arrahmahnews

Fatwa MUI Ciderai Kemajemukan dan Keragaman Beragama di Indonesia

Senin, 19 Desember 2016,

ARRAHMAHNEWS.COM, JAKARTA – Majelis Ulama Indonesia (MUI) semakin giat di dalam memproduksi fatwa yang mempunyai implikasi signifikan bagi hubungan antar-ummat beragama dan kehidupan bermasyarakat di negeri ini. Setelah fatwa terkait dengan tuduhan penistaan agama yang dilakukan oleh Gubernur DKI nonaktif, Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok, kini muncul lagi fatwa lembaga tersebut tentang hukum menggunakan atribut keagamaan non Muslim. Fatwa ini dibuat, menurut MUI, sebagai “pedoman” ummat Islam Indonesia dalam menyikapi “fenomena di mana saat peringatan hari besar agama non-Islam, sebagian umat Islam atas nama toleransi dan persahabatan, menggunakan atribut atau simbol keagamaan nonmuslim yang berdampak pada siar keagamaan mereka”. (Baca juga: Fatwa Haram BPJS “MUI” Dimata Rakyat, UU dan Syariat)

Dasar Negara

Munculnya fatwa ini tentu sudah dapat diprediksi akan memunculkan pro kontra, bukan saja di dalam internal ummat Islam di negeri ini, tetapi juga di kalangan ummat non-Muslim. Pro kontra tersebut bersumber dari bervariasinya pandangan di kalangan ummat Islam mengenai masalah pemakaian atribut non Muslim, termasuk motivasi dari si pengguna, dan praktik-praktik yang selama ini berlaku di dalam masyarakat Islam di Indonesia sendiri. Demikian juga, status fatwa MUI tersebut apakah bersifat mengikat bagi ummat atau hanya sebagai salah satu pandangan di antara berbagai pandangan tentang hukum agama, sehingga tidak memiliki kekuatan mengikat bagi seluruh ummat Islam di negeri ini. (Mahfud: Fatwa MUI Hukumnya Tidak Mengikat)

Dari kalangan non Muslim, tampaknya fatwa tersebut juga dipersoalkan karena penggunaan kata “kafir” untuk pihak-pihak non Muslim di dalamnya. Prof. Jan Sihar Aritonang (JSA), dari Sekolah Tinggi Theologi (STT) Jakarta, misalnya, mengimbau Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) agar “tidak menerbitkan fatwa yang bisa ikut menambah panas suasana dan suhu kehidupan di Indonesia”. (Baca juga: MUI Jawab Fitnah Pungutan 480 Triliun dengan Fitnah)

Hemat saya, kendati MUI berhak membuat fatwa keagamaan dan ditopang oleh niatan yang baik, tetapi terkesan kurang mempertimbangkan aspek konstelasi politik dan keamanan nasional yang saat ini sedang memerlukan kohesivitas dan peningkatan solidaritas kebangsaan yang kuat. Fatwa yang dibuat menjelang perayaan keagamaan Natal ini sulit untuk tidak ditafsirkan sebagai reaksi terhadap kegiatan keagamaan ummat Kristiani yang sudah menjadi fenomena umum dan nasional. Atribut-atribut Natalan bisa jadi benar merupakan refleksi religiositas, tetapi bisa juga merupakan bagian dari asesori yang dinikmati publik, semacam pageantry. Sama halnya, tidak semua atribut-atribut dalam perayaan keagamaan lain, misalnya Lebaran atau Galungan dan lainnya, langsung berkorelasi dengan masalah teologi, tetapi semacam kreatifitas kultural yang bisa dishare bersama. Dalam konteks globalisasi budaya, motif ekonomi malah mungkin lebih kuat ketimbang religiositas dari perayaan Natal.

Fatwa MUI

Inilah problem yang saya lihat dalam fatwa MUI tersebut, karena secara keseluruhan hanya menggunakan perspektif teologis dalam melihat fenomena perayaan keagamaan, termasuk Natalan. Perspektif ini bisa saja memicu penafsiran-penafsiran lain yang pada gilirannya menyebabkan tindakan-tindakan yang dampaknya bisa merenggangkan solidaritas dan kohesi sosial. Hal ini pula yang barangkali menjadi pertanyaan dari Prof. Jan Sihar Aritonang dan kalangan non Muslim lainnya, ketika MUI menggunakan istilah kafir dalam fatwanya. Jika hanya dilihat dari pemahaman teologis MUI dan sebagian ummat Islam, maka pemakaian kata “kafir” tersebut mungkin sudah biasa digunakan sebagai penanda (signifier) dari liyan. Tetapi bagi pihak lain, kata itu bermakna pejoratif dan dianggap meresahkan.

Walhasil, jika dilihat dari konteks keindonesiaan, fatwa MUI ini bisa diperdebatkan apakah akan mampu menjadi wahana bagi upaya “menjaga kerukunan hidup antara umat beragama dan memelihara harmonis kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara” sebagaimana diinginkan oleh pembuat fatwa tsb. Atau malah sebaliknya?. (ARN)

Comments
To Top

Eksplorasi konten lain dari Arrahmahnews

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca

Eksplorasi konten lain dari Arrahmahnews

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca