di laksanakan tanpa ragu.

Dalam hubungan ibadah dan dien,” Segala sesuatu yang tidak di perintahkan tidak boleh di lakukan”.Jenis perintah yang lain,  yang muamalah sifatnya, pada umum nya menyangkut hubungan antara sesama manusia , atau umumnya soal-soal dunia, disimpulkan mencakup dua segi :

Berhubungan dengan perintah Allah yang Ma’qul( dapat  dipahami ), tapi didalam penerapan pelaksanaannya amat bergantung pada perkembangan pemikiran dan penilaian manusia.

  1. Tidak secara jelas ada ketentuanya dari Allah, yang dalam hal ini segala yang di izinkan kecuali yang di larang. Dalam hubungan ini si muslim hanya perlu memperhatikan batas-batas atau Hudud yang ditetapkan oleh Allah SWT.

Mengenai negara, Mohammad Natsir menjelaskan, diantaranya,   “ Ia mengakui bahwa nabi tidak memerintahkan membuat negara. Dan, memang katanya, “Nabi sudah mengajarkan pedoman tertentu untuk menjalankan pemerintahan agar negara menjadi kuat, sejahtera, sehingga rakyatnya mudah memperoleh tujuan hidupnya”.

Sehubungan dengan ini, Mohammad Natsir mengemungkakan juga referensinya tentang kepala negara. Ia katakan bahwa, “Kawan mu hanya Allah dan Rasulnya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat, membayar zakat dan sujud”.

Mengenai pemberinamaan dan gelar kepala negara tidak jadi  soal utama, yang penting sifat dan perbuatannya, hak serta kewajibannya.Maka kepala negara harus bermusyawarah dengan rakyat tentang hal-hal mengenai masalah bersama.Cara musyawarah bergantung pula pada rakyat bersangkutan, apakah menurut cara yang dilakukan masa  Abu Bakar Kahlifah petama, atau masa kini dalam bentuk parlementer.

”Yang dituju oleh islam ialah agar agama hidup dalam kehidupan masyarakat serta di nyatakan dalam ketatanegaraan, pemerintahan dan perundang-undangan”.

Rujukan ini sesuai dengan Firman Allah SWT, : Dan Hendaklah Urusan Mereka  Dengan Musyawarah.

Selanjutnya, baik disimak jalan pikiran Mohammad Natsir tentang hal-hal yang perlu di musyawaratkan dan tidak, terutama dalam penentuan kebijakan hukum yang menyangkut kepentingan orang banyak atau bertalian dengan kemashalahatan kehidupan orang yang bermasyarakat itu. Kata beliau, “Dalam perlemen suatu negara Islam yang merdeka tidaklah perlu di permusyawaratkan terlebih dahulu, apakah yang harus menjadi dasar pemerintahan, dan tidaklah mestinya ditunggu keridhoan parlemen terlebih dahulu, apakah perlu ditunggu pembasmian arak atau tidak, apakah perlu diadakan pemberantasan khurafat dan kemusyrikan atau tidak”. Maka dalam hubungan ini, terlihat terang kerangka pikiran Mohammad Natsir, yaitukembali kepada persoalan hudud.

Islam mempunyai ketentuan-ketentuan yang tetap, umpamanya tentang pemberantasan kemiskinan, tentang nikah dan faraid (pembahagian harta warisan). Ketentuan-ketentuan ini tidak boleh berubah, karena persoalan manusia dalam hubungan ini terus berkelanjutan.

Seorang muslim juga tidak dilarang mengunakan sistim yang dipergunakan oleh bukan muslim (barat ? pen.), selama sistim itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Suatu sistim yang baik bukan monopoli suatu bangsa atau negara.

Mohammad Natsir menekankan sekali perlunya ijtihad ini serta kebebasan dalam bermusyawarah :

Agama baru mencampuri soal-soal bila permusyawaratan menjurus kepada moral keadilandan kemanusiaan.

Pada hakikatnya, tidaklah ada suatupun dalam ajaran agama (samawy) dan Agama Islam yang menentang hukum susila dan ini merupakan inti dari suatu ajaran agama manapun.

Menurut sejarah agama Islam, selalu penganut agama minoritas mendapat perlakuan yang memuaskan dalam negara-negara ber pemerintahan Islam.

Sungguhpun dalam tatanan masyarakat negara-negara di dunia, “kemerdekaan beragama“ itu masih bersifat relatif, terutama di dalam tatanan kehidupan dunia barat.Padahal kemerdekaan beragama sudah ada di negara-negara berpemerintahan Islam atau mengamalkan secara konsekwen ajaran Islam, sejak masa Muhammad Saw. Negara itu sendiri bukan tujuan melainkan sebagai alat. Oleh sebab itu perjuangan tidak berhenti dengan terciptanya suatu negara, walaupun sudah mengamalkan ajaran-ajaran Islam.

Yang teramat penting isinya ; yaitu kemakmuran dan keadilan bagi rakyat. Dan kalaupun itu sudah tercapai, masih terus ada kewajiban untuk memeliharanyaberupa terujudnya ” baldatun thayyibatun warabbun ghafur”, yakni negara yang aman, sejahtera, bersih dari setiap perlakuan yang tidak beradab, dan mendapatkan keampunan atau keredhaan Allah SWT.

Natsir dan Pancasila

Menurut Mohammad Natsir, “Pancasila di anut sebagai dasar rohani, akhlak, dan susila oleh bangsa Indonesia”. Masalah pokok adalah masalah tafsiran tentang Pancasila. Tidak seorang pun, termasuk perumus Pancasila sendiri, yang berhak memonopoli tentang tafsirannya.

Oleh sebab itu, Mohammad Natsir berhak memberikan tafsiran nya pula. Mohammad Natsir yakin tidak suatu perumus pun yang akan setuju dengan suatu perumusan tentang Pancasila yang berlawanan dengan ajaran agama Islam. Menguraikan masalah ini lebih lanjut Mohammad Natsir mengatakan ;

“ Pancasila adalah peryataan dari niat dan cita-cita kebajikan yang harus kita laksanakan, terlaksananya di dalam negara dan bangsa kita.”

Maka, apabila di tinjau dari sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa itu, adalah menegaskan kepada segala warga negara dan penduduk negara, dan dunia luar, bahwa sesunguhnya seorang manusia tidak akan dapat memulai kehidupannya menuju kebajikan dan keutamaan, kalau ia belum dapat meyadarkan dan mempersembahkan dirinya kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Maka, bagaimana AL QUR’AN akan bertentangan dengan sila pertama itu, Dalam pengakuan AL QUR’AN, Pancasila itu akan hidup subur. Satu dengan yang lain tidak apriori bertentangan tapi tidak pula indentik (sama). Berlainan soalnya, apabila sila itu hanya sebagai buah bibir, bagi orang-orang yang jiwanya skeptis dan penuh ironi terhadap agama.

Bagi orang ini dalam ayunan langkahnya yang pertama ini saja sudah lumpuh ….yang tinggal adalah kerangka Pancasila…..

Dan, ia (Mohammad Natsir) pun menyerukan kepada umat agar tidak mempertentangkan Pancasila dengan Islam.

Mohammad Natsir berkata ;

“di mata seorang muslim, perumusan Pancasila bukan kelihatan suatu barang asing yang berlawanan dengan ajaran Qur’an, dan ia (Mohammad Natsir) melihat dalamnya satu pencerminan dari sebagian yang ada pada sisinya. tapi ini tidak berarti bahwa Pancasila itu sudah identik atau meliputi semua ajaran Islam.

Selanjutnya Mohammad Natsir mengingatkan bahaya sekularisma seperti tercermin juga pada Marxisma.

Faham sekularisma tidak sejalan dengan pikiran bangsa kita yang beragama.

Mohammad Natsir juga tidak setuju dengan pendapat Soekarno yang menyatakan bahwa Pancasila adalah merupakan pemersatu bangsa, padahal kaum komunis tidak akan bisa menyetujui sila Ketuhanan Yang Maha Esa sunguhpun mereka meyokong Pancasila dalam konstituante.

Pancasila itu sendiri hanya akan berarti bila di kaitkan dengan isi suatu ideologi.

Tetapi karena Soekarno menempatkan Pancasila itu sendiri pada kedudukan netral terhadap semua ideologi, maka Pancasila itu kosong dari isi.

Pandangan kedua dari Mohammad Natsir, adalah pandangannya terhadap forum konstituante.

Mohammad Natsir mengatakan bahwa konstituante merupakan tempat mengeluarkan pendapat dan pikiran anggota secara lurus dan jujur, cerminan pemikiran yang hidup dalam masyarakat.

Mohammad Natsir berkata,

“ Kita mengarapkan agar gedung konstituante (sekarang adalah gedung DPR/MPR) ini dapatlah hendaknya merupakan satu “Sanctuary” yakni tempat aman dimana dapat di adakan konfrontasi antara ide dan ide, pendirian dan pendirian, yang walaupun berlaku secara tajam dan bebas sebagai pembawa tugas kita itu, tetapi tetap didalam suasana ibarat sebuah pulau yang aman tentram di tengah-tengah gelombang.

………hanya selama dalam ruangan konstituante (DPR/MPR) ini tetap hidup dan terjamin rasa bebas mengeluarkan pendapat, tanpa tekan-tekanan dalam bentuk apapun……selama itulah baiknya konstituante (DPR/MPR) ini ada bagi negara dan bangsa (Indonesia, pen)”.

Tentang konstituante (DPR/MPR), Mohammad Natsir berpendapat bahwa lembaga ini hendaknya dapat “menciptakan suatu UUD yang akan tahan uji oleh generasi anak cucu mendatang”.

Dalam hal ini Mohammad Natsir tampaknya terdorong oleh tanggung jawabnya pada generasi berikut serta keyakinannya pada Islam.

Mohammad Natsir berkata;

”…….Agama Islam yang juga mengatur mengenai ketatanegaraan dan masyarakat hidup ini…….. mempunyai sifat-sifat yang sempurna bagi kehidupan negara dan masyarakat dan dapat menjamin hidup keaneka ragaman atas saling menghargai antara pelbagai golongan dalam negara.”

Mohammad Natsir juga memperkuat pendapat Sjafrudin Prawiranegara dengan menunjuk pada sifat negatif dari komunisme dan kapitalisme, katanya :

“Komunisme dalam mencapai kemakmuran , menekan dan mem- perkosa tabiat hak-hak asasi manusia.

Sedangkan kapitalisme, dalam memberikan kebebasan tiap-tiap orang, tidak mengindahkan peri kemanusiaan dan hidup dari pemerasan keringat orang lain dan membukakan jalan untuk kehancuran kekayaan alam”

Dan bagaimana dengan Ajaran Islam ?

Mohammad Natsir menjelaskan :

“ Islam mengakui hak dan kepribadian , memberikan kebebasan, bahkan mewajibkan kepada tiap-tiap orang supaya mencari rezeki sekuat tenaga, dan, — berlainan pula dengan kapitalisme, dimana ajaran Islam menekankan bahwa —  kekayaan yang di- dapat itu tidaklah boleh digunakan untuk kepentingan diri sendiri saja, tetapi harus juga di keluarkan untuk menolong sesama manusia, guna menciptakan kemakmuran bersama.

Catatan ;

Dalam hubungan dengan komunisme memang majelis Syuro Masjumi mengutuk komunisme itu sebagai kufur dan mereka yang secara sadar dengan yakin menyokong ideologi ini sebagai kafir. Pendapat ini merupakan salah satu keputusan Musyawarah (Kongres) Ulama Islam di Palembang 1955.

Sumber : http://islamalternatif.com/mohammad-natsir-dan-pancasila/

Comments
To Top

Eksplorasi konten lain dari Arrahmahnews

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca

Eksplorasi konten lain dari Arrahmahnews

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca