Afrika

Hampir 7000 Pengungsi Kongo Lari ke Burundi dalam 3 Hari Terakhir

Sabtu, 27 Januari 2018

KINSHASA, ARRAHMAHNEWS.COM – Ribuan pencari suaka dari Republik Demokratik Kongo telah melarikan diri ke Burundi dalam tiga hari terakhir saat pertempuran sengit pecah di bagian timur negara tersebut.

Polisi Burundi mengatakan bahwa hampir 7.000 warga Kongo telah menyeberangi Danau Tanganyika dan berlindung di Burundi sejak Rabu lalu karena bentrokan terjadi antara pasukan pemerintah Kongo dan pemberontak di provinsi timur selatan Kivu yang bermasalah.

Polisi Burundi mengatakan pada hari Jumat bahwa total 6.692 pengungsi telah terdaftar hanya dalam waktu tiga hari untuk melarikan diri dari pertempuran antara tentara dan milisi Yakutumba, meskipun arus tersebut tampaknya melambat.

“Kemarin, Danau Tanganyika tampak ditutupi oleh ratusan kapal dengan segala ukuran, penuh dengan pengungsi dan harta benda mereka, pemandangannya cukup padat,” kata seorang aktivis hak asasi manusia kepada AFP.

Presiden Kongo Joseph Kabila mengatakan pada sebuah konferensi pers bahwa situasi keamanan di timur, yang sebagian besar berada di tangan milisi saingan, “mengkhawatirkan.”

Badan pengungsi PBB atau pihak berwenang Burundi belum memberikan komentar mengenai situasi tersebut.

Pemerintah Kongo mengatakan pekan lalu bahwa pihaknya melakukan “perang” melawan dua milisi di timur, kelompok pemberontak Yakutumba dan Kelompok Sekutu Demokrat (ADF).

Republik Demokratik Kongo memiliki salah satu peraturan kolonial paling brutal sebelum menjalani puluhan tahun masa kediktatoran korup dan peperangan sipil back-to-back yang membuat negara kaya mineral miskin dan tidak stabil secara politik.

Ketidakstabilan politik telah memicu kekhawatiran meluas tentang kembalinya Kongo ke dalam situasi perang, yang telah membunuh jutaan orang pada 1990-an. Kebanyakan korban meninggal kala itu akibat kelaparan dan penyakit akibat buruknya akses kesehatan.

Kala itu, ribuan orang terbunuh dan jutaan orang mengungsi akibat konflik berkepanjangan di kawasan selatan dan timur Kongo.

Bulan lalu, pasukan militan bersenjata membunuh 15 pasukan perdamaian di kawasan timur Kongo, di mana merupakan salah satu serangan terburuk yang menimpan personel keamanan PBB dalam beberapa tahun terakhir.

Berdasarkan kesepakatan yang dimediasi oleh pihak Gereja Katolik, antara Kabila dan lawan-lawan politiknya, presiden akan mengundurkan diri pada akhir 2017 lalu, dan membuka jalan untuk sebuah pemilu yang diadakan sebelum pertengahan tahun ini.

Namun, Kabila mengingkari dan pemilu mau tidak mau terus ditunda, dan direncanakan paling lambat pelaksananaannya sebelum akhir 2018.

“Kabila tidak berniat melepaskan kekuasaannya …. Strateginya adalah dengan menyebarkan kekacauan di seluruh negeri, sehingga ada alasan untuk menunda pemilihan, yakni sedang terjadi banyak kekerasan,” ujar Felix Tshisekedi, salah seorang pemimpin oposisi terkemuka, dalam sebuah wawancara dengan surat kabar The Guardian pada Desember 2017.

Pemerintah resmi Kongo dan para pendukung Presiden Kabila, yang mengambil alih kekuasaan ketika ayahnya dibunuh pada 2001 silam, bahwa penundaan tersebut akibat dari kesulitan logistik dalam penyelenggaraan pemilu di sebuah negara seukuran Eropa Barat, namun dengan infrastruktur yang terbatas.(ARN)

Comments
To Top

Eksplorasi konten lain dari Arrahmahnews

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca

Eksplorasi konten lain dari Arrahmahnews

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca