arrahmahnews

Polisi Siksa Terdakwa Kasus Klitih Dengan Cara Sadis

Berbagai kekerasan fisik seperti dipukul dengan selang air dan kelamin sapi jantan yang dikeringkan, ditindih kuku kakinya dengan kaki kursi, diinjak leher

Kasus Klitih

Yogyakarta, ARRAHMAHNEWS.COMInstitusi Polri saat ini di dera oleh berbagai macam masalah di Internal dari kasus Ferdy Sambo hingga kasus Teddy Minahasa, saat ini citra Kepolisian Negara Republik Indonesia sedang jatuh.

Setibanya di kantor polisi, mereka diproses penyidik untuk kasus berbeda yaitu kejadian klitih Gedongkuning. Kelimanya mendapat berbagai kekerasan fisik seperti dipukul dengan selang air dan kelamin sapi jantan yang dikeringkan, ditindih kuku kakinya dengan kaki kursi, diinjak leher, dan masih banyak lagi. Mereka juga mendapat intimidasi seperti penodongan pistol, hingga dipaksa meminum air bak mandi, berdiri semalaman dengan sebelah kaki diangkat, dan berbagai kekerasan lainnya

BACA JUGA:

Namun ada oknum-oknum polisi yang tetap saja tidak memahami hal ini, bahkan mereka ingin menutupi kasus-kasus internalnya dengan melakukukan hal-hal yang tidak proporsional, polisi adalah pelayan rakyat jadi harusnya mereka melayani dan membela rakyat bukan sebaliknya.

Contoh terbaru dari ulah oknum-oknum di Kepolisian terkait kasus Klitih yang menewaskan seorang pelajar akibat terkena benda tumpul, dalam  aksi kriminal jalanan Klitih yang terjadi di kawasan Gedongkuning, Kota Yogyakarta, DI Yogyakarta pada tanggal 03 April 2022.

Delapan hari kemudian, polisi menggelar jumpa pers yang menghadirkan lima remaja yang mereka sebut sebagai pelaku. Kelimanya adalah FAS (18), AMHM (20), MMA (20), HAA (20) dan RNS (19).

Mereka dijemput polisi di kediaman masing-masing pada tanggal 9 dan 10 April 2022 dengan alasan menjadi saksi pada kejadian “Perang sarung” di kawasan Druwo, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta. Tanpa menunjukkan dokumen penangkapan, anak-anak ini dijemput paksa.

Sebagaimana yang diatur dalam perundangan, dalam proses penangkapan, penyidik Polri wajib memenuhi syarat berikut:

  1. Didasarkan pada bukti permulaan yang cukup, yaitu sedikitnya dua bukti.
  2. Melakukan penangkapan tidak sewenang-wenang, artinya hanya menangkap mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana, tidak untuk yang masih terduga atau tersangka.
  3. Tidak menggunakan kekerasan. Petugas dilarang melakukan intimidasi, menakut-nakuti dan penyiksaan dalam proses penyidikan. Ini sejalan dengan konsep hak asasi manusia (HAM) yang tertuang dalam Undang-undang Dasar RI Pasal 281.

Dalam kasus ini, proses penangkapan tidak memenuhi ketiga syarat tersebut. Setelah dijemput Polisi, kelimanya dibawa ke Kantor Polisi Sektor Sewon, Bantul Yogyakarta. Ini adalah sektor yang menaungi wilayah Druwo, tempat kejadian perang sarung. Perang sarung adalah aksi tarung lawan kelompok remaja, dengan memukulkan sarung yang digulung memanjang kepada lawan.

Setibanya di kantor polisi, mereka diproses penyidik untuk kasus berbeda yaitu kejadian klitih Gedongkuning. Kelimanya mendapat berbagai kekerasan fisik seperti dipukul dengan selang air dan kelamin sapi jantan yang dikeringkan, ditindih kuku kakinya dengan kaki kursi, diinjak leher, dan masih banyak lagi. Mereka juga mendapat intimidasi seperti penodongan pistol, hingga dipaksa meminum air bak mandi, berdiri semalaman dengan sebelah kaki diangkat, dan berbagai kekerasan lainnya.

BACA JUGA:

Selama proses penyidikan, tak satupun orangtua diperbolehkan bertemu anaknya. Mirisnya anak-anak ini tidak didampingi penasehat hukum, sebagaimana hak yang tercantum dalam Pasal 54 KUHAP. Orangtua baru diperbolehkan mengunjungi anak mereka sekitar 11 hari paska penangkapan, ditengarai setelah luka-luka yang mereka alami sembuh.

Setelah ditangkap dan dibawa ke Polsek Sewon, kelimanya dipindahkan ke Polsek Kotagede, yang menaungi wilayah Gedongkuning. Pemindahan terjadi di hari kedua penangkapan. Di sini, mereka dipaksa menandatangani berkas acara pidana (BAP) tanpa membaca seluruh dokumen yang sudah disiapkan oleh polisi tersebut.

Penyidik melakukan rekonstruksi di TKP Gedongkuning pada 23 Mei 2022. Rekonstruksi dilaksanakan dengan berbagai keganjilan, dimana kelima remaja ini diarahkan untuk memperagakan kejadian sesuai dengan BAP yang disiapkan oleh polisi. Banyak adegan dilakukan dengan salah, sebab mereka memang tidak pernah melakukannya. Pasal 66 KUHAP menyebutkan bahwa tersangka dan terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian, sehingga dapat menolak melakukan rekonstruksi. Hal ini sejalan dengan UU Nomor 8 tentang Hukum Acara Pidana, bahwa setiap orang wajib dianggap tidak bersalah sampai ada putusan pengadilan.

BACA JUGA:

Kemudian satu per satu remaja ini menjadi terdakwa, setelah kasus dilimpahkan ke kejaksaan.

Proses persidangan pun berjalan alot. Jaksa Penuntut Umum (JPU) tak pernah menghadirkan bukti yang dapat menjelaskan secara terang benderang, bahwa kelimanya adalah benar-benar merupakan pelaku. JPU bacakan tuntutan berupa 11 tahun penjara untuk RNS yang disangkakan sebagai eksekutor dan 10 tahun kepada empat  terdakwa lainnya, pada 13 Oktober 2022. JPU dengan jelas telah menyampingkan bukti persidangan berupa:

  1. Keterangan saksi, yang merupakan teman-teman terdakwa yang ikut dalam kejadian perang sarung yang menyatakan kelima terdakwa tidak pernah berada di TKP Gedongkuning.
  2. Keterangan ahli, yaitu kesaksian ahli digital forensik yang menyatakan ada rekayasa dalam dokumen CCTV.
  3. Keterangan terdakwa, yang sudah mencabut seluruh BAP awal yang dibuat penyidik.

11 dan 10 tahun bukanlah waktu yang singkat. Angka-angka tersebut akan habiskan masa muda dan hancurkan masa depan mereka. Vonis bebas adalah seadil-adilnya tuntutan bagi kelima remaja ini. (ARN)

GoogleNews

Sumber: Petisi

Comments
To Top

Eksplorasi konten lain dari Arrahmahnews

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca

Eksplorasi konten lain dari Arrahmahnews

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca